Aktivis Desak Penerapan Hukuman Restoratif Bagi Anak Pelaku Terorisme
2017.02.22
Jakarta
Para aktivis mendesak aparat penegak hukum untuk menerapkan pendekatan hukuman restoratif terhadap anak-anak yang menjadi pelaku aksi terorisme dan terpapar ideologi radikal.
Hal ini sejalan dengan sikap Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang merujuk pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Hukuman restoratif terhadap anak-anak ditujukan untuk memulihkan dan memberikan kesempatan masa depan lebih baik kepada mereka.
“Dalam konvensi perlindungan anak, semua anak pelaku tindakan kriminal pada prinsipnya diasumsikan sebagai korban yang harus direhabilitasi,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono kepada BeritaBenar, Selasa, 21 Februari 2017.
Aturan pemidanaan terhadap anak yang terlibat terorisme masuk ke dalam usulan revisi UU Terorisme yang masih dibahas Dewan Perwakila Rakyat (DPR).
Pasal 16A dalam draf revisi itu menyebutkan, untuk mengadili anak pelaku terorisme, sistem yang digunakan adalah peradilan pidana anak dan hukumannya setengah dari ancaman hukuman dalam UU tersebut.
Andika, yang saat divonis awal 2016 berusia 17 tahun, harus menjalani hukuman lima tahun penjara karena terbukti melanggar pasal 15 UU Terorisme karena terlibat dalam perencanaan serangan terorisme.
Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa yaitu tujuh tahun penjara. Andika disebut pernah menjalin kontak dengan Bahrun Naim, warga Indonesia yang menjadi tokoh Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah dan disebut polisi sebagai dalang serangan bom di Jakarta, 14 Januari 2016.
“Seharusnya dia divonis setengah dari hukuman yang diancamkan kepadanya karena saat itu dia masih tergolong anak-anak,” ujar Supriyadi.
Kasus terorisme lain yang melibatkan pelaku anak ialah serangan gagal di Gereja Katolik Santo Yoseph, Medan, Agustus 2016. Pelakunya IAH, menyerang pastor dengan pisau dan melukainya namun jemaah gereja berhasil membekuknya. IAH telah divonis lima tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, pada 4 Oktober 2016.
“Seharusnya pelaku tidak dihukum penjara, tapi direhabilitasi,” ujar Ahmad Taufan Damanik, aktivis perlindungan anak dan mantan komisioner Indonesia di Komisi ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hak-hak Perempuan dan Anak (ACWC).
Kepada BeritaBenar, Ahmad mengatakan setiap kasus harus dicek secara menyeluruh, apakah anak yang didakwa memang pelaku aktif atau akibat dieksploitasi pihak lain, atau bahkan hanya terpapar pada ideologi radikal.
Kerja sama
Fenomena pelaku terorisme dan menyebarnya paham radikal pada anak-anak akibat terpapar ideologi yang dianut orang tua atau orang dewasa di sekelilingnya membuat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerja sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Nota kesepahaman yang ditandatangani Kepala BNPT Komjen. Pol. Suhardi Alius dan Ketua KPAI Asrorun Ni’am pada 13 Februari lalu bertujuan untuk melindungi anak-anak dari pengaruh terorisme.
“Kita sepakat anak-anak harus dilindungi dan diawasi dari pengaruh terorisme. Faktanya akhir-akhir ini, kasus terorisme yang melibatkan anak-anak meningkat pesat. Karena itu, BNPT dan KPAI bergandengan erat untuk melindungi anak Indonesia dari terorisme,” ujar Suhardi saat penandatangan nota tersebut.
Dalam siaran pers KPAI, Suhardi mengatakan BNPT akan menyediakan data-datanya dan kerja sama bergerak aktif mereduksi anak-anak yang tercemar terorisme agar kembali menjadi anak normal dan mempunyai masa depan yang baik.
Sementara itu, Asrorun mengatakan nota kesepahaman ini perlu mengingat semakin mudahnya anak terpapar paham terorisme, berdasarkan hasil survei yang dilakukan KPAI.
“Contohnya kasus Medan dimana pelakunya berusia 16 tahun tercemar melalui media sosial. Karena itu, KPAI dan BNPT perlu meningkatkan kerjasama untuk mereduksi anak-anak dari pengaruh terorisme, utamanya yang bersumber pada guru dan media digital,” ujarnya.
Supriyadi dan Ahmad setuju dengan penandatanganan nota kesepahaman tersebut, dan menganjurkan BNPT untuk menjalin kerja sama serupa dengan pihak-pihak lain, seperti lembaga-lembaga yang dapat melakukan program untuk mencegah anak-anak terpapar radikalisme dan terorisme.
“Promosikan peringatan dini akan bahaya radikalisasi melalui sekolah-sekolah, karena umumnya mereka menjadi terpengaruh atau terekrut melalui sekolah,” ujar Ahmad.
Supriyadi mengatakan kerja sama seperti ini penting karena belum ada undang-undang yang spesifik mengatur pencegahan dan menangani anak-anak yang terpapar paham radikal.
“Untuk penanganan mereka yang sudah terpapar, sudah ada dengan UU SPPA,” ujarnya.
Akhir Desember lalu, KPAI mengeluarkan laporan akhir tahun yang merekomendasikan penanganan khusus dalam perlindungan anak bagi anak-anak yang terpapar terorisme dan ideologi radikal.
Dalam laporan itu, KPAI menyebutkan pihaknya menangani 219 kasus terkait agama dan budaya, termasuk kasus anak yang terpapar ideologi radikal dan terorisme selama 2016. Angka ini meningkat dari 160 kasus dari tahun 2015.