Kapal Pesiar Equanimity Diserahkan ke Malaysia
2018.08.06
Jakarta, Indonesia

Diperbarui Senin, 6 Agustus 2018, 01:25 WIB
Kepolisian Indonesia (Polri) akhirnya menyerahkan kepada Malaysia kapal pesiar Equanimity yang sebelumnya sempat diamankan di perairan Bali atas permintaan kepolisian federal Amerika Serikat. Kuasa hukum pemilik kapal menilai langkah itu melanggar aturan.
Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Kombes Pol Daniel Tahi Monang Silitonga, membenarkan penyerahan tersebut atas permintaan Malaysia.
“Itu atas permintaan pemerintah Malaysia, prosesnya sedang dilakukan,” katanya ketika dihubungi BeritaBenar, Senin, 6 Agustus 2018.
“Kapal pesiar itu akan diserahkan di perbatasan antara perairan Indonesia dan Malaysia. Kami harus menjaga hubungan baik antara kedua negara.”
Kapal yang diduga milik pengusaha Malaysia yang kini buron, Low Taek Jho alias Jho Low, disinyalir dibeli dengan uang hasil korupsi skandal keuangan Bank Pembangunan Malaysia (1MDB).
Equanimity berangkat dari pelabuhan Teluk Benoa di Bali, Sabtu pekan lalu, dan tiba di perairan Batam, Kepulauan Riau, Senin siang.
Penyerahan kapal mewah beserta awaknya kepada otoritas Malaysia dilakukan di tengah laut di perairan Nongsa, Batam, sekitar 3 mil dari bibir pantai Nongsa Poin Marina.
Kepala Bidang Kepatuhan dan Pelayanan Informasi Bea dan Cukai Kota Batam, R. Evi Suhartantyo, mengatakan prosesi penandatanganan dokumen penyerahan berlangsung di atas kapal antara perwakilan Bareskrim Polri dan Kepolisian Malaysia.
“Sudah dilakukan vessel declaration sekitar pukul 3 siang tadi, dan diterima oleh perwakilan Polis Diraja Malaysia,” kata Evi kepada wartawan di Batam.
Kapal itu sudah diberangkatkan menuju Port Klang, Selangor Malaysia, dan diperkirakan tiba di negeri jiran itu, Selasa dinihari. Tiga kapal Baharkam Mabes Polri, dan 1 KRI ikut mengawal menuju perbatasan kedua negara.
“Saat ini kapal sedang berada di wilayah perbatasan Indonesia- Singapura,” ujar Evi.
Atas permintaan Mahathir?
Kapal Equanimity disita Polri pada 28 Februari 2018 di Bali atas permintaan Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI). Saat itu, petugas menyita sejumlah dokumen kapal dan sempat memeriksa sejumlah anak buah kapal.
Menurut catatan pengadilan AS, kapal Equanimity itu diduga dibeli Jho Low, pengusaha yang dikenal dekat dengan mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, dengan dana yang diperoleh secara tidak sah.
Dugaan itu berpangkal pada kasus penggelapan uang $4,5 miliar AS (sekitar Rp62,1 triliun) di 1MDB, lembaga yang dibentuk Najib, yang kasusnya tengah ditangani oleh Kementerian Kehakiman AS.
Najib saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam skandal mega korupsi itu.
Kementerian Kehakiman AS telah menelusuri aset-aset senilai $1,7 miliar (sekitar Rp23,4 triliun) hasil penggelapan dari 1MDB, termasuk di antaranya digunakan untuk membeli Equanimity.
Harga kapal pesiar berbendera Cayman Islands ini ditaksir berkisar $250 juta atau setara Rp3,4 triliun.
Atas gugatan praperadilan pemilik kapal, pada 17 April 2018, Pengadilan Jakarta Selatan menyatakan Polri tidak memiliki kewenangan menyita kapal tersebut.
Penyitaan dinilai tidak sah dan Polri disebut telah melakukan kewenangan berlebihan soal penerbitan perkara baru padahal Polri hanya menerima surat FBI, untuk menggelar operasi gabungan.
Saat itu, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Pol Rudy Heriyanto, berjanji akan segera menyerahkan kapal kepada pemiliknya.
Namun, Mei 2018, FBI kembali berupaya meminta Indonesia untuk menyerahkan kapal itu lewat bantuan timbal-balik, Mutual Legal Assistance (MLA), ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Belakangan disebut-sebut penyerahan kapal dilakukan atas permintaan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad saat berkunjung ke Indonesia dan menemui Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Juni lalu.
Kesepakatan penyerahan kapal itu juga dilakukan bersamaan dengan ditandatanganinya kerjasama kedua negara.
Mahathir melalui laman Facebooknya mengucapkan terima kasih kepada Polri, terutama Presiden Jokowi, atas kerja sama Indonesia yang telah menyerahkan kapal Equanimity kepada Malaysia.
“Gembira, apabila kapal layar Equanimity diserahkan kepada Malaysia oleh pihak berkuasa Indonesia,” katanya.
Menurutnya, langkah Indonesia telah menyelesaikan masalah yang dihadapi Malaysia karena “kita percaya bahwa kapal ini milik kerajaan Malaysia karena dia dibeli dengan duit Malaysia yang dicuri oleh pihak tertentu.”
Mahathir juga menantang pihak yang mengklaim sebagai pemilik kapal tersebut untuk menunjukkan bukti dan darimana sumber dana untuk membelinya.
Melanggar Hukum Indonesia
Kuasa hukum pemilik Equanimity menyatakan Polri telah melanggar hukum dan tidak menghormati perintah pengadilan, karena menyerahkan kapal itu ke Malaysia.
Seorang pengacara pemilik kapal, Andi Simangungsong, mengatakan bahwa Polri seharusnya melaksanakan lebih dulu putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan menyerahkan kapal itu kepada kliennya.
“Tindakan sita dan penyerahan ke Malaysia merupakan tindakan nyata Polri tidak menghormati bahkan mengabaikan putusan pengadilan Indonesia demi melaksanakan permintaan negara asing,” katanya kepada BeritaBenar.
Ia mengaku mendapat pemberitahuan rencana penyerahan itu, Sabtu lalu. Ia juga telah menyatakan keberatan kepada penyidik Mabes Polri.
Menurut Andi, seharusnya Polri tidak melewati proses MLA, yang sedang dilakukan Kemenkumham atas permintaan FBI.
”Harus ditunggu apakah Kemenkumham menganggap layak atau tidak layak permohonan MLA dikabulkan, terutama mengingat Amerika juga mengajukan MLA atas obyek yang sama,” ujarnya.
Andi mengaku telah melayangkan surat protes ke Mabes Polri atas tindakan sepihak Polri itu dan berencana mengajukan gugatan praperadilan lagi.
“Pemerintah Indonesia dan Polri seharusnya bertindak netral dan hanya bersandar kepada hukum yang berlaku, terutama dalam hal adanya putusan pengadilan Indonesia yang telah mengatur status obyek Equanimity,” katanya.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Eva Achjani mengatakan, sesuai aturan, Polri seharusnya melaksanakan putusan pengadilan.
Tapi dia yakin Polri punya dasar hukum yang kuat sehingga menyerahkan kapal ke Malaysia.
“Mungkin ada alasan lain yang mendesak harus dilakukan Polri, apalagi menyangkut hubungan diplomatik government-to-goverment,” katanya.