Pengamat: Hukuman Kebiri Bukan Solusi Kejahatan Seksual Terhadap Anak
2021.01.04
Jakarta
Ahli hukum dan kelompok masyarakat sipil menilai hukuman kebiri tidak akan memberikan efek jera dan melanggar aturan internasional tentang penyiksaan, menyusul pengumuman bahwa Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menandatangani peraturan tentang tata cara kastrasi kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Situs Sekretariat Kabinet mengumumkan Senin bahwa Jokowi telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak pada 7 Desember 2020.
Peraturan ini bertujuan “untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak,” menurut Sekretariat Kabinet.
Peraturan ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 yang memungkinkan hukuman kastrasi kimia terhadap pelaku kekerasan pedofilia.
Mudzakir, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta, mengatakan pelaksanaan hukuman kebiri kimia tidak tepat jika diterapkan sebagai pidana tambahan karena tidak akan memberi efek jera kepada pelaku.
“Mestinya saat eksekusi pidana, pelaku dalam kondisi sadar dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu. Tapi kalau dimatikan hasrat seksualnya, bagaimana dia bisa melatih mengendalikan diri,” kata Mudzakir ketika dihubungi BenarNews, Senin.
Tindakan Kebiri Kimia menurut PP 70/2020 adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain yang dilakukan kepada pelaku untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi.
Selain itu, kepada pelaku juga bisa dikenakan hukuman berupa pemasangan alat pendeteksi elektronik agar tidak melarikan diri serta pengumuman identitas selama satu bulan melalui laman resmi kejaksaan, media cetak, media elektronik, dan/atau media sosial.
Mudzakir berpendapat, hukuman cambuk seperti yang diterapkan di Aceh lebih memberikan efek yang menakutkan bagi pelaku kejahatan seksual. “Efek untuk memicu kesadaran untuk mengendalikan hawa nafsu lebih besar lewat hukuman itu.”
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sebaliknya mengatakan PP 70/2020 itu penting untuk memberi perlindungan kepada anak-anak dari setiap tindak kekerasan dan eksploitasi seksual yang dapat menimbulkan trauma berkepanjangan.
“Kekerasan seksual terhadap anak harus mendapatkan penanganan secara luar biasa seperti melalui kebiri kimia,” kata Deputi Perlindungan Anak KemenPPPA, Nahar, dalam keterangan tertulis, Senin (4/1).
“Itu sebabnya kami menyambut gembira ditetapkannya PP Nomor 70 Tahun 2020 yang dapat memberikan efek jera bagi pelaku persetubuhan dan pelaku tindak pencabulan,” lanjutnya.
Dalam aturan itu disebutkan hukuman kebiri beserta rehabilitasi diberikan kepada pelaku kekerasan seksual dewasa terhadap lebih dari satu anak berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan PP Kebiri Kimia belum memuat penjelasan detail perihal aspek apa saja yang harus diterapkan dalam pemberian hukuman sehingga berpotensi menimbulkan masalah dalam implementasinya.
“Misalnya bagaimana mekanisme pengawasan, pelaksanaan dan pendanaan. Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali?” kata Erasmus dalam keterangan tertulis kepada BenarNews.
Di samping aturan yang tidak mendetail, Erasmus mengatakan prioritas sebaiknya diberikan kepada program perlindungan serta pemulihan bagi korban kekerasan seksual. “Sejak awal, ICJR menilai bahwa hukuman kebiri kimia adalah aturan yang bersifat populis,” katanya.
ICJR mencatat, sepanjang periode 2015 hingga 2019, layanan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) meningkat drastis dari 148 menjadi 9.308. Sementara, anggaran untuk lembaga itu terus berkurang, yakni Rp148 miliar pada 2015 menjadi Rp54,5 miliar.
Sementara data LPSK menunjukkan kasus kekerasan seksual terhadap anak pada 2019 dilaporkan sebanyak 350 perkara atau naik 70 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
“Politik anggaran dari pemerintah yang selalu memangkas kebutuhan anggaran dari pemulihan dan perlindungan korban seperti LPSK menunjukkan bahwa perlindungan dan pemulihan korban belum menjadi prioritas negara,” kata Erasmus.
‘Macan ompong’
Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum pidana Universitas Trisakti di Jakarta, mengatakan penerbitan PP di tengah penolakan dari banyak pihak, terutama kalangan dokter, menimbulkan tanda tanya perihal urgensi regulasi ini.
“PP ini secara substansial memang sangat dibutuhkan untuk menanggulangi kekerasan seksual terhadap anak. Namun demikian, momentum penerbitannya yang terkesan tiba-tiba bisa berimplikasi politis dalam pengertian mengangkat popularitas yang menurun,” kata Fickar kepada BenarNews.
Hukuman kebiri kimia ditetapkan melalui pengesahan Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Muhammad Aris, pelaku pemerkosa sembilan orang anak, adalah orang pertama yang menerima vonis tambahan hukuman kebiri kimia dari Pengadilan Negeri Mojokerto, Jawa Timur, pada Agustus 2019. Aris juga divonis pidana pokok 12 tahun penjara dan denda Rp100 juga.
Akan tetapi, hukuman tersebut tidak bisa dijalankan karena belum adanya aturan turunan dan petunjuk teknis mengenai pelaksanaannya.
Selain itu, kalangan dokter yang diwakili Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) juga menolak dijadikan sebagai eksekutor karena bertentangan dengan fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia, Sumpah Dokter, serta Kode Etik Kedokteran Indonesia.
“Dengan penolakan IDI sebagai pihak yang paling kompeten dalam pengebirian, maka sebenarnya peraturan tersebut telah berhenti alias macan ompong. Artinya PP ini lebih beraspek politis saja,” kata Fickar.
Pengurus IDI tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar terkait peraturan pemerintah tersebut.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mendukung adanya hukuman seberat-beratnya bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak, namun bukan melalui hukuman kebiri.
Menurutnya, penerapan hukuman kebiri melanggar aturan internasional tentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat yang diatur dalam Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR).
“Pemenjaraan dalam waktu yang lama disertai program-program penyadaran yang dapat membuat pelaku menjadi sadar akan perbuatannya dan tidak melakukannya lagi setelah menjalani masa pidana adalah salah satu caranya,” kata Usman.