Patroli Bersama Dilanjutkan Pasca Australia Jelaskan Pembakaran Kapal Nelayan Indonesia

Aktivis menyebut nelayan Indonesia adalah korban pencurian ikan oleh nelayan asing di Natuna, tapi pelaku di perairan Australia.
Ronna Nirmala
2021.11.10
Jakarta
Patroli Bersama Dilanjutkan Pasca Australia Jelaskan Pembakaran Kapal Nelayan Indonesia Dalam foto yang diambil dari laman akun Facebook Australian Border Force (ABF) pada 2 November 2021 ini memperlihatkan salah satu kapal nelayan Indonesia yang dibakar ABF karena melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Australia.
Akun FB Australian Border Force

Indonesia akan menjadwalkan ulang rencana operasi patroli laut bersama Australia yang ditunda sebagai protes atas pembakaran tiga kapal nelayan oleh pasukan perbatasan Australia karena melakukan penangkapan ikan ilegal di perairan sebelah utara Darwin. 

Pada Senin, sejumlah media Australia mempublikasikan foto-foto milik Australian Border Force (ABF) pasca-patroli selama tiga hari pada akhir pekan lalu.

Dalam keterangannya, ABF menyebut pihaknya telah membakar tiga kapal nelayan berbendera Indonesia karena kedapatan mencuri ikan di perairan mereka, seraya mengusir 13 kapal lainnya. 

Kabar tersebut langsung direspons pemerintah Indonesia dengan mengumumkan penundaan patroli bersama tahunan bernama Jawline-Arafura yang ditujukan untuk mencegah pencurian ikan sampai mendapatkan keterangan lengkap dari pihak Australia terkait penindakan tersebut. 

Wahyu Muryadi, juru bicara Menteri Kelautan dan Perikanan, pada Rabu (10/11), mengatakan pemerintah telah menerima klarifikasi dari ABF tentang alasan pembakaran yang menurutnya terjadi bulan lalu.

“Tindakan tersebut dilakukan karena sudah berulang kali nelayan tradisional kita masuk wilayah Australia, terutama masuk wilayah konservasi,” kata Wahyu kepada BenarNews. 

“Maka selanjutnya operasi patroli bersama akan dilaksanakan dengan jadwal yang akan dibicarakan ulang dengan Australian Border Force,” ujarnya. 

Komando Perbatasan Australia Laksamana Muda Mark Hill yang dikutip dari ABC mengatakan penindakan kepada kapal-kapal nelayan Indonesia dilakukan karena mereka terbukti mencuri ikan di perairan dekat Timor Leste tersebut. 

Bukan hanya itu, beberapa nelayan juga pernah ditangkap sebelumnya untuk pelanggaran serupa. ABF juga menyita ratusan kilo alat tangkap ikan dan juga total 630 kilogram teripang dari kapal-kapal tersebut. 

"Akhir pekan kami cukup sibuk karena menemukan 16 kapal yang menangkap ikan secara ilegal," kata Hill, seraya menambahkan, “sayangnya kami melihat beberapa residivis, tapi pada umumnya para nelayan cukup patuh, mereka tidak agresif dan mereka melakukan apa yang kami minta.”

Tindakan penindakan yang dilakukan patroli perbatasan Australia kepada nelayan Indonesia ini bukan yang pertama terjadi pada tahun ini. Juni 2021, satu dari tiga kapal nelayan Indonesia juga disita, dihancurkan, kemudian dibuang ke laut karena terbukti melakukan penangkapan ikan di karang Ashmore, sekitar 840 kilometer barat Darwin.

ABF juga menyita sekitar 170 kilogram teripang dan 5 kilogram ikan segar berikut dengan alat tangkapnya. 

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti, yang dalam masa kepemimpinannya terkenal dengan penenggelaman kapal asing yang diketahui mencuri ikan di perairan Indonesia,  memuji langkah pemerintah Austrlia yang membakar tiga kapal tersebut.

Respect dan apresiasi untuk aparat Australia yang telah menjaga kedaulatan wilayah dan resources-nya,” kata Susi, melalui akun Twitternya, Selasa. 

Menurut Susi, langkah tersebut juga bisa kembali diterapkan di Indonesia untuk menindak kapal-kapal pencuri ikan asing yang masuk ke wilayah perairan Indonesia, sebuah kebijakan yang dilakukannya saat menjabat dulu. 

Di bawah Presiden Joko “Jokowi” Widodo, setidaknya 558 kapal asing ditenggelamkan setelah dituduh mencuri ikan di perairan Indonesia, kebanyakan berasal dari Vietnam dan Filipina. Praktik itu sudah jarang dilakukan sejak 2019, setelah Susi tidak lagi menjabat.

“Di selatan kita pelaku”

Mohammad Abdi Suhufan, Koordinator Nasional lembaga swadaya masyarakat Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, menilai Indonesia seharusnya melihat fakta bahwa penindakan yang dilakukan Australia membuktikan bahwa masih ada praktik perikanan ilegal, tidak terlaporkan, tidak diatur (illegal, unreported, unregulated fishing/IUUF) justru masih sering dilakukan nelayan Indonesia. 

“Di utara kita menjadi korban dan di selatan kita menjadi pelaku,” kata Abdi kepada BenarNews, Rabu.

Sementara peneliti DFW Indonesia lainnya, Asrul Setyadi, menambahkan bahwa karakteristik nelayan yang melakukan penangkapan ilegal di Australia memang umumnya kapal kecil dan tradisional dengan target tangkapan teripang, komoditas mahal namun langka di Indonesia.

Menurut Asrul, KKP bukan hanya perlu meningkatkan kapasitas patroli di wilayah perbatasan Australia-Indonesia, melainkan juga pemberdayaan kapasitas nelayan dalam negeri di tengah kebutuhan ekonomi yang meningkat. 

“Klaim aparat Australia bahwa mereka yang ditangkap adalah residivis artinya mereka telah berulang kali melakukan praktik tersebut sehingga solusinya harus dengan pendekatan ekonomi,” kata Asrul. 

“Sayangnya selama ini KKP hanya fokus pada pengawasan dan patroli di Natuna, sehingga melupakan perbatasan kita dengan Australia dan Papua Nugini,” katanya, menambahkan. 

DFW menyayangkan respons yang diambil pemerintah untuk menunda patroli bersama, di saat kerja sama antarnegara itu adalah langkah efektif untuk menangani penangkapan ikan ilegal. 

Senada, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, “pemerintah gegabah mengambil keputusan untuk menunda patroli bersama ketika pada kenyataannya pelanggaran tersebut dilakukan oleh pihak Indonesia.”

Sementara itu, pada Rabu, Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne dikabarkan tiba di Jakarta untuk menggelar pertemuan bilateral dengan Menlu Indonesia Retno Marsudi. Sampai artikel ini ditulis, Kementerian Luar Negeri Indonesia belum memberikan keterangan perihal hasil pertemuan keduanya. 

Kedatangan Payne ke Jakarta berbarengan dengan kekhawatiran Indonesia atas kehadiran kerja sama pertahanan Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AUKUS) yang memungkinkan Canberra mengembangkan kapal selam bertenaga nuklir dengan didukung dua negara sekutunya itu. 

Retno dalam keterangannya bulan lalu, mengatakan kehadiran aliansi keamanan ini memungkinkan untuk terjadinya kehadiran kekuatan tandingan sehingga membuat kawasan dan Laut China Selatan menjadi arena persaingan baru. 

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.