Menlu: Indonesia lakukan “Quiet Diplomacy” dengan pemangku kepentingan di Myanmar termasuk NUG

Retno Marsudi sebut dalam empat bulan ini setidaknya ada 60 kali pembicaraan dengan berbagai pihak di Myanmar.
Tria Dianti dan Arie Firdaus
2023.05.05
Jakarta
Menlu: Indonesia lakukan “Quiet Diplomacy” dengan pemangku kepentingan di Myanmar termasuk NUG Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi berbicara dalam konferensi pers dalam acara retreat Menteri Luar Negeri ASEAN di Jakarta, 4 Februari 2023.
[Bay Ismoyo/AFP]

Indonesia secara diam-diam telah terlibat dengan para pemangku kepentingan dari kedua pihak yang bertikai dalam konflik Myanmar, dan juga dengan pemerintah China, India, dan Thailand, untuk menemukan solusi bagi krisis pasca-kudeta di negara tersebut, demikian Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Jumat (5/5).

Ini merupakan upaya konkrit pertama yang diumumkan secara terbuka oleh Indonesia yang tahun ini menjadi ketua Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN).

Dalam posisi tersebut, Menlu Retno Marsudi mengatakan Indonesia telah melakukan pembicaraan dengan para pemangku kepentingan utama Myanmar, seperti State Administration Council (SAC)- pemerintahan junta, National Unity Government (NUG) parlemen terpilih yang digulingkan junta, Ethnic Armed Organizations (EAO), serta PBB.

Tujuan dari keterlibatan yang dilakukan diam-diam tanpa melalui megaphone diplomacy adalah untuk memberikan ruang bagi seluruh pihak guna membangun kepercayaan agar lebih terbuka dalam berkomunikasi. “Pendekatan ini disambut baik oleh semua pihak termasuk pemangku kepentingan di Myanmar,” kata Retno dalam konferensi pers di Jakarta.

Ia menambahkan quiet diplomacy bukan berarti Indonesia tidak melakukan apapun, yang terjadi sebaliknya adalah dalam empat bulan ini pemerintah setidaknya 60 kali telah melakukan pembicaraan dengan berbagai pihak di Myanmar, walaupun Retno mengakui bahwa “perbedaan posisi di antara mereka para stakeholders yang ada di Myanmar masih cukup lebar dan dalam."

NUG, yang terdiri dari anggota parlemen terpilih yang digulingkan dalam kudeta militer Myanmar 1 Februari 2021, mengkonfirmasi kepada Radio Free Asia (RFA), layanan berita yang berafiliasi dengan BenarNews, bahwa pertemuan dengan Indonesia memang terjadi.

“Setelah Indonesia mengambil alih keketuaan ASEAN, kami telah mengadakan pertemuan langsung dengan menteri luar negeri Indonesia serta para anggota dari kantor utusan khusus. NUG telah mengadakan pertemuan baik langsung maupun daring dengan mereka,” kata Menteri Luar Negeri NUG Zin Mar Aung kepada RFA Burma Service.

“Atas persetujuan bersama, pertemuan ini diadakan dengan tidak mempublikasikan detailnya,” kata Aung.

Ia mengatakan sulit untuk menyimpulkan apakah pertemuan itu akan membuahkan kemajuan. 

“Saya harus mengatakan bahwa ASEAN telah memfokuskan kekuatannya untuk menangani krisis Myanmar tetapi seberapa banyak kemajuan yang telah dibuatnya hanya dapat dilihat dari hasil KTT ASEAN nanti,” tambahnya.

KTT ASEAN ke-42 akan diadakan pada 9-11 Mei di Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur.

Retno mengatakan sebagai ketua ASEAN, Indonesia tidak akan menyerah dalam upaya menyelesaikan krisis Myanmar.

Ia juga menegaskan bahwa dia mengutuk keras penggunaan kekuatan yang mengakibatkan lebih banyak korban sipil.

“Kekerasan harus dihentikan, saya ulangi kekerasan harus segera dihentikan. Tanpa menghentikan kekerasan, tidak akan ada perdamaian di Myanmar,” tegasnya.

Sesuai amanat Lima Poin Konsensus (5PC) penanggulangan krisis Myanmar, yang disepakati pada April 2021 oleh semua pimpinan ASEAN termasuk Myanmar, salah satu kesepakatannya adalah diakhirinya kekerasan.

Namun poin tersebut jelas-jelas dipungkiri Junta. Militer Myanmar dilaporkan telah membunuh hampir 3.400 warga sipil sejak kudeta Februari 2021.

Namun selain melarang kehadiran perwakilan Junta dalam pertemuan tingkat tinggi ASEAN, tidak ada langkah kongkret lainnya yang dilakukan perhimpunan dari 10 negara tersebut untuk “menghukum” militer Myanmar yang telah mengingkari konsensus itu.

Sama seperti sebelumnya, pimpinan politik Myanmar juga tidak diundang dalam KTT ASEAN minggu depan di Labuan Bajo.

Tanggapan atas langkah Indonesia

Hunter Marston, peneliti bidang Asia Tenggara di Australian National University, mengatakan “diplomasi lunak” Indonesia itu mungkin menguntungkan dalam jangka panjang, tetapi belum tentu untuk jangka pendek selama masa kepemimpinan ASEAN.

Lebih buruk lagi, tambah Marston, tampaknya pertemuan Track 1.5 Thailand dan India melampaui dan membayangi proses yang dipimpin ASEAN. Track 1.5 merupakan bagian dari ASEAN Regional Forum yang lebih informal dan hanya melibatkan pakar atau mantan diplomat.

“Indonesia perlu menunjukkan beberapa langkah keberhasilan atau memanfaatkan pengaruhnya dalam menyatukan berbagai pemangku kepentingan sebelum India, Thailand, dan negara-negara CLV (Kamboja, Laos, Vietnam) melakukan manuver yang tidak seharusnya, yang semakin mendiskreditkan ASEAN dan 5PC-nya yang gagal,” kata Marston kepada BenarNews.

Jakarta mungkin ingin mempertimbangkan model ASEAN+ yang bergerak maju tanpa persetujuan Thailand dan atau Vietnam dan mengundang mitra dialog seperti Australia, Jepang, dan AS untuk memperluas pembicaraan dan memberi mereka lebih banyak pengaruh di berbagai pemangku kepentingan Myanmar, tambah Marston.

“Tetapi itu mungkin memerlukan negara-negara demokratik Barat itu untuk mengatasi rasa muak mereka harus duduk bersama junta,” kata dia.

Analis melihat bahwa negara-negara  ASEAN dengan kepemimpinan otoriter seperti Thailand, Kamboja, Laos, dan Vietnam berbeda posisi terkait Myanmar dengan negara ASEAN lainnya. Keempat negara itu cenderung mendukung junta Burma dan percaya bahwa blok regional tidak boleh ikut campur dalam masalah internal anggotanya.

Marston mengatakan pertemuan Track 1.5 oleh Thailand dan India terkait Myanmar pada 26 April di New Delhi dan pada Maret di Bangkok. Media melaporkan pertemuan itu melibatkan perwakilan junta Myanmar, China, India, Jepang dan negara-negara anggota ASEAN Kamboja, Laos, Thailand dan Vietnam dan Indonesia.

BenarNews menghubungi Kementerian Luar Negeri Indonesia pada 26 April untuk mendapatkan detil pertemuan di New Delhi itu.

“Saya tidak punya informasi tentang pertemuan itu. Kegiatan Track 1.5 tidak selalu terkait dengan posisi Indonesia sebagai ketua ASEAN,” kata juru bicara Kemlu, Teuku Faizasyah saat itu kepada BenarNews.

Teuku Rezasyah, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran menanggapi positif langkah Kemlu melibatkan negara-negara di luar Asia Tenggara, seperti India, China, serta organisasi internasional dalam mendorong penyelesaian krisis di Myanmar.

"Selama ini bilateral kan enggak mempan, regional juga enggak mempan. Dengan membawa ini menjadi isu global diharapkan bisa memberikan tekanan kepada Myanmar karena mereka tidak mau ini menjadi isu internasional," kata Rezasyah kepada BenarNews.

Serupa dengan Rezasyah, pengamat ASEAN dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pandu Prayoga juga menilai pelibatan negara lain dan organisasi internasional, sebagai langkah baik dalam penuntasan krisis di Myanmar.

Pandu merujuk keberadaan China sebagai mitra strategis Myanmar, sehingga diharapkan dapat memberikan dorongan tertentu agar junta militer yang tengah berkuasa dapat mengikuti konsensus lima poin yang telah disepakati.

"China kan sangat dekat dengan Myanmar sehingga dapat diminta mendorong Myanmar melaksanakan konsensus lima poin," kata Pandu.

Terkait pelibatan India, dia menilai negara itu sebagai penyeimbang. "India dapat menjadi penyeimbang bahwa Indonesia juga tak sepenuhnya bergantung kepada China dalam masalah Myanmar," katanya.

RFA Layanan Burma turut berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.