Indonesia: Aturan di Laut China Selatan harus dapat dilaksanakan
2023.03.10
Jakarta
Pemerintah Indonesia dan ASEAN menginginkan kode perilaku (Code of Conduct atau COC) di Laut China Selatan yang efektif, substantif dan dapat dilaksanakan, kata pejabat Kementerian Luar Negeri, Jumat, usai pertemuan pejabat senior ASEAN dan China pekan ini.
Pernyataan Direktur Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Indonesia Sidharto Suryodipuro menyusul seruan seorang diplomat senior AS agar kode perilaku di Laut China Selatan bersifat mengikat dan sesuai dengan hukum internasional.
“Tantangan negosiasi COC, kita tidak mau hanya menjadi dokumen saja, (yaitu) kesepakatan hanya demi kesepakatan. COC harus efektif, substantif dan actionable,” kata dia kepada wartawan di Jakarta.
Sengketa di Laut China Selatan melibatkan China, Taiwan, dan empat negara ASEAN – Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam.
Kode perilaku, yang telah dinegosiasikan sejak 2002, dimaksudkan untuk mencegah konflik dan menjaga stabilitas di Laut China Selatan.
Indonesia, yang tahun ini menjadi ketua ASEAN, berharap dapat menggunakan pengaruhnya sebagai negara terbesar di kawasan itu untuk mempercepat penyelesaian negosiasi tersebut. Pembicaraan tiga hari yang berakhir pada hari Rabu adalah putaran pertama dari negosiasi tahun ini, setelah kedua belah pihak bertemu di Kamboja pada Oktober tahun lalu.
Sebelumnya, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Asia Timur dan Pasifik Daniel Kritenbrink menyerukan COC dapat mengikat dan mengakui hak dari semua negara yang terlibat dan dilakukan sesuai hukum internasional.
Namun demikian, Sidharto enggan menjawab dengan tegas pertanyaan apakah COC itu akan bersifat mengikat atau tidak.
“Kita sendiri berupaya menghindari kata ‘binding’, karena para pakar internasional sendiri tidak semua sepakat dengan kata ‘binding’,” lanjutnya.
“Ini adalah suatu konsep yang mungkin populis tapi nilai praktisnya akan tergantung dari dokumen itu,” kata Sidharto.
Indonesia secara resmi menyatakan bukan merupakan pihak yang memiliki permasalahan klaim wilayah di Laut China Selatan, namun demikian Jakarta kerap bersitegang dengan Beijing terkait hak pencarian ikan terutama di perairan Natuna, yang disebut China berada dalam wilayah “sembilan garis putus- putus” yang secara historis diklaim sebagai wilayahnya.
Terakhir, kapal penjaga pantai China terlihat berpatroli di sekitar kawasan energi lepas pantai Blok Tuna yang terletak di Laut Natuna Utara - yang terjadi beberapa pekan setelah pemerintah Indonesia menyetujui pengembangan fase pertama Blok Tuna.
Konsisten dengan hukum internasional
Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik Daniel Kritenbrink mengharapkan COC yang mengikat secara hukum dan mendorong adanya kebebasan navigasi, penerbangan dan perdagangan sah tanpa hambatan di kawasan itu. Ia menambahkan bahwa sengketa di kawasan itu harus diselesaikan di bawah hukum internasional.
“Kami terus menyerukan implementasi yang efektif dari Deklarasi Perilaku (Declaration of Conduct/DOC) para pihak,” kata Kritenbrink seperti dikutip dari The Jakarta Post.
“Kami mendukung kesimpulan COC yang mengikat yang mengakui hak semua yang terlibat dan yang sepenuhnya konsisten dengan hukum internasional,” lanjutnya.
Kritenbrink mengunjungi Jakarta dalam rangka menghadiri Dialog ASEAN-AS di Sekretariat ASEAN pada Selasa. Ia berada di Indonesia dalam rangka kunjungan tiga harinya sebelum berangkat ke Malaysia pada Kamis malam.
Kunjungan ini dilakukan di tengah ketegangan yang berlangsung antara AS dan China, setelah Menteri Laur Negeri China Qin Gang mengkritik pandangan dan sikap AS yang menyudutkan China dalam sambutannya di Kongres Rakyat Nasional di Beijing.
“Fokus kami adalah persaingan yang sehat dan bertanggung jawab. Sebagai bagian dari itu, kami akan berbicara terus terang tentang berbagai bidang di mana perilaku China mengkhawatirkan kami, tindakan yang kami yakini merusak perdamaian dan stabilitas serta menantang aturan berdasarkan tatanan internasional,” kata Kritenbrink.
Dia mengatakan AS tidak akan meminta negara-negara untuk memilih antara AS dan China
“Yang ingin kami lakukan adalah memastikan bahwa Anda memiliki pilihan dan kemampuan untuk membuat pilihan Anda sendiri, bebas dari paksaan,” kata Kritenbrink.
Ciptakan lingkungan kondusif
Dosen Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Muhammad Arif, mengatakan sikap China yang menyatakan menghormati prinsip Indonesia bahwa ASEAN tidak boleh menjadi proksi dan tidak dipaksa untuk memihak bisa menjadi tanda positif terciptanya lingkungan yang kondusif untuk negosiasi COC.
“China selalu menginginkan antara ASEAN dengan China dengan gangguan minimal dari pihak luar (AS). Di sisi lain, hal itu dapat menimbulkan ketegangan dengan anggota ASEAN tertentu, seperti Filipina, yang semakin bergantung lagi pada mitra eksternal untuk keamanannya,” kata Arif.
Diketahui, Filipina sejak kepemimpinan Ferdinand Marcos Jr dinilai mengadopsi kebijakan luar negeri yang berani dengan memulai aliansi pertahanan dengan Amerika Serikat dan memprioritaskan wilayahnya di Laut China Selatan.
Awal Februari, Filipina bersedia memberikan akses militer bagi Amerika Serikat di empat lokasi markas pertahanan baru di Filipina. Kedua negara itu juga menyepakati patroli bersama di Laut China Selatan setelah sebelumnya vakum selama 6 tahun.
Kedekatan ini disebabkan karena beberapa kejadian sengketa teritorial antara Filipina dengan Beijing atas Laut China Selatan. Awal bulan Februari, China juga menuai protes saat kapal penjaga lautnya terpantau membuntuti sebuah kapal Angkatan Laut Filipina yang berlayar dalam zona ZEE Filipina saat kunjungan Menteri Pertahanan AS ke Filipina.
Pengadilan arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2016 memutuskan bahwa klaim "sembilan garis putus-putus" sebagai tidak sah namun Beijing selama ini selalu menolak putusan tersebut, dan berkeras bahwa China mempunyai yurisdiksi di sana.
Peneliti dari Departemen Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Gilang Kembara mengatakan perlu dibuat suatu perbedaan antara COC dan DOC Laut China Selatan.
“Sebuah COC yang tidak mengikat secara hukum tidak ada bedanya dengan DOC. Oleh karena itu, muncul desakan agar COC dibuat mengikat, agar dapat ditaati oleh semua pihak secara terus menerus. Termasuk China,” kata dia.
“Terlepas bisa mematuhi atau tidak, tidak bisa diukur. Tetapi perlu dipertanyakan apakah pihak-pihak yang terkait ingin melanggar ketentuan yang telah dibahas dan disetujui selama bertahun-tahun?” ujarnya.
Pada 2002 ASEAN dan Beijing menandatangani DOC untuk penyelesaian sengketa damai di Laut China Selatan, namun permasalahan itu tetap tidak terselesaikan hingga saat ini.