IDI Tolak Kebiri Pelaku Kejahatan Seksual
2019.08.27
Jakarta
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta pemerintah tidak melibatkan dokter sebagai eksekutor kebiri terhadap Muh. Aris bin Syukur (21), pelaku pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto, Jawa Timur, yang divonis 12 tahun penjara dengan pidana tambahan kebiri kimia.
"Kami menyampaikan agar dalam pelaksanaannya tidak melibatkan dokter sebagai eksekutor," kata Ketua Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran (MPPK), Pudjo Hartono di Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2019.
“Ini melanggar fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia yang juga didasarkan pada Sumpah Dokter serta Kode Etik Kedokteran lndonesia,” tambahnya dalam keterangan tertulis.
Pengurus Besar IDI mendukung kebijakan pemerintah untuk menghukum berat pelaku kekerasan seksual terhadap anak, sebagai pembelajaran sekaligus efek jera agar tidak mengulangi perbuatannya.
Namun, IDI tetap menolak dijadikan eksekutor karena kebiri kimia dinilai tak menjamin hilang atau berkurangnya hasrat perilaku seksual seseorang.
Untuk itu, IDI mengusulkan agar dicari bentuk hukuman lain sebagai sanksi tambahan kepada pelaku kejahatan seksual.
Pudjo menyebutkan bahwa IDI hanya ingin terlibat dalam proses rehabilitasi baik korban maupun pelaku.
“Rehabilitasi ini membutuhkan penanganan komprehensif melibatkan berbagai disiplin ilmu,” ujarnya.
Ketua Biro Hukum dan Pembinaan anggota IDI, HN Nazar menambahkan bahwa secara etika dokter dilarang mengebiri pasien.
“Secara etikanya, kode etiknya, enggak mengizinkan (kebiri) walaupun itu atas nama hukum,” katanya dalam wawancara dengan Kompas TV.
Hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual diatur dalam Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dimana dokter dikaitkan sebagai eksekutor. Regulasi itu juga mengatur pidana tambahan pemasangan pendeteksi elektronik kepada predator seks.
Kepala Pusat Penerangangan Kejaksaan Agung, Mukri, mengatakan eksekutor kebiri tetap akan dilakukan jaksa.
“Kemungkinan jaksa meminta bantuan tim medis,” katanya seperti dikutip dari laman Liputan6.com.
Karena IDI menolak terlibat sebagai eksekutor, Mukri mengatakan akan berkoordinasi lagi dengan organisasi itu.
“Kita akan cari solusi lain,” ujarnya seraya menyebutkan, Kejagung akan berkoordinasi dengan beberapa pihak untuk merumuskan teknis eksekusi kebiri.
Kebiri pertama
Aris merupakan pelaku kekerasan seksual pertama yang dihukum kebiri sejak Perppu Nomor 1 Tahun 2016 diterbitkan Presiden Joko “Jokowi’ Widodo.
Pria yang bekerja sebagai tukang las itu ditangkap polisi pada Oktober 2018 karena memperkosa sembilan anak perempuan di Mojokerto selama tahun 2015 - 2018, dengan iming-iming uang.
Pada 2 Mei 2019, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto memvonis Aris 12 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsidair enam bulan kurungan.
Aris juga diganjar hukuman tambahan berupa kebiri kimia yakni disuntik cairan kimia ke tubuhnya agar tak mampu ereksi seumur hidup.
Dia kemudian mengajukan banding, tapi Pengadilan Tinggi Jawa Timur memperkuat putusan PN Mojokerto, sehingga memutuskan untuk tidak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
“Kalau hukuman 20 tahun, saya terima. Tapi, saya menolak dikebiri. Terlalu berat. Nanti saya tidak akan mau menandatangani (eksekusi) kebiri,” kata Aris seperti dikutip dari JawaPos.
“Dari pada dikebiri, mending saya ditembak mati saja!”
Pro-kontra
Hukum kebiri dimasukkan ke dalan Perppu setelah terjadi peristiwa brutal pemerkosaan beramai-ramai dan pembunuhan terhadap seorang gadis 14 tahun oleh 14 laki-laki remaja dan dewasa di Bengkulu pada tahun 2016.
Aktivis hak asasi manusia (HAM) menolak hukum kebiri karena dilihat tidak akan memberikan efek jera seperti diharapkan, melihat kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia tetap menjadi persoalan serius, disamping hukuman ini melanggar HAM.
"Itu dilarang, karena itu melanggar konvensi antipenyiksaan yang sudah diratifikasi (Indonesia)," ujar Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam.
Dia sepakat pemerkosaan anak adalah pelanggaran HAM serius, tetapi hukuman fisik untuk pelaku bisa diganti dengan kurungan maksimal.
Menurutnya, hukuman yang diberikan bagi pelaku kejahatan harusnya bisa mengubah seseorang menjadi lebih baik. Namun, hukuman kebiri memupuskan kesempatan itu.
"Tidak ada kesempatan orang yang berbuat jahat menikmati untuk jadi baik," ujarnya, seraya menyatakan bahwa Komnas HAM sejak awal menolak pemberlakuan hukuman kebiri.
Namun, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise tak sepakat.
Menurutnya hukuman kebiri yang dijatuhkan atas Aris adalah sebuah langkah maju.
“Kementerian PPPA mengapresiasi putusan yang dilakukan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto atas pemberlakuan hukuman pidana tambahan berupa pidana kebiri kepada terdakwa,” ujarnya.
“Ini adalah hukuman tambahan yang diberlakukan setelah hukuman pokok dilaksanakan, sehingga efek dari hukuman tambahan akan bisa kita lihat setelah terdakwa menyelesaikan hukuman pokok. Ini salah satu upaya untuk memberikan efek jera kepada para predator anak.”
Pernyataan Yohana didukung Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, yang mengatakan putusan kebiri terhadap Aris bisa menjadi pedoman bagi hakim lain dalam menangani kasus kejahatan seksual terhadap anak.
"Hukuman ini juga bisa menjadi yurisprudensi hakim lain dalam kasus kejahatan seksual pada anak-anak. Secara hukum, majelis hakim sudah berupaya memberi efek jera pada pelaku dan berupaya melindungi anak-anak dari kejahatan seksual," katanya.
Sedangkan, staf khusus Menteri Kesehatan, Akmal Taher, mengatakan bahwa semua pihak perlu duduk bersama untuk menyelesaikan pro kontra hukuman kebiri.
“Saya yakin ada jalan keluarnya,” katanya.
Menurut dia, kebiri kimia seperti yang dijatuhkan terhadap Aris berupa suntik zat anti-androgen sifatnya tidak permanen, hanya menurunkan hormon testosteron sehingga hasrat seksualnya tak agresif.
“Tidak bisa hilang semuanya, karena bukan testisnya dibuang,” pungkasnya.
Lembaga Perlindungan Korban dan Saksi (LPSK) mengatakan pada bulan Juli bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Wakil ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan lembaga itu menangani empat kasus seperti itu setiap minggu.
"Kami percaya bahwa kasus-kasus tersebut adalah puncak gunung es dan tidak mencerminkan jumlah sebenarnya korban kekerasan seksual," katanya.
Ia mengatakan pada 2018, sedikitnya 206 kasus pelecehan seksual anak dilaporkan, meningkat tajam dari 81 kasus pada 2017 dan 25 kasus pada tahun sebelumnya.
Ahmad Syamsudin di Jakarta turut berkontribusi dalam artikel ini.