Hasil Penelitian: Sangat Mungkin Ada Serangan Teroris Lagi di Indonesia
2016.02.04
Indonesia diperkirakan akan mengalami serangan lagi di dalam negeri dari pendukung ISIS sebagai akibat dari persaingan antara para tokoh pimpinan ISIS Indonesia dan perpecahan di dalam unit ISIS di Suriah yang terdiri dari pejuang yang berasal dari Asia Tenggara, demikian laporan sebuah lembaga think-tank yang berbasis di Jakarta .
“Serangan-serangan teroris mungkin terjadi lagi karena pemimpin-pemimpin ISIS bersaing di dalam dan di luar negeri untuk membangun supremasi mereka,” demikian laporan yang dipublikasikan minggu ini oleh Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).
Laporan itu juga memberikan informasi baru mengenai serangan bulan lalu di Jakarta – yang pertama di Indonesia diklaim oleh ISIS- yang dikatakan direncanakan dan dieksekusi oleh kelompok yang berbasis di dalam negeri, dan tidak dikendalikan dari luar negeri, sebagaimana dilaporkan sebelumnya.
“Serangan di Jakarta itu sekarang diketahui diorganisasikan secara lokal – tidak dikendalikan dari Suriah seperti apa yang diperkirakan sebelumnya – namun itu hampir seketika menyebabkan adanya instruksi-instruksi dari pemimpin ISIS yang berbasis di Suriah kepada para pendukungnya untuk melakukan (serangan lagi) dengan lebih baik,” kata Direktur IPAC, Sidney Jones, dalam pernyataannya pada saat publikasi laporan tersebut.
“Para pemimpin kelompok pro ISIS di Indonesia yang jumlahnya kecil saling bersaing untuk membuktikan identitas kekuatan pertempuran mereka,” tambahnya.
Delapan orang termasuk empat tersangka pelaku dalam serangan dengan senjata api dan bom yang menargetkan kedai kopi Starbucks dan wilayah sekitarnya di jantung ibukota itu, tewas pada serangan yang terjadi pada 14 Januari 2016.
Perebutan Kekuasaan
Berjudul "Perpecahan antara pendukung ISIS Indonesia dan Risiko Adanya Serangan Lainnya", laporan setebal 13 halaman itu mengkaji bagaimana tiga pemimpin ISIS dari Indonesia yang berbasis di Suriah saling bersaing untuk memperebutkan kekuasaan dan pengaruh di kalangan pendukung ISIS Indonesia. Mereka adalah Bahrumsyah (juga dikenal sebagai Abu Ibrahim dan Abu Muhammad al-Indonesi), Abu Jandal ( juga dikenal sebagai Salim Mubarok Attamimi) dan Bahrun Naim.
Menurut IPAC, persaingan antara Bahrumsyah dan Abu Jandal telah menyebabkan Abu Jandal melepaskan diri dari Katibah Nusantara, unit ISIS yang dikomando Bahrumsyah yang secara eksklusif terdiri dari pejuang berbahasa Melayu dari Asia Tenggara. Abu Jandal telah membentuk faksi yang disebut Katibah Masyarriq.
Laporan itu juga mengatakan Bahrun Naim telah mencoba untuk tetap netral dalam persaingan antara kedua rekannya dari Indonesia itu, namun ia juga telah "berusaha sendiri untuk mendorong dan mendanai serangan-serangan di Indonesia dan di wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara".
Berlawanan dari apa yang disebutkan oleh polisi Indonesia setelah terjadinya serangan di Jakarta dimana mereka menyebut Bahrun Naim sebagai dalang dari serangan itu, laporan IPAC mengatakan bahwa saat ini belum ada bukti yang mendukung kebenaran teori tersebut.
Laporan itu menyatakan bahwa aksi teror di Jalan Thamrin tersebut dilakukan oleh kelompok lokal, Partisan Khilafah, atau Jamaah Anshar Khilafah (JAK), dengan Aman Abdurrahman, seorang ulama yang saat ini sedang meringkuk di penjara, sebagai pemimpin ideologinya.
Menurut laporan tersebut Aman tidak terlalu cocok dengan Bahrumsyah, pimpinan puncak di Suriah, tapi hubungannya dengan Abu Jandal cukup dekat.
Implikasi regional
Bahrumsyah, Abu Jandal, dan Bahrun Naim “bersaing satu sama lain untuk mendorong jaringan mereka di Indonesia, Malaysia dan Filipina untuk melakukan serangan-serangan melawan musuh-musuh dari khilafah yang mereka proklamirkan sendiri. Dalam beberapa kasus, mereka juga menyediakan dana,” demikian laporan IPAC.
“Pada saat yang sama, sejumlah kelompok di Indonesia bergerak sendiri tanpa dikendalikan dari Suriah, untuk melakukan operasi jihad (amaliyat) sebagai cara untuk mendemonstrasikan komitmen mereka kepada ISIS.
Laporan ini selanjutnya mengatakan bahwa "kompetisi itu akan mengakibatkan meningkatnya plot-plot aksi teroris dimana lembaga-lembaga penegakan hukum setempat akan sulit menghadapinya".
Ketiga pemimpin ISIS dari Indonesia itu mengendalikan tiga sumber yang berbeda untuk merekrut warga Indonesia untuk bergabung dengan ISIS di Timur Tengah, demikian dinyatakan dalam laporan itu.
Tapi tindakan keras yang dilakukan oleh pihak berwenang Turki pada tersangka simpatisan ISIS dan keluarga mereka yang mencoba untuk menyeberang ke Suriah akan menyebabkan simpatisan ISIS ini menjauh dari zona perang dan tetap berada di Indonesia, hal ini juga diprediksi dalam kajian IPAC.
“Fakta bahwa semakin sulit untuk menyeberang ke Suriah dari Turki, ini berarti akan lebih banyak potensi para pejuang untuk melakukan perang di dalam negeri (Indonesia) dibandingkan dengan pada tahun 2014 atau 2015,” demikian laporan IPAC, yang mencatat bahwa lebih dari 215 warga Indonesia telah dideportasi dari Turki hingga Desember 2015.