Kerja sama kurangi emisi karbon, Australia gelontorkan Rp2 triliun untuk Indonesia
2024.03.15
Jakarta
Australia menggelontorkan A$200 juta, atau senilai Rp2 triliun, untuk menjalin kerja sama dengan Indonesia dalam mengurangi emisi dan mendorong sistem energi dan industri menuju nol emisi karbon, kata pejabat pemerintah negara benua itu pada Jumat (15/3).
Kuasa Usaha Australia untuk Indonesia Steve Scott mengatakan bahwa program Kemitraan Iklim dan Infrastruktur Australia-Indonesia, atau KINETİK, ini merupakan inisiatif iklim dan energi Australia yang utama di Indonesia.
“Dengan nilai 200 juta dolar Australia, KINETIK akan memperdalam kerja sama bilateral untuk mengurangi emisi dan mendorong sistem energi dan industri untuk mempercepat transisi menuju nol emisi karbon,” ujar Scott dalam siaran pers Kedutaan Besar Australia di Indonesia.
Kemitraan tersebut, kata Scot, akan berfokus pada tiga pilar yang saling memperkuat. Pertama, akan mendorong peningkatan investasi dalam transisi energi dengan mendukung reformasi kebijakan dan regulasi yang dijalankan Indonesia.
Kedua, kerja sama ini akan membuka akses pembiayaan bagi usaha kecil dan menengah yang berfokus pada iklim melalui Australian Development Investments, dan memberikan insentif bagi investasi pada proyek-proyek infrastruktur hijau berskala besar.
KINETIK juga akan mendorong transisi energi yang setara di mana perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat terpinggirkan dapat berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari peralihan menuju nol emisi karbon.
Sebelumnya, Scott menegaskan bahwa Indonesia dan Australia sama-sama menghadapi tantangan perubahan iklim masih merupakan hal yang baru bagi pemerintah dan industri.
Kedua negara, menurut dia, berada pada jalur yang sama dalam mencapai nol emisi karbon dan menghadapi tantangan yang sama dalam mengatasi dampak perubahan iklim.
“Tapi juga peluang yang sama, terutama dalam transisi menuju energi bersih," ujar Scott.
Indonesia dan Australia juga menjalin kerjasama memperkuat perbankan menghadapi perubahan iklim melalui “Climate Risk Stress Test Framework”.
Kedua negara juga menyepakati kerja sama pengembangan kendaraan listrik untuk memajukan industri baterai, pemrosesan mineral penting, dan aspek lain ekosistem kendaraan listrik.
Indonesia sendiri mengumumkan akan memenuhi nol emisi paling lambat pada 2060. Target tersebut akan dicapai melalui efisiensi energi, pengembangan energi baru terbarukan, bahan bakar rendah karbon dan pemanfaatan generasi bersih teknologi.
Indonesia mempunyai target bauran energi nasional pada 2025 sebesar 23% berasal dari energi baru dan terbarukan. Sementara target pengurangan emisi pada 2030 sebesar 29%, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Perlu kembangkan energi lokal
Yayan Satyakti, ekonom Universitas Padjadjaran di Bandung mengatakan kemitraan kedua negara bisa digunakan untuk peningkatan kapasitas dan literasi pada sumber daya energi baru dan terbarukan.
Menurut dia, Indonesia perlu mengembangkan transisi energi berbasis lokal, yaitu berbasis pada sumber daya dan teknologi lokal.
“Jika sifatnya menawarkan teknologi yang tidak berbasis lokal akan seperti proyek-proyek sebelumnya, proyek hanya bertahan dua hingga empat tahun setelah itu mangkrak,” ujar Yayan.
Menurut dia, dana sebesar A$200 juta ini tidak cukup besar untuk ukuran Indonesia. Karena itu perlu wilayah-wilayah prioritas dan yang mampu meningkatkan literasi dan implementasi program dalam skala kecil.
Pengamat energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan program transisi energi harus terus dilanjutkan setelah Presiden Joko “Jokowi” Widodo tidak mencapai target-target yang diinginkan.
Menurut Fahmy, bauran energi baru terbarukan pada akhir 2023 baru mencapai 12,8%, masih cukup jauh dari target sebesar 23 persen pada 2025. Pada 2020 mendatang, targetnya lebih menantang yaitu 44%, kata dia.
Fahmy mengatakan bahwa program-program transisi energi di Indonesia menemui berbagai kendala. Misalnya, program biodiesel berbasis sawit bertabrakan dengan program pangan untuk menghasilkan minyak goreng, sehingga tidak maksimal.
Fabby Tumiwa, direktur eksekutif Institute for Essential Services Reform, mengatakan ada dua kebijakan di Indonesia yang menghambat transisi energi: pertama, kebijakan kewajiban pasar domestik (DMO) untuk batu bara.
Kebijakan ini membuat harga jual batu bara untuk pembangkit listrik maksimal $70 per ton atau dengan kata lain, kata Fabby, pemerintah memberikan subsidi tidak langsung pada komoditas ini.
“Karena batu bara disubsidi, maka listriknya jadi terlihat murah. Itu adalah insentif untuk terus mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batu bara. Tidak bisa mengembangkan energi lain karena terlihat mahal," ujar dia pada BenarNews.
Kebijakan lain yang menghambat transisi energi adalah subsidi tarif listrik yang rendah menyulitkan sumber energi terbarukan seperti panas bumi, pembangkit listrik tenaga air besar, bersaing karena biaya pembangkitannya relatif lebih tinggi, kata Febby.
Menurut dia, masalah tersebut perlu diatasi sehingga PLN dan perusahaan listrik swasta punya ruang berinvestasi pada proyek energi terbarukan. Namun soal tarif ini adalah persoalan sensitif dan sering menjadi komoditas politik, tambah dia.
“Jadi jika sasaran program KINETIK adalah reformasi regulasi, maka sudah seharusnya dua kebijakan ini yang jadi sasaran,” ujar Fabby.