Tidak bisa pulang, pengungsi Rohingya pertaruhkan nyawa tinggalkan kamp pengungsian
2022.12.15
Sejumlah advokat hak asasi manusia mencatat adanya lonjakan pelayaran kapal yang berpotensi fatal yang membawa sejumlah pengungsi Rohingya menuju negara-negara di Asia Tenggara, di mana mereka dapat mengakses sekolah, makanan, dan pekerjaan.
Para advokat hak asasi manusia dan LSM di kawasan Asia mengatakan banyak dari pengungsi-pengungsi tersebut, yang tidak punya kewarganegaraan, telah putus asa karena tidak melihat harapan untuk dapat dipulangkan ke Myanmar, yang terus dilanda kekerasan setelah kudeta militer Februari 2021. Mereka juga tidak dapat bekerja atau menyekolahkan anak-anak mereka dengan baik di kamp pengungsian di negara tetangga Myanmar, Bangladesh dimana mereka juga dilarang meninggalkan kamp pengungsian.
Pada saat ini, ada orang-orang Rohingya terdampar di laut dan memohon bantuan, menurut seorang penasihat oposisi Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar, yang mengunggah dalam cuitannnya sebuah rekaman panggilan telepon yang diidentifikasinya dari seorang Rohingya di atas kapal. Telpon darurat itu tampaknya terjadi dalam 24 jam terakhir.
“Anak-anak kami tidak makan selama empat sampai lima hari. Kami semua menderita kelaparan. Jadi tolong bantu kami mencapai pantai,” kata penelepon itu, menurut terjemahan yang diberikan oleh seorang Rohingya di sebuah kamp pengungsi Bangladesh. “Seorang anak berusia tiga tahun di kapal meninggal karena kelaparan. Kami semua masih hidup, tapi kami benar-benar kehabisan makanan.
“Tolong kirimkan informasi ini kepada masyarakat dunia, UNHCR, pemerintah Indonesia dan Malaysia.”
Penelepon tanpa identitas itu mengatakan kapal yang mereka tumpangi mogok di suatu lokasi yang dia identifikasi sebagai Laut Indonesia.
“Kami melihat kenaikan signifikan jumlah orang Rohingya melakukan pelayaran berbahaya dengan perahu selama tahun ini. Pada akhir November, setidaknya empat kapal yang membawa pengungsi Rohingya meninggalkan Bangladesh untuk mencoba mencapai kawasan Asia Tenggara,” kata Lilianne Fan, salah satu pendiri Geutanyoë Foundation, sebuah organisasi kemanusiaan regional yang berbasis di Kuala Lumpur, kepada BenarNews.
“Hal ini didorong oleh memburuknya keamanan baik di Myanmar maupun di kamp-kamp Rohingya di Bangladesh.”
Mahi Ramakrishnan, pendiri LSM Beyond Borders Malaysia, mengatakan satu kapal yang membawa 200 orang Rohingya telah meninggalkan Bangladesh untuk berlayar ke Malaysia pada akhir November.
“Kami juga memiliki laporan yang tidak terverifikasi bahwa ada banyak kapal yang terapung-apung di laut selama lebih dari dua minggu saat ini. Hal terpenting yang Malaysia harus lakukan adalah mengirim petugas badan maritim ke laut untuk menemukan kapal-kapal ini, membawanya ke pantai dan memastikan para penumpangnya turun dengan selamat,” katanya.
“Penganiayaan oleh junta militer telah mendorong warga etnis Rohingya untuk meninggalkan Myanmar selama beberapa dekade terakhir. Kurangnya makanan, air bersih ditambah ketidakmampuan untuk menggunakan hak-hak dasar mereka adalah beberapa alasan Rohingya melarikan diri dari Bangladesh,” kata Ramakrsihnan kepada BenarNews.
Sebuah perahu yang membawa Rohingya terlihat di sini dalam foto drone yang diambil di dekat Lhoksukon, Aceh Utara, Indonesia, 24 Juni 2020. [Zik Maulana/AP]
Pada awal Desember, lembaga pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) melaporkan bahwa hampir 2.000 orang Rohingya telah berlayar dari Bangladesh dan Myanmar dalam 11 bulan pertama tahun 2022 – dibandingkan dengan 287 pada tahun 2021. UNHCR memperkirakan bahwa sekitar 120 dari mereka yang berlayar tahun ini telah meninggal atau hilang di laut.
“UNHCR … dan mitra-mitra kemanusiaan kami sedang mengamati adanya peningkatan dramatis jumlah orang yang mencoba menyeberangi Laut Andaman tahun ini,” ujar UNCHR dalam pernyataan.
“UNHCR memperingatkan bahwa upaya melakukan pelayaran ini mengakibatkan orang-orang yang ikut serta di dalamnya menghadapi risiko besar dan konsekuensi fatal.”
Laporan berita di awal bulan ini menyebutkan ada 154 orang Rohingya yang diselamatkan dari kapal yang tenggelam di Laut Andaman dan dipindahkan ke Angkatan Laut Myanmar. Reuters melaporkan bahwa sebuah kapal Vietnam menyelamatkan orang-orang tersebut, sementara layanan berita lainnya mengatakan dua kapal dari Perusahaan Minyak dan Gas Alam milik Myanmar menyelamatkan mereka sebelum kapal mereka tenggelam.
Sebagian besar dari sekitar 1 juta orang Rohingya, termasuk sekitar 740.000 orang yang telah melarikan diri dari Myanmar selama serangan militer brutal di Rakhine, negara bagian asal mereka pada tahun 2017, tinggal di kamp-kamp pengungsi yang padat dan luas di Cox's Bazar, sebuah distrik di tenggara Bangladesh dekat perbatasan Myanmar.
Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh sepakat dengan sebuah rencana repatriasi, tetapi upaya untuk mengembalikan warga etnis Rohingya ke tempat asal mereka gagal.
“Ada banyak orang di kamp yang sangat kekurangan. Mereka tidak melihat ada kemungkinan yang segera untuk repatriasi yang aman ke tanah air kita. Mereka mencoba melarikan diri dari sini untuk kehidupan yang lebih baik,” kata Muhammed Jubair, penjabat ketua Arakan Rohingya Society for Peace and Human Rights, sebuah kelompok yang berbasis di kamp Cox’s Bazar, kepada BenarNews.
Mizanur Rahman, komisioner Bangladesh untuk bantuan dan repatriasi pengungsi, menyalahkan prospek repatriasi yang suram sebagai alasan yang mendorong orang-orang Rohingya melarikan diri dari kamp untuk mencari rumah baru di luar negeri.
“Pemerintah Myanmar dan masyarakat internasional memiliki tanggung jawab besar dalam hal ini untuk memastikan pemulangan yang bermartabat dari orang-orang Rohingya,” kata Rahman kepada BenarNews.
Nur Khan Liton, direktur eksekutif organisasi hak asasi manusia Bangladesh Ain-O-Salish Kendra, mengatakan ada banyak alasan orang Rohingya berusaha meninggalkan kamp, termasuk kurangnya kesempatan pendidikan dan rekreasi.
Dia mengatakan sekitar 40 pemuda Rohingya ditahan dan didenda awal bulan ini karena bermain sepak bola di taman bermain di luar kamp di sub-distrik Ukhia di Cox's Bazar.
Menurut Khan, orang-orang Rohingya mencari masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan.
“Ada kekhawatiran serius tentang keamanan di kamp-kamp Rohingya. Kondisi hidup sangat tidak memadai,” ujarnya kepada BenarNews.
Sejak September 2021, situasi keamanan di dalam kamp semakin memburuk, dengan kelompok bersenjata dan tersangka militan Rohingya menargetkan pengungsi dan pemimpin Rohingya dalam serangkaian pembunuhan.
Perempuan Rohingya ditolong ke darat di Aceh Utara, Indonesia, 25 Juni 2020. [Muzakkir Nurdin dari BenarNews]
Pada bulan November, lebih dari 100 orang Rohingya mendarat di sebuah desa pesisir di provinsi Aceh, Indonesia setelah lebih dari sebulan berada di laut.
Atika Yuanita Paraswaty, ketua Asosiasi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Perlindungan Hak Pengungsi (SUAKA), menyalahkan junta Myanmar karena memaksa orang mengungsi.
“Betul, kondisi di Rakhine dan kamp pengungsi Bangladesh di sana tidak membaik, apalagi yang bisa mereka lakukan. Itu yang membuat mereka eksodus,” kata Yuanita. “Pemerintah Myanmar harus bertanggung jawab atas kondisi negaranya.
“Kita, sebagai warga Indonesia, harus membantu mereka sesuai mandat Peraturan Pemerintah nomor 125 tahun 2016 yang menyatakan bahwa Indonesia harus menerima pengungsi yang datang ke sini, meskipun Indonesia belum meratifikasi konvensi PBB tentang pengungsi,” ujarnya.
Beberapa orang Rohingya mencoba pergi dari Myanmar – tetapi tidak semuanya berhasil.
Pihak berwenang di Myanmar melakukan penyelidikan setelah sekelompok wanita Burma menemukan 13 mayat yang diyakini sebagai warga etnis Rohingya di dekat tumpukan sampah di wilayah Yangon, Myanmar.
Radio Free Asia, kantor layanan berita yang berafiliasi dengan BenarNews, mengatakan bahwa warga percaya para korban mungkin telah dibunuh oleh otoritas setempat atau calo yang disewa untuk membantu mereka melarikan diri dari kamp-kamp pengungsi yang kumuh di negara bagian Rakhine.
Sejak serangan militer tahun 2017 di sana, diperkirakan 125.000 Rohingya telah dikurung di kamp-kamp di negara bagian tersebut. Data RFA yang dikumpulkan antara Desember 2021 dan September menemukan bahwa hampir 800 Rohingya yang mencoba meninggalkan Rakhine melalui darat dan air ditangkap di berbagai bagian Myanmar.
'Mempertaruhkan hidup mereka'
Seorang pembela HAM di Thailand, yang berbatasan dengan Myanmar, mengatakan kepada BenarNews bahwa para pedagang manusia dapat mengeksploitasi orang-orang Rohingya saat mereka mencoba melarikan diri dari kamp pengungsi.
“Sulit untuk mengatakan jika jumlah orang Rohingya yang mencoba mencapai Thailand meningkat, karena kami telah melihat mereka mencoba masuk melalui semua cara yang ada. Mereka datang melalui laut dan darat,” kata Puttanee Kangkun, direktur The Fort, sebuah proyek yang berafiliasi dengan Fortify Rights, sebuah kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Asia Tenggara.
“Mereka mempertaruhkan hidup mereka melarikan diri dari situasi putus asa di negara bagian Rakhine, Myanmar, atau sebagai pengungsi di kamp Cox’s Bazar,” katanya.
Puttanee meminta pemerintah Thailand untuk “segera berkoordinasi dengan pemerintahan negara-negara di kawasan untuk melakukan misi pencarian dan penyelamatan kapal pengungsi Rohingya yang terapung di laut.”
Personel keamanan Bangladesh berjaga di samping orang-orang Rohingya yang diselamatkan dari laut setelah setidaknya tiga orang tenggelam saat kapal mereka yang menuju Malaysia tenggelam di lepas pantai Bangladesh di Teknaf, 4 Oktober 2022. [AFP]
Ramakrishnan, dari Beyond Borders Malaysia, mengatakan perdana menteri baru di negaranya harus mengambil langkah. Malaysia sebagai negara mayoritas Islam adalah tujuan utama di Asia Tenggara bagi Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar atau kamp pengungsi di Bangladesh.
“Oleh karena itu, Perdana Menteri Anwar Ibrahim harus memimpin dan menyerukan upaya terkoordinasi dari negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Thailand untuk menyelamatkan kapal-kapal ini. Hukum laut mewajibkan semua pemerintah untuk menyelamatkan perempuan, anak-anak dan laki-laki yang terapung-apung di laut,” katanya.
Malaysia terikat oleh prinsip non-refoulement, yang dengan jelas menyatakan bahwa kami tidak dapat mendeportasi para pencari suaka ini ke tempat di mana mereka akan menghadapi penganiayaan, kekerasan atau kematian, kata Ramakrishnan.
Upaya pemukiman kembali
Sementara itu, Amerika Serikat pekan lalu menerima 24 pengungsi Rohingya dari 64 orang yang diidentifikasi sebagai kandidat untuk pemukiman kembali dari Cox's Bazar, menurut pejabat Bangladesh.
Pada hari Selasa, Departemen Luar Negeri AS mengumumkan kolaborasi barunya dengan UNHCR dan pemerintah Bangladesh untuk mengizinkan orang-orang Rohingya menetap di Amerika Serikat.
“Program ini, yang akan menjadi bagian dari Program Penerimaan Pengungsi AS global, merupakan salah satu elemen dari respons komprehensif yang lebih luas terhadap krisis pengungsi Rohingya dengan fokus utama mempersiapkan Rohingya untuk kembali secara sukarela, aman, bermartabat, dan berkelanjutan. Amerika Serikat akan mempertimbangkan rujukan pemukiman kembali yang diajukan oleh UNHCR,” kata pernyataan itu.
“Pemukiman kembali orang-orang Rohingya yang paling rentan dari Bangladesh mencerminkan kepemimpinan Amerika Serikat selama dalam pemukiman kembali pengungsi ketika terjadi krisis terpindahnya manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan adanya sejumlah besar orang di seluruh dunia terpaksa melarikan diri dari perang, penganiayaan, dan ketidakstabilan.”
Di sisi lain, pemerintah Jepang juga sedang mempertimbangkan untuk mengizinkan beberapa orang Rohingya untuk bermukim di sana, menurut Bangladesh Sangbad Sangstha (BSS), kantor berita milik negara di Bangladesh.
“Jepang telah menerima permintaan tentang pemukiman (orang-orang Rohingya) di negara ketiga dari pemerintah Anda. UNHCR juga menyarankan kami untuk mempertimbangkan kemungkinan itu,” ujar Ito Naoki, duta besar Jepang di Dhaka kepada BSS, saat dia bersiap untuk mengakhiri masa jabatannya. Ito mengatakan ada sekitar 300 Rohingya tinggal di suatu kota berjarak 100 km (62 mil) di utara Tokyo.
Ahammad Foyez di Dhaka, Pizaro Gozali Idrus di Jakarta, Nisha David di Kuala Lumpur, Wilawan Watcharasakwet di Bangkok dan Radio Free Asia berkontribusi pada laporan ini.