Indonesia tepis tuduhan aktivis HAM, bantah jual senjata ke junta Myanmar

Pakar menyebut karena tidak ada larangan menjual senjata ke negara yang berkonflik, diperlukan komitmen atas hak asasi manusia.
Tria Dianti dan Arie Firdaus
2023.10.04
Jakarta
Indonesia tepis tuduhan aktivis HAM, bantah jual senjata ke junta Myanmar Seorang tentara berjaga dan memblokir jalan menuju parlemen Myanmar di Naypyidaw pada 1 Februari 2021, setelah militer mengkudeta pemerintahan sipil yang sah di negara tersebut.
AFP

Indonesia pada Rabu membantah bahwa tiga perusahaan pemerintah bidang pertahanan telah menjual senjata kepada junta Myanmar seperti yang dituduhkan oleh sejumlah aktivis hak asasi manusia (HAM).

Holding BUMN Industri Pertahanan, Defend ID, menegaskan bahwa PT Pindad, PT PAL dan PT Dirgantara Indonesia tidak pernah melakukan ekspor produk industri pertahanan ke Myanmar di tengah krisis kemanusiaan yang terjadi di negara itu pasca kudeta militer dua tahun silam.

Bantahan tersebut muncul beberapa hari setelah adanya laporan bahwa ketiga perusahaan BUMN tersebut telah mempromosikan dan kemungkinan menjual pistol, senapan serbu, amunisi, kendaraan tempur dan peralatan lainnya kepada militer Myanmar dalam satu dekade terakhir, termasuk kemungkinan setelah kudeta 1 Februari 2021 yang memicu protes massal dan tindakan anarkis di negara itu.

“Kami menegaskan tidak pernah melakukan ekspor industri pertahanan ke Myanmar pasca 1 Februari 2021, sejalan dengan Resolusi Majelis Umum PBB nomor 75/287 yang melarang suplai senjata ke Myanmar. Kami mendukung penuh resolusi PBB dalam upaya menghentikan kekerasan di Myanmar,” demikian rilis Defend ID seperti yang diterima BenarNews pada Rabu (4/10).

Defend ID merupakan induk dari lima perusahaan BUMN bidang pertahanan, yaitu PT. Len Industri, PT Dahana, PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL Indonesia.

“Sebagai perusahaan yang memiliki kemampuan produksi untuk mendukung sistem pertahanan yang dimiliki negara, Defend ID selalu selaras dengan sikap Pemerintah Indonesia,” ujar Direktur Utama PT Len Industri Bobby Rasyidin.

Dalam laporan yang dirilis awal minggu ini, perusahaan-perusahaan Indonesia tersebut disinyalir telah mentransfer senjata dan amunisi melalui True North Co. Ltd, sebuah perusahaan yang berbasis di Myanmar yang dimiliki oleh Htoo Htoo Shein Oo, putra dari Win Shein, menteri perencanaan dan keuangan junta Myanmar, yang saat ini dikenai sanksi oleh Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa.

Sejumlah aktivis HAM, termasuk mantan ketua misi pencari fakta PBB di Myanmar, Marzuki Darusman; Salai Za Uk Ling, pemimpin Organisasi Hak Asasi Manusia Chin; dan Proyek Akuntabilitas Myanmar, sebuah kelompok hak asasi manusia internasional mendesak Komnas HAM Indonesia menginvestigasi kasus ini.

Padahal Indonesia menjadi salah satu kandidat anggota Dewan HAM PBB - yang pemilihannya akan dilakukan 10 Oktober mendatang di New York. Jika terpilih, Indonesia akan menjadi anggota dewan HAM PBB untuk 2024-2026, untuk keenam kalinya.

Selain itu, pemerintah Indonesia juga didesak untuk menjatuhkan sanksi terhadap True North dan pemiliknya sebagai perantara senjata militer Myanmar.

Peran True North sebagai perusahaan swasta yang menegosiasikan kesepakatan antara militer Myanmar dan perusahaan BUMN tersebut menimbulkan kecurigaan akan kemungkinan korupsi yang harus diselidiki oleh pihak berwenang Indonesia, kata mereka.

Sebelumnya, PT Pindad sudah mengklarifikasi perihal jual senjata ke Myanmar dan mengatakan pihaknya tak pernah melakukan penjualan senjata ke Myanmar pasca kudeta 2021. Tercatat, ekspor terakhir dilakukan ke Myanmar pada 2016.

“Adapun produk yang diekspor adalah amunisi kaliber kecil untuk keperluan military sport, salah satunya ajang lomba tembak AARM (ASEAN Armies Rifle Meet),” kata Sekertaris Perusahaan PT. Pindad, Dianing Puji Rahayu.

PT Pindad juga menyampaikan keprihatinannya atas persoalan di Myanmar menyangkut kemanusiaan dan nasib seluruh rakyat Myanmar.

Sementara, PT PAL Indonesia mengaku hingga tahun ini belum pernah melakukan kerja sama baik secara langsung berupa kontrak jual beli maupun kerja sama strategis business to business dan perjanjian kerja sama strategis dengan pihak mana pun baik ke Myanmar maupun kepada pelaku bisnis di Myanmar.

“Kami mendorong kerja sama bisnis yang sehat. Ketika melakukan penetrasi pasar global, tentu PT PAL melakukan kajian-kajian risiko bisnis dan  mendukung pemenuhan kekuatan pertahanan suatu bangsa dengan tetap menjunjung tinggi semangat perdamaian dunia, menjaga keamanan dan stabilitas regional, dan saling menghargai kedaulatan antar bangsa,” kata Sekretaris Perusahaan PT.PAL Edi Rianto.

Hal senada juga disampaikan Humas PT. Dirgantara Indonesia Kerry Apriawan yang membantah pihaknya menjual produksi ke militer Myanmar.

“Terkait pemberitaan penjualan senjata dari PT Dirgantara Indonesia ke junta militer Myanmar, bisa kami konfirmasi bahwa PT Dirgantara Indonesia tidak pernah berkontrak dengan pihak Myanmar ataupun pihak ketiga lainnya yang terkait dengan Myanmar,” kata dia kepada BenarNews.

BenarNews telah berusaha menghubungi Marzuki Darusman untuk merespons klaim dari perusahaan-perusahaan ini, namun belum mendapatkan balasan.

Dalam foto selebaran dari Istana Kepresidenan yang diambil pada 12 Januari 2015 dan dirilis pada 3 Juli 2015 ini, Presiden Indonesia Joko Widodo memeriksa senjata api buatan lokal saat berkunjung ke industri pertahanan BUMN, PT Pindad di Bandung, Jawa Barat. [Rusman/Istana Kepresidenan/AFP]
Dalam foto selebaran dari Istana Kepresidenan yang diambil pada 12 Januari 2015 dan dirilis pada 3 Juli 2015 ini, Presiden Indonesia Joko Widodo memeriksa senjata api buatan lokal saat berkunjung ke industri pertahanan BUMN, PT Pindad di Bandung, Jawa Barat. [Rusman/Istana Kepresidenan/AFP]

Komnas HAM segera tindak lanjuti

Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro mengatakan pihaknya akan segera menindaklanjuti pengaduan yang telah diterimanya melalui email itu.

“Ini butuh proses, tak bisa ditentukan berapa lama kami akan pelajari dulu. Saat ini sedang ditangani Bidang Pengaduan. Selanjutnya akan ditelaah apa ada indikator yang menunjukkan terjadinya pelanggaran HAM sesuai fungsi dan kewenangan Komnas HAM,” kata dia kepada BenarNews.

Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan hingga saat ini pihaknya masih menelaah dan menganalisis laporan yang menurutnya sangat panjang itu.

“Sesuai prosedur, setelah melakukan analisis mendalam, maka baru diketahui tindak lanjut yang dilakukan,” kata dia.

Pengamat militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi  menjelaskan pembicaraan soal jual beli alat pertahanan dan keamanan itu sudah ada sejak sebelum kudeta dan konflik bersenjata terjadi dari 2014, 2018 hingga 2022 silam.

Namun demikian, kata dia, pihaknya belum mendapatkan detail terkait apa yang dijual dan nilai transaksinya.

Menurut Fahmi, secara spesifik tidak ada aturan yang menyebut tidak boleh menjual senjata ke negara berkonflik. 

“Tapi bukan berarti tidak ada pertimbangan yang bisa dipakai pemerintah untuk menjual alat hankam (pertahanan keamanan) ke negara seperti Myanmar. Terutama jika memang ingin menunjukkan komitmen terkait hak asasi manusia,” kata dia.

Salah satunya, ujarnya, pemerintah bisa menggunakan undang-undang tentang Industri Pertahanan 2012 yang menyatakan bahwa “dalam rangka pertimbangan kepentingan strategis nasional, DPR dapat melarang atau memberikan pengecualian penjualan alat produk hankam sesuai dengan politik luar negeri yang dijalankan pemerintah.”

“Artinya, jika memang concern situasi di Myanmar, bisa diambil pertimbangan untuk tidak menjual alat hankam ke sana. Dengan apa yang sudah terjadi, laporan penjualan alat hankam ke sana, mungkin bisa dikatakan sebagai kelengahan dari pemerintah,” ujar dia

Pakar pertahanan Universitas Padjadjaran, Muradi, menilai mengatur penggunaan senjata ke negara pembeli memang hal yang sulit.

“Saya melihat BUMN pertahanan kita memang lebih mengedepankan bisnis saja, daripada hal lain. Jadi tidak terlalu mengurusi hal-hal setelah proses jual-beli,” kata dia.

Selama ini, tambahnya, serapan industri pertahanan 80 persennya masuk ke dalam negeri. Sementara di sisi lain Indonesia ingin mengembangkan pasar ke luar negeri.

“Tapi saat ingin mengembangkan pasar luar negeri, tentu tidak bisa mendikte negara lain,” ujarnya, “mau tidak mau, kita tidak bisa bilang ke pemerintah negara pembeli untuk misal ‘jangan pakai untuk ini-itu,’” tambahnya

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.