Imam Nahrawi Mundur dari Menpora
2019.09.19
Jakarta
Sehari setelah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Imam Nahrawi mundur dari Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), sementara desakan pencabutan UU KPK hasil revisi yang baru saja disahkan DPR semakin gencar disuarakan.
"Mulai hari ini, saya sudah menyampaikan surat pengunduran diri ke hadapan Bapak Presiden dengan harapan saya bisa berfokus menghadapi tuduhan KPK," kata Imam kepada wartawan di Jakarta, Kamis, 19 September 2019.
"Sudah barang tentu saya harus mengikuti proses hukum yang ada sebaik mungkin. Sekaligus (saya) menunggu sebaik-baiknya alat-alat bukti yang dimiliki KPK dengan tanpa membuat wacana terlebih dahulu karena saya tidak seperti yang dituduhkan mereka."
Imam merupakan menteri kedua kabinet Presiden Joko "Jokowi" Widodo yang terseret kasus korupsi setelah Menteri Sosial Idrus Marham pada 2018.
Idrus telah divonis tiga tahun penjara di tingkat pertama. Hukumannya diperberat saat banding jadi lima tahun, setelah dinyatakan terbukti menerima hadiah terkait proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
Serupa dengan Imam, Idrus ketika itu juga langsung mengundurkan diri dari jabatan menteri setelah disematkan status tersangka oleh KPK.
Selain mengutarakan mundur, Imam yang merupakan politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyampaikan permintaan maaf kepada Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan partai politiknya karena terlilit dugaan pidana korupsi.
Dia juga meminta pegawainya di kementerian terus bekerja maksimal, tanpa terganggu proses hukum dirinya.
"Karena kita pernah melaksanakan amanat besar negara yaitu Asian Games dan Asian Paragames serta multievent lain dengan baik dan sukses," imbuhnya.
Imam ditetapkan sebagai tersangka rasuah oleh KPK, Rabu. Dia disebut menerima suap Rp26,5 miliar dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dalam kurun waktu 2014-2018.
Respons Jokowi
Imam adalah salah satu menteri muda dalam kabinet kerja Jokowi, berusia 41 tahun saat dilantik pada 27 Oktober 2014.
Sebelum jadi menteri, ia merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PKB pada periode 2004-2009 dan 2009-2014. Imam pun sebenarnya kembali terpilih sebagai wakil rakyat untuk periode 2014-2019, tapi kemudian mundur untuk mengisi pos Menpora.
Terkait pengunduran diri Imam, Jokowi belum memutuskan apakah bakal mengangkat menteri baru atau menunjuk pelaksana tugas pada sisa masa kerja anggota kabinet yang hanya sebulan lagi.
"Segera kami pertimbangkan apakah segera diganti atau memakai pelaksana tugas," ujar Jokowi di Istana Negara.
Pengamat politik Hendri Satrio menilai presiden sebaiknya tidak perlu menunjuk menteri pengganti atau pelaksana tugas, mengingat waktu kerja kabinet hanya bersisa sebulan.
"Saya rasa tidak perlu. Itu (jabatan Menpora) bisa dirangkap Menko PMK (Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan)," ujar Hendri kepada BeritaBenar.
Adapun peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menyebut, penetapan tersangka Imam menunjukkan partai politik masih gagal menelurkan kader yang jujur dan bersih.
"Mereka (partai) masih sekadar memenuhi syahwat politik dan kepentingan kelompok mereka," ujarnya.
‘Bencana legislasi’
Sementara itu, berbagai kalangan terus menyuarakan agar UU KPK hasil revisi yang baru disahkan DPR Selasa lalu untuk dibatalkan karena dinilai bakal melemahkan lembaga antirasuah itu.
Ratusan mahasiswa dan massa dari berbagai kalangan melancarkan unjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka membawa spanduk dan poster dukungan kepada KPK dan berorasi silih berganti.
Bahkan 18 mahasiswa dari berbagai universitas telah mengajukan gugatan uji materil dan formal UU KPK hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah pihak juga sedang menyiapkan materi gugatan.
"Benar, sudah diterima kemarin. MK akan menindaklanjuti dan memproses permohonan itu sesuai ketentuan hukum acara," ujar juru bicara MK, Fajar Laksono.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti dalam jumpa pers di gedung KPK menyatakan bahwa UU KPK yang baru disahkan DPR merupakan “bagian dari bencana legislasi” di Indonesia karena parlemen membuat sejumlah langkah kontroversial pada akhir masa jabatannya.
Tak hanya itu, Bivitri menyebut langkah-langkah kontroversial DPR tak sesuai dengan hukum karena pembahasan revisi UU KPK tak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019.
“Prolegnas adalah rencana lima tahunan. Setiap tahunnya ada daftar prioritas pembahasan RUU yang harus disetujui DPR dan presiden. Revisi UU KPK tidak ada dalam Prolegnas. Jadi ini jelas tak sesuai hukum,” ujarnya.
Di tempat yang sama Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Dadang Trisasongko, mengatakan pihaknya tidak menemukan satu pun kajian mendalam yang menjadi dasar revisi UU KPK.
“Naskah akademik sangat dangkal isinya. Saya jadi curiga karena itulah pembahasannya tertutup, antipati, begitu cepat, karena menghindari perdebatan di masyarakat. Jadi ada proses legislasi yang tidak didasarkan pada satu pendekatan ilmiah, tidak partisipatoris, dan tidak transparan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan saat ini tengah terjadi perubahan besar dalam perangkat hukum Indonesia dimulai dari revisi UU KPK dan diikuti revisi KUHP yang berpotensi menyeret banyak orang ke penjara.
“Ini menunjukkan adanya penurunan kualitas dalam upaya memerangi korupsi dan melindungi hak asasi manusia,” ujarnya.
Sedangkan, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif kembali menegaskan pembahasan revisi UU KPK tidak melalui persetujuan dari para komisioner. Dia bahkan mengusulkan kepada Badan Legislasi DPR bahwa revisi UU KPK belum perlu.
KPK, lanjut Laode, tidak alergi terkait pembentukan Dewan Pengawas KPK. Namun dia menilai pihaknya harus diberitahu soal inisiatif tersebut.