Banyak Pelanggaran, ICJR Minta Tunda Hukuman Mati
2019.01.16
Jakarta

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung untuk menunda penuntutan dan penjatuhan hukuman mati karena berdasarkan penelitian yang dilakukan lembaga itu ditemukan banyak praktik pelanggaran terhadap hak-hak terpidana mati.
Peneliti ICJR, Muhamad Eka Ari Pramuditya mengatakan di Jakarta, Rabu, 16 Januari 2019, bahwa pihaknya menganalisis 300 putusan mulai Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi hingga kasasi dari 100 kasus hukuman mati di Indonesia, mulai tahun 1997 hingga 2016.
Hasil analisis ICJR menunjukkan bahwa ada banyak pelanggaran hak atas fair trial atau peradilan yang adil dialami para terpidana mati.
Pelanggaran yang ditemukan berupa 11 kasus terindikasi penyiksaan dialami terpidana mati, 16 dugaan pelanggaran pada proses penahanan dan tujuh kasus pelanggaran hak untuk mendapatkan penasihat hukum sebelum persidangan.
“Seharusnya bagi orang yang terancam hukuman mati, standar perlindungan hak-hak itu diterapkan lebih ketat dibanding kasus-kasus pidana lain,” katanya pada peluncuran hasil penelitian ICJR yang berjudul ‘Menyelisik Keadilan yang Rentan: Hukuman Mati dan Penerapan Fair Trial di Indonesia’.
Eka mengatakan, selain temuan itu, banyak juga terpidana mati yang tak mendapatkan hak untuk mengajukan pembelaan.
ICJR mencatat bahwa dari 118 terpidana mati, hanya 15 orang yang mengajukan nota keberatan atau eksepsi.
Selain itu, 11 pengacara yang umumnya ditunjuk negara tidak mengajukan pembelaan atau pledoi dan 52 dari 111 terdakwa tak mengajukan banding.
“Padahal hak untuk mendapatkan keadilan adalah hak dasar yang harus dipenuhi oleh peradilan dalam memeriksa dan memutus perkara apapun,” ujarnya.
Meningkat
Direktur ICJR, Anggara, menambahkan selain ditemukan ada indikasi banyak pelanggaran dalam penerapan hukuman mati, pihaknya juga menyoroti meningkatnya penerapan hukuman mati di Indonesia dalam tiga tahun terakhir, terutama kasus narkoba.
Sejak tahun 1997 hingga 2013, hukuman mati untuk kasus narkotika hanya berkisar empat kasus per tahun.
Namun pada 2014 mulai naik menjadi tujuh kasus, dan meningkat pesat tahun 2015 menjadi 36 kasus.
“Fenomena ini sejalan dengan deklarasi di awal pemerintahan Presiden Jokowi tentang perang terhadap narkotika, pemerintahan Presiden Jokowi tercatat melakukan eksekusi terhadap 18 terpidana mati yang semuanya terjerat kasus narkoba,” ujarnya.
Dalam penelitian ini ICJR juga menemukan beberapa faktor pendorong terjadinya pelanggaran hak-hak fair trial, khususnya dalam kasus hukuman mati.
Hal itu antara lain regulasi yang belum sepenuhnya menjamin hak atas fair trial, dan profesionalitas aparat penegak hukum.
“Karena itu kami merekomendasikan penyelarasan hukum nasional dengan standar HAM internasional, dan meningkatkan kompetensi semua aparat hukum,” ujarnya.
Butuh pengawasan
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Muhammad Choirul Anam yang jadi pemateri dalam seminar itu mengatakan, butuh aturan khusus untuk memastikan prinsip fair trial bekerja dengan baik.
“Penjatuhan hukuman terhadap seseorang terdakwa mesti dipastikan proses penegakan hukumnya memenuhi prinsip fair trial,” ujarnya.
Ia sepakat saat ini penerapan hukuman mati di Indonesia belum memenuhi prinsip-prinsip penerapan pengadilan yang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, apalagi dalam proses penegakan hukum terhadap para pelaku narkotika maupun terorisme.
“Karena itu, kita membutuhkan aturan dan mekanisme khusus untuk memastikan prinsip fair trial itu bekerja dengan baik,” kata Choirul.
Sementara pakar hukum pidana, Andi Hamzah mengatakan penerapan hukuman mati mesti dilakukan secara cermat dan hati-hati oleh hakim saat memutuskan perkara.
Untuk mencegah pelanggaran terhadap prinsip fair trial, dia meminta penerapan hukuman mati dibatasi.
"Pokoknya pidana mati harus dibatasi, kalau perlu ditunda," katanya pada kesempatan yang sama.
Hamzah menilai bahwa penerapan hukuman mati di Indonesia hanya layak diberlakukan pada perkara tindak pidana kejahatan luar biasa.
Sebab, katanya, penerapan hukuman mati yang tidak dibatasi pada kasus kejahatan luar biasa, rentan memicu masalah.
"Karena kalau hakim salah memutuskan, putusannya tidak bisa diperbaiki," ujarnya.
Meski Indonesia masih menerapkan hukuman mati, menurut Hamzah – yang juga salah seorang penggagas revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) itu, hukuman mati tidak lagi akan menjadi pidana pokok, melainkan hanya pidana alternatif.
“Agar tindakan penangkapan dan masa penahanan dapat dikontrol melalui hakim pemeriksa pendahuluan dengan membawa fisik tersangka,” katanya.
Menjadi masukan
Pemerintah berjanji akan menindaklanjuti temuan dan masukan IJCR, terutama dalam upaya penyempurnaan RKUHP yang saat ini masih dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Direktur Informasi HAM pada Kementerian Hukum dan HAM, Salahudin, mengatakan penyusunan RKUHP memerlukan kajian dan penelitian dari semua pihak.
Hasil penelitian IJCR itu, katanya, menjadi masukan berharga bagi pemerintah dalam merumuskan pokok-pokok hukum pidana yang baru, bersama DPR.
“Kami membutuhkan banyak masukan dari masyarakat sipil dan akan kami tindaklanjuti,” ujarnya.
Ia mengatakan penerapan hukuman mati masih memungkinkan diterapkan peradilan Indonesia.
Apalagi hal itu dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai hukuman mati bagi pelaku kejahatan narkotika dan terorisme.
”Pengaturan hukuman mati dalam RKUHP harus cermat karena penolakan terhadap hukuman mati masih terus terjadi,” pungkasnya.