Indonesia batalkan pertemuan tentang Papua dengan negara Melanesia
2023.10.10
Port Moresby
Indonesia membatalkan pertemuan regional pekan ini tentang situasi hak asasi manusia di Papua dengan alasan para pemimpin negara-negara Melanesia tidak menghadirinya, kata seorang anggota delegasi Papua Nugini dan pejabat Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Selasa.
Pembatalan pertemuan ini terjadi setelah gerakan kemerdekaan Papua ditolak permohonannya untuk menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG) pada Agustus lalu.
Organisasi yang diakui PBB ini terdiri dari Kepulauan Solomon, Papua Nugini, Vanuatu, Fiji dan gerakan kemerdekaan penduduk asli Kanak di Kaledonia Baru.
Indonesia, yang merupakan anggota associate dari MSG, telah menjegal keinginan gerakan kemerdekaan Papua selama setidaknya satu dekade.
"Saya kecewa bahwa pertemuan itu dibatalkan oleh pemerintah Indonesia pada saat-saat terakhir," kata Powes Parkop, Gubernur Distrik Ibu Kota Nasional Papua Nugini, kepada BenarNews.
Para pemimpin negara-negara Melanesia sepakat dalam pertemuan tingkat tinggi pada Agustus untuk menciptakan "ruang" dialog dengan Indonesia tentang situasi hak asasi manusia di Papua – yang sering disebut sebagai Papua Barat – ketimbang mendukung gerakan kemerdekaan, yang memiliki dukungan kuat dari rakyat Melanesia.
Salah satu langkah yang mungkin dilakukan adalah dialog parlemen tahunan antara Indonesia dan negara-negara Melanesia.
Dirjen Asia, Pasifik, Afrika di Kementerian Luar Negeri, Abdul Kadir Jaelani mengatakan Indonesia dan MSG rencananya bertemu untuk bahas penguatan kerja sama.
"Namun karena jadwal kegiatan dalam negeri, terutama karena urusan dengan parlemen masing-masing negara dan situasi dalam negeri, mereka tidak dapat hadir di AIS (Archipelagic and Island States)," kata Abdul Kadir, merujuk para pertemuan puncak pemimpin negara-negara kepulauan di Bali yang dijadwalkan pada Rabu.
"Dengan demikian dialog saat ini sulit diselenggarakan," ujarnya, seraya menambahkan bahwa Indonesia selalu terbuka untuk diskusi asalkan "dilakukan sesuai prinsip internasional seperti kedaulatan dan integritas wilayah."
Pejuang kemerdekaan Papua yang memiliki senjata seadanya — yang secara kolektif dikenal sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat — telah berkonflik dengan pemerintah Indonesia sejak awal 1960-an, ketika negara ini mengambil alih pulau Papua bagian barat dari Belanda.
Orang-orang Papua, yang secara budaya dan etnis dianggap berbeda dari sebagian besar wilayah lain di Indonesia, mengatakan bahwa mereka tidak diberi hak untuk menentukan nasib sendiri.
Kedaulatan Indonesia atas Papua diresmikan pada 1969 dengan referendum yang didukung PBB di mana hanya sekitar 1.000 orang Papua yang diizinkan untuk memilih.
Kekerasan dan pelanggaran hak asasi oleh aparat keamanan Indonesia mulai dari tahun 1960-an hingga saat ini — bersama dengan impunitas dan eksploitasi sumber daya alam daerah itu, serta kemiskinan yang meluas — telah memicu permusuhan terhadap pemerintah Indonesia.
Parkop mengatakan bahwa Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengajak para pemimpin Melanesia untuk "melakukan pertemuan bersejarah dengan pemimpin Indonesia tersebut mengenai isu-isu Papua.
" Namun ketika Parkop akan meninggalkan Papua Nugini untuk pertemuan yang dijadwalkan pada Rabu di Bali, bersamaan dengan sebuah pertemuan puncak negara-negara kepulauan, dia diberitahu soal pembatalan itu.
"Saya telah menekankan pada (Menteri Luar Negeri Retno Marsudi) untuk memungkinkan dialog dimulai dengan para pemimpin MSG seperti saya ... yang telah mendorong agenda ini dan tidak perlu menunggu perdana menteri," kata Parkop.
"Saya berharap bahwa pertemuan ini akan segera berlangsung sehingga kita dapat melihat kemajuan menuju penyelesaian masalah politik dan hak asasi manusia yang sudah lama berlangsung di kawasan kita."
Kelompok Papua yang mendukung kemerdekaan dari Indonesia mengalami kemunduran pada Agustus ketika MSG menolak permohonan Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat (ULMWP) untuk menjadi anggota penuh.
Komunike resmi dari pertemuan puncak pada Agustus tidak dirilis secara publik, tetapi salinan yang dilihat oleh BenarNews mengatakan para pemimpin tidak dapat mencapai konsensus tentang keanggotaan Papua Barat, yang berarti tidak dapat disetujui.
Komunika juga menegaskan seruan dunia internasional agar Indonesia mengizinkan delegasi hak asasi manusia PBB untuk mengunjungi wilayah Papua.
Perdana Menteri Fiji Sitiveni Rabuka tahun ini menunjukkan dukungan kepada Papua secara publik dan Vanuatu adalah pendukung utama terhadap gerakan kemerdekaan.
Namun Papua Nugini, yang memiliki perbatasan 760 kilometer dengan Indonesia dan kalah dalam hal kekuatan militer dan ekonomi, lebih memprioritaskan peningkatan hubungan dengan Jakarta.
Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare, yang sebelumnya mendukung kemerdekaan Papua Barat, mengatakan awal bulan ini bahwa penentuan nasib sendiri adalah masalah internal bagi Papua.
"Politik Melanesia cukup cair, perubahan pemerintahan akan menghasilkan percakapan yang berbeda tentang penentuan nasib sendiri dan hak asasi manusia di kawasan itu," kata Hipolitus Wangee, seorang peneliti di Universitas Nasional Australia, kepada BenarNews.
"Ada kesempatan lain untuk usulan ULMWP selama pemerintah Indonesia gagal menyelesaikan akar penyebab di Papua Barat."
Charley Piringi dari Honiara, Stephen Wright dari Wellington, dan Pizaro Gozali Idrus dari Jakarta berkontribusi pada laporan ini.