Analis: Mengetuai ASEAN, Indonesia tidak efektif hadapi krisis Myanmar
2023.12.07
Jakarta
Diplomasi “non-megafon” yang dipraktikkan Indonesia sebagai ketua ASEAN pada tahun 2023 tidak efektif dan tidak kreatif dalam upaya menyelesaikan krisis Myanmar, demikian menurut para analis.
Pada awalnya banyak pihak yang mengharapkan Indonesia, negara terbesar di kawasan ini dan pendiri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), untuk menggunakan posisinya sebagai ketua ASEAN tahun ini untuk berperan lebih banyak dalam menangani konflik di negara yang dipimpin oleh junta militer itu.
Utusan khusus Indonesia untuk negara yang dilanda kudeta ini pada bulan lalu memuji lebih dari 180 keterlibatan Jakarta dengan para pemangku kepentingan di Myanmar. Namun demikian seorang analis mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia pada investasi dari China – mitra dagang terbesar Myanmar – mencegah Jakarta untuk menekan junta serta anggota ASEAN yang bersekutu dengan Beijing untuk mengambil tindakan lebih tegas.
Indonesia terlalu lemah dan tidak berani untuk menekan junta Myanmar, kata Poltak Partogi Nainggolan, peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional Jakarta.
“Ketergantungan pada investasi Tiongkok tidak hanya membatasi tetapi juga sangat menghambat pengambilan keputusan dan kerangka kerja yang sebenarnya dapat dimulai dan dilaksanakan oleh Indonesia (sebagai ketua ASEAN),” kata Poltak kepada BenarNews, seraya menambahkan bahwa semakin besarnya pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara juga tidak membantu.
Para analis mengatakan ada perbedaan yang jelas di antara 10 anggota ASEAN mengenai cara menangani krisis di Myanmar pasca kudeta. Indonesia, Malaysia, dan Singapura dilaporkan mengambil tindakan yang lebih keras dibandingkan Kamboja, Laos, dan Thailand yang pro-China, dimana militer memiliki hubungan dekat dengan junta Burma.
“Melemahnya solidaritas ASEAN, terutama di kalangan anggota baru, menjadikan junta militer Myanmar arogan, tidak hormat, dan terus melanggar kesepakatan yang telah dicapai dengan ASEAN, kata Poltak, mengacu pada Kamboja yang bergabung dengan blok regional tersebut pada 1999, dan Laos serta Myanmar, yang menjadi anggota ASEAN pada 1997.
Pada Mei, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan bahwa India diam-diam terlibat dalam diplomasi dengan junta, pemerintah sipil bayangan Myanmar, Tiongkok, India dan Thailand dalam upaya menyelesaikan krisis Burma.
Tujuan dari kerja sama ini adalah untuk membangun kepercayaan “melalui diplomasi non-megafon,” kata Retno saat itu.
Namun Indonesia kurang inovatif dalam menghadapi krisis Myanmar, dengan memaksakan diplomasi diam-diam, yang tidak membuat junta Myanmar menghormati kepemimpinan ASEAN, kata Poltak.
“Tanpa tekanan politik dan dukungan yang solid atau menyeluruh, konsisten dan berkesinambungan dari seluruh anggota ASEAN, [dan] pertemuan rutin dengan junta militer… penyelesaian masalah Myanmar sulit dilakukan,” kata Poltak.
“Posisi Indonesia jelas sudah terpuruk, tidak lagi [dilihat] sebagai kakak dan salah satu pendiri ASEAN yang disegani dan dihargai,” kata Poltak.
BenarNews menghubungi Kementerian Luar Negeri Indonesia untuk meminta tanggapan terhadap kritik tersebut, namun Kementerian menolak berkomentar.
Kantor Utusan Khusus Indonesia untuk Myanmar sering menyebutkan banyaknya pertemuan yang telah mereka lakukan sepanjang tahun dengan semua pihak yang terlibat dalam konflik Myanmar.
“Sebagai ketua ASEAN, Indonesia telah melakukan lebih dari 180 pertemuan dengan berbagai pemangku kepentingan Myanmar, termasuk SAC, selama kepemimpinannya pada tahun 2023,” kata kantor tersebut dalam sebuah pernyataan pada 24 November, setelah pertemuan serupa yang diadakan beberapa hari sebelumnya. SAC mengacu pada Dewan Administratif Negara Myanmar, yang merupakan nama resmi junta.
Pernyataan itu mengatakan pihaknya bertemu secara terpisah pada 20-22 November dengan pihak berwenang Myanmar, kelompok pro-demokrasi, termasuk Pemerintah Persatuan Nasional (NUG yaitu pemerintahan sipil paralel), dan anggota kelompok etnis bersenjata yang telah menandatangani perjanjian gencatan senjata nasional.
Tujuannya, kata pernyataan itu, adalah mengajak semua pihak berdialog sehingga kekerasan bisa diakhiri.
Setelah pertemuan-pertemuan terpisah ini, kantor utusan khusus mengatakan pihaknya “memfasilitasi pertukaran ‘pesan’ dari masing-masing kelompok” yang diharapkan akan membuka jalan bagi kemungkinan dialog awal.
Namun, juru bicara junta, Mayjen Zaw Min Tun, membantah menghadiri pertemuan apa pun, dan mengatakan kepada media lokal pada 25 November bahwa militer tidak menunjuk siapa pun sebagai wakilnya dalam dialog itu dan tidak punya alasan untuk berpartisipasi.
Pertemuan seperti itu tidak ada gunanya, kata Aung Myo, mantan perwira militer Myanmar yang kini menjadi analis politik.
“Indonesia, yang disebut-sebut sebagai juara demokrasi ASEAN, hanya menegaskan, mungkin untuk menyembunyikan kekurangannya, bahwa Indonesia telah melakukan upaya untuk mengatasi krisis Myanmar selama masa kepemimpinannya di ASEAN pada tahun 2023,” kata Myo kepada RFA Burmese, unit Radio Free Asia yang berafiliasi dengan BenarNews.
“Pertemuan ini tidak akan berdampak pada krisis yang sedang berlangsung di Myanmar.”
Analis lain di Myanmar, Than Soe Naing, menggambarkan pertemuan itu hanya sekedar isyarat belaka.
“ASEAN hanya menunjukkan usaha mereka,” kata Than Soe Naing kepada RFA.
“Saya rasa, dalam praktiknya, mereka tidak akan bisa mencapai hasil apa pun.”
“Indonesia harus mengadakan pertemuan darurat”
Sementara itu, situasi di Myanmar semakin memburuk dengan kelompok-kelompok perlawanan dari mengambil alih militer dan sebagian berhasil.
Kepala junta Burma, Sr. Jenderal Min Aung Hlaing, pada kenyataannya, mengkonfirmasi pada 27 November bahwa para pemberontak etnis telah mengambil alih beberapa pos militer di negara bagian Shan utara, seperti yang dilaporkan oleh Radio Free Asia.
Dan semakin intensifnya pertempuran antara pejuang etnis Tentara Arakan dan pasukan junta di negara bagian Rakhine, Myanmar barat, telah menyebabkan puluhan ribu penduduk desa mengungsi dari empat kota besar, kata penduduk pada hari Senin, RFA melaporkan.
Di tengah memburuknya konflik di Myanmar dan potensi dampaknya terhadap wilayah tersebut, Presiden Joko “Jokowi” Widodo harus mengadakan pertemuan darurat dengan para pemimpin ASEAN untuk mengatasi situasi di sana, The Jakarta Post mengatakan dalam editorialnya pada Senin.
Laporan tersebut juga menyarankan agar Jokowi dapat berbicara dengan para pemimpin ASEAN lainnya yang menghadiri konferensi iklim COP 28 yang sedang berlangsung di Dubai hingga 12 Desember dan menetapkan pertemuan ketika acara tersebut berakhir.
Dalam pertemuan puncak darurat para pemimpin ASEAN di Jakarta pada April 2021, pemimpin kudeta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing menyetujui konsensus lima poin menuju perdamaian di negara itu pasca kudeta militer.
Kelima poin itu termasuk mengakhiri kekerasan, memulai dialog, memberikan bantuan kemanusiaan, menunjuk utusan khusus, dan utusan ASEAN mengunjungi Myanmar.
Namun junta mengabaikan konsensus lima poin itu. Sejak kudeta pada Februari 2021, militer Burma telah menindak protes massal, menewaskan lebih dari 4.200 orang dan menangkap puluhan ribu lainnya, kata kelompok-kelompok hak asasi manusia.
Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, mengatakan keputusan untuk mengecualikan pemimpin junta Myanmar dari menghadiri KTT ASEAN adalah tidak efektif, karena tidak menghalangi militer Myanmar untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun, kata Usman, Indonesia, dalam tugasnya sebagai ketua ASEAN, tidak boleh disalahkan sepenuhnya, karena prinsip-prinsip blok tertentu seperti non-intervensi dalam urusan dalam negeri anggotanya menjadi hambatan.
“Hal ini menunjukkan bahwa ASEAN belum secara efektif menjalankan peran kolektif dan efektifnya sebagai titik fokus dalam mengatasi permasalahan politik regional di Asia Tenggara, khususnya Myanmar,” kata Usman kepada BenarNews.
“Ini bukan hanya tanggung jawab Indonesia, tapi juga tanggung jawab ASEAN bersama.”
RFA Burma berkontribusi pada laporan ini.