ICW: Vonis Koruptor Tak Berikan Efek Jera

Setya Novanto dipindahkan ke penjara Sukamiskin di Bandung setelah tidak mengajukan banding dan menerima hukuman 15 tahun penjara.
Rina Chadijah
2018.05.04
Jakarta
180504_ID_Novanto_1000.jpg Mantan Ketua DPR Setya Novanto (tengah) berbicara kepada wartawan setelah divonis 15 tahun di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 24 April 2018.
Rina Chadijah/BeritaBenar

Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir data vonis yang dijatuhkan pengadilan atas terdakwa korupsi selama tahun 2017, yang dianggap tak memberikan efek jera karena hukumannya rendah.

Peneliti hukum dan monitoring ICW, Lalola Easter, mengatakan dari 1.249 kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan dan KPK, selama tahun lalu, dengan 1.381 koruptor vonis yang dijatuhkan hakim tidak lebih dari 4 tahun penjara, padahal kerugian negara mencapai Rp29,41 triliun.

“Ini tentu jauh dari harapan bahwa seharusnya para koruptor divonis maksimal. Dengan hukuman rendah seperti ini, tentu tidak akan memberikan efek jera bagi para koruptor,” katanya kepada BeritaBenar, Jumat, 4 Mei 2018.

Lalola merinci 60 persen perkara korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) divonis ringan antara 1 hingga 4 tahun, 33,33 persen divonis sedang yaitu 4 hingga 10 tahun dan hanya 1,96 persen yang dihukum berat yakni lebih dari 10 tahun.

Sedangkan perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung), 82,40 persen divonis ringan yaitu tidak lebih dari 2,2 tahun, 11,20 persen divonis sedang, bebas 2,46 persen, lepas 0,41 persen, tidak teridentifikasi 0,82 persen, dan di bawah pidana minimal 2,56 persen.

Dari keseluruhan kasus, menurut Lalola, rata-rata vonis pengadilan yang penuntutan dilakukan KPK adalah 4 tahun. Sementara jaksa pada Kejagung rata-rata menuntut terdakwa koruptor selama 2 tahun 1 bulan.

Menurut Lalola, vonis ringan bagi koruptor tahun 2017 meningkat dari sebelumnya. Pada 2015, hanya 392 terdakwa divonis ringan. Sementara tahun 2016, ada 479 terdakwa kasus korupsi yang dihukum rendah.

Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang korupsi yang kemudian diubah dengan UU No 20 tahun 2001 menyebutkan, seorang terdakwa kasus korupsi  dipidana penjara  minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Sementara pada pasal 3 aturan itu menyebutkan terdakwa kasus korupsi dapat dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit  50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.

“Masalahnya tergantung pada jaksa menuntut maksimal para terdakwa korupsi atau tidak. Hakim tentu tidak bisa menvonis di atas tuntutan jaksa. Ini kita sayangkan,” ujar Lalola.

Untuk itu, ICW mendorong peradilan dapat membuktikan dan menuntut para terdakwa kasus korupsi dengan hukuman maksimal, jika mau benar-benar memberantas korupsi.

“Bagi kami vonis ringan menjadi bukti bahwa penegakan hukum terhadap terdakwa korupsi  belum maksimal,” ujarnya.

Baik KPK maupun Kejagung belum memberikan tanggapan atas data yang  dirilis ICW tersebut.  Juru bicara KPK Febri Diansyah yang dihubungi tak menjawab panggilan.

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo  sebelumnya pernah menyebutkan, setiap kasus tidak bisa disamaratakan. Apalagi kasus korupsi, yang merupakan extraordinary crime.

"Kasus-kasus ini tak bisa digeneralisir, ini semuanya kasuistik, jadi setiap perkara kasuistik, tidak mungkin semuanya dituntut 10 tahun," katanya seperti dikutip dari laman detik.com.

Prasetyo menambahkan bahwa jaksa dalam tuntutannya selalu mempertimbangkan hal memberatkan dan meringankan. Karena itu, ia menilai setiap kasus punya masalah yang berbeda.

Dipindahkan

Sementara itu, mantan Ketua DPR Setya Novanto yang divonis 15 tahun penjara karena terlibat kasus korupsi KTP Elektronik, yang sebelumnya ditahan di rumah tahanan KPK, dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin di Bandung, Jawa Barat, Jumat.

Pemindahan itu dilakukan setelah Novanto batal mengajukan banding dan menerima vonis yang dijatuhkan hakim pengadilan Tipikor Jakarta kepadanya pada 24 April lalu.

Saat meninggalkan gedung KPK menuju Lapas Sukamiskin, Setya sempat menemui para wartawan sebelum menaiki mobil tahanan menuju Bandung.

"Saya sekarang mau pamit. Sekali lagi, saya mohon maaf sebesar-besarnya," ujarnya.

“Saya dari kos-kosan, saya akan menuju ke tempat pesantren. Yang di sana saya akan banyak belajar dan berdoa."

"Biarlah saya sendiri yang dizalimi. Dan mudah-mudahan bahwa mereka yang menzalimi dimaafkan," tambahnya.

Sehari sebelumnya, Novanto mengatakan tak mengajukan banding ke pengadilan tinggi, untuk menjernihkan suasana usai berkonsultasi dengan keluarga dan tim pengacaranya.

“Ini untuk menjernihkan suasana sosial yang betul-betul sejak saya jadi tersangka, maka sebaiknya saya akan cooling down dulu," katanya kepada wartawan usai menjadi saksi untuk terdakwa Fredrich Yunadi, yang merupakan bekas pengacaranya, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Pengacara Setya Novatno, Firman Widjaya tak ingin menyebutkan secara spesifik alasan dibalik keenganan kliennya mengajukan banding.

Menurut dia, semua pihak harus menghormati keputusan yang diambil bekas ketua umum Partai Golkar itu.

“Saya kira semua harus menghormati putusan Pak Nov. Kita sudah memberikan masukan-masukan kepada Beliau,  dan Beliau yang berhak memutuskan untuk melakukan itu,” katanya saat dihubungi BeritaBenar.

Firman menyebut kliennya taat pada putusan hakim termasuk akan segera membayar denda Rp500 juta dan uang ganti rugi senilai US$7,3 juta.

“Pak Nov akan kooperatif dan akan menjalankan semua putusan majelis hakim,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.