Keharuan Warnai Hari Terakhir 57 Pegawai KPK yang Diberhentikan
2021.09.30
Jakarta
Sebanyak 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (30/9), mengembalikan kartu identitas menyusul diberhentikannya mereka setelah gagal lolos dalam tes alih status kepegawaian sebagai akibat revisi UU lembaga antirasuah yang disahkan dua tahun lalu.
Novel Baswedan, penyidik senior KPK yang turut diberhentikan setelah kehilangan satu mata akibat serangan cairan asam yang diduga terkait pekerjaannya, hadir dalam acara yang digelar di depan Gedung Merah Putih di Kuningan, Jakarta Selatan.
Tidak ada pernyataan yang dilontarkan Novel kepada jurnalis. Dirinya meninggalkan gedung KPK bersama sang istri setelah seremoni pengembalian kartu serta foto bersama 57 mantan pegawai dan pimpinan lembaga itu.
Keharuan tergambar jelas di wajah Yudi Purnomo, mantan penyidik dan ketua wadah pegawai KPK yang harus meninggalkan karirnya setelah 14 tahun lebih. Matanya merah dan berkaca-kaca.
"Saya belum memutuskan akan ke mana, tapi yakin lah saya akan tetap bekerja bagi negeri ini seperti saat menjadi penyidik KPK," kata Yudi kepada wartawan.
"Langkah saya boleh berhenti saat ini, tapi semangat memberantas korupsi tidak boleh mati."
Mereka berfoto bersama dengan karyawan lain, lalu bertukar lambaian tangan saat mantan pegawai berjalan menuju kantor lama KPK yang berjarak sekitar satu kilometer.
Tidak terlihat Ketua KPK Firli Bahuri dan pimpinan komisi dalam momen perpisahaan 57 orang tersebut.
Dalam keterangan pers di gedung lama KPK, 57 pegawai tersebut mendeklarasikan pendirian Indonesia Memanggil 57 Institute (IM57+ Institute), sebagai wadah persatuan pegawai KPK yang dipecat akibat tidak lolos tes wawasan kebangsaan.
"Sekaligus wadah kolaborasi melanjutkan kerja-kerja pemberantasan korupsi," kata mantan penyidik KPK Praswad Nugraha.
TWK atau tes wawasan kebangsaan digelar secara bertahap sejak awal tahun, untuk mengalihstatuskan pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) seperti yang diamanatkan dalam UU KPK Tahun 2019.
Awal Mei, sebanyak 75 pegawai dari sekitar 1.300 orang yang mengikuti tes tersebut dinyatakan tidak lolos. KPK, bersama kementerian/lembaga terkait, kemudian memberikan pembinaan ulang dan didapatkan 17 di antaranya memenuhi syarat.
Busyro Muqoddas, mantan Ketua KPK periode 2010-2011, pemberhentian pegawai tanpa kejelasan hukum dan moral ini menunjukkan mentalitas institusi pemberantasan korupsi Indonesia ke depannya.
“Saya yakin bahwa rezim KPK tidak akan lama. Sekarang mengalami osteoporosis moral, krisis degradasi moral,” katanya, menambahkan.
Pada Selasa (28/9), Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan Presiden Joko Widodo telah merestui rencananya untuk merekrut pegawai nonaktif KPK sebagai ASN di institusinya. Kendati demikian, Listyo belum mengungkap lebih jauh posisi yang ditawarkan kepada mereka.
Pimpinan KPK Nurul Ghufron menyambut baik tawaran Kapolri itu dan menyerahkan proses lanjutan sepenuhnya kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN).
“Kami berharap kompetensi semua pegawai yang bekerja dalam ranah pemberantasan korupsi di seluruh aparat penegak hukum di Indonesia bisa terus meningkat,” kata Ghufron dalam keterangan tertulisnya.
Tidak signifikan
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Zaenur Rohman, menilai bergabungnya para bekas pegawai KPK ke institusi kepolisian tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap upaya pemberantasan korupsi.
“Di dalam KUHAP diatur bahwa penyidik adalah Polri atau PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Sedangkan di Polri tidak ada PPNS, jadi penyidik ya hanya pegawai Polri. Sehingga, mereka jelas tidak dapat menduduki posisi penyidik dan penyelidik. Jadi tidak ada signifikansinya,” kata Zaenur kepada BenarNews, Kamis.
Zaenur melihat tawaran posisi ini sebagai bentuk jalan tengah yang coba diambil pemerintah agar orang-orang tersebut tidak lagi bekerja di KPK, tetapi di satu sisi, juga tidak kehilangan pekerjaan atas dasar pertanggungjawaban moral.
Pada Agustus, Komnas HAM menyatakan tes wawasan kebangsaan kepada pegawai KPK melanggar hak asasi manusia, di antaranya dari aspek keadilan dan kepastian hukum.
Sebulan sebelumnya, Ombudsman Indonesia juga mengungkapkan adanya maladministrasi dalam proses TWK dan merekomendasikan kepada Pimpinan KPK, Kepala BKN, dan Presiden untuk turut mengangkat 75 pegawai yang diumumkan tidak lolos tes itu menjadi ASN.
Di antara pegawai KPK yang berakhir masa jabatannya, terdapat sedikitnya delapan penyidik senior yang menangani kasus-kasus besar yang melibatkan sejumlah aktor politik negara.
Novel Baswedan misalnya, kasus paling baru yang tengah ditanganinya adalah kasus suap terkait pengurusan izin budidaya lobster dan ekspor benih benur lobster yang menjerat Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pada 2020.
Selain itu, Novel juga terlibat dalam penanganan kasus mega korupsi e-KTP yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun. Kasus yang kembali dilanjutkan pada 2016, setelah lebih dari sepuluh tahun berhenti, menetapkan Mantan Ketua DPR periode 2014-2019, Setya Novanto sebagai terpidana dengan vonis 15 tahun penjara.
April 2017, Novel disiram cairan asam sulfat sepulang salat subuh di masjid dekat rumahnya di Jakarta Utara. Penyerangan ini menyebabkan Novel kehilangan salah satu fungsi penglihatannya dan mengganggu aktivitasnya sebagai penegak hukum.
Dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk kepolisian dan dirilis pada Juli 2019 disebut bahwa penyerangan diduga terkait dengan profesi Novel di KPK yang terlibat dalam penyidikan enam kasus korupsi yang melibatkan pejabat penting.
Dua anggota polisi yang melakukan penyerangan terhadap Novel saat itu dijatuhi hukuman 2 dan 1 ½ tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Juli 2020.
Namun demikian kalangan aktivis hak asasi manusia menyatakan pengadilan kasus Novel Baswedan itu adalah sandiwara. “Kejanggalan terlihat dari proses hukum di kepolisian yang lamban, tertutup, dan terkesan main-main,” kata Amnesty International Indonesia, “ketimbang mendengar suara korban, Novel, yang sudah mengatakan ada indikasi serangan itu didalangi perwira tinggi polisi, mereka sinis pada korban dan menghasilkan mutu laporan di bawah standar pencarian fakta.”