Peringati Hari HAM, komitmen pemerintahan Prabowo untuk hak asasi manusia dipertanyakan
2024.12.09
Jakarta
Penunjukan sejumlah tokoh yang yang dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu dalam kabinet pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memicu kekhawatiran kalangan pegiat hak asasi.
Mereka memperingatkan bahwa langkah ini berpotensi melanggengkan budaya impunitas dan merusak proses penuntasan pelanggaran HAM yang selama ini terbengkalai.
Dalam laporan terbaru Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkapkan adanya kemunduran signifikan dalam perlindungan HAM di Indonesia selama setahun terakhir.
Laporan yang dirilis bertepatan dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional ini menyoroti sejumlah kasus pelanggaran, mulai dari pembunuhan di luar proses hukum, peningkatan serangan terhadap jurnalis, hingga pelanggaran HAM masa lalu yang belum juga ada kejelasan penyelesaiannya.
"KontraS mencatat tidak ada kemajuan yang berarti dalam perlindungan HAM," kata Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS, dalam konferensi pers di Jakarta. "Bahkan, di banyak daerah, kami justru menyaksikan kemunduran."
Salah satu yang menjadi sorotan adalah penunjukan Jenderal (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Menteri Pertahanan, serta mantan Panglima TNI Wiranto yang kini menjabat sebagai Penasihat Khusus Presiden di bidang Politik dan Keamanan.
KontraS menilai Sjafrie, yang pernah menjabat sebagai Pangdam Jakarta, seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas perannya dalam pelanggaran HAM yang terjadi selama kerusuhan 1998 di Jakarta, yang berujung pada jatuhnya Presiden Soeharto.
Demikian pula, Wiranto menghadapi tuduhan berat terkait peristiwa kekejaman di Timor Timur pada 1999.
Sebagai Panglima ABRI saat itu, Wiranto diduga gagal mencegah kekerasan yang dilakukan oleh pasukan TNI dan milisi pro-Jakarta terhadap warga sipil Timor Timur setelah wilayah tersebut memilih merdeka.
Budaya impunitas
Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, menambahkan bahwa Prabowo Subianto, yang mulai menjabat pada Oktober 2024, juga memiliki catatan dugaan pelanggaran HAM selama masa dinas militernya.
“Penunjukan individu-individu dengan rekam jejak yang meragukan hanya akan menumbuhkan budaya impunitas, sekaligus mengirimkan pesan bahwa pelanggaran masa lalu tidak akan dihukum,” ujarnya.
Bivitri lebih lanjut memperingatkan bahwa upaya penyelesaian pelanggaran HAM melalui kompensasi finansial semata, tanpa diikuti dengan pencarian kebenaran dan akuntabilitas, akan semakin memperburuk ketidakpercayaan publik terhadap negara.
Pada 2022, Presiden Joko “Jokow” Widodo membentuk tim untuk menangani pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur non-yudisial, seperti permintaan maaf negara dan pemberian kompensasi kepada korban.
Meskipun inisiatif tersebut dilihat sebagai langkah maju, sejumlah pihak menganggap inisiatif ini mengesampingkan jalur peradilan yang dibutuhkan untuk memastikan akuntabilitas.
“Kebenaran harus lebih dulu didahulukan sebelum kompensasi. Tanpa itu, peluang pelanggaran serupa akan terus terulang,” kata Bivitri.
Hingga berita ini diturunkan, juru bicara kepresidenan Hasan Nasbi dan Menteri Hukum dan HAM Natalius Pigai belum memberikan tanggapan.
Sepanjang 2024, KontraS mendokumentasikan setidaknya 47 pembunuhan di luar proses hukum dan 62 insiden penyiksaan yang menimpa 128 korban.
Laporan ini juga mencatat 29 vonis meninggal, sebagian besar terkait dengan kejahatan narkoba dan pembunuhan, menyoroti ketergantungan pemerintah pada hukuman mati.
Selain itu, kelompok ini mencatat adanya 20 insiden kekerasan terhadap jurnalis, yang melibatkan intimidasi, kriminalisasi, hingga kekerasan fisik.
Laporan ini juga mendata 161 pelanggaran HAM terkait eksploitasi sumber daya alam, termasuk pendudukan lahan dan intimidasi terhadap masyarakat adat.
Proyek-proyek strategis nasional, yang sering kali melibatkan infrastruktur berskala besar, turut dilaporkan menyebabkan 13 pelanggaran, mayoritasnya berdampak pada masyarakat adat.
“Fokus pemerintah pada pembangunan infrastruktur besar seringkali mengorbankan masyarakat yang sudah terpinggirkan,” ungkap Dimas. Ia merujuk pada proyek-proyek yang menyebabkan penggusuran terhadap masyarakat adat dan merusak ekosistem lokal.
Meski pemerintah terus menggembar-gemborkan pencapaian diplomasi HAM, Dimas menilai retorika ini sering kali bertentangan dengan kenyataan di lapangan.
"Retorika pemerintah tidak sejalan dengan kebijakan yang ada," ujar Dimas, mengkritik pelarangan kegiatan keagamaan kelompok minoritas Muslim Ahmadiyah sebagai contoh ketidaksesuaian antara klaim dan kenyataan.
Upaya rehabilitasi nama Soeharto
Amnesty International juga mengkritik upaya legislatif terbaru yang berusaha merehabilitasi reputasi mendiang Presiden Soeharto, yang pemerintahannya selama 32 tahun tercatat penuh dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Para anggota DPR bahkan mengusulkan untuk mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional, sebuah langkah yang dipandang sebagai bentuk pengingkaran terhadap sejarah kelam masa lalu.
“Pelanggaran HAM yang sistematis dan kekerasan di era Soeharto sudah terdokumentasi dengan baik. Ini bukan sekadar penghapusan sejarah, tetapi preseden yang berbahaya bagi akuntabilitas di masa depan,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.
Papua
Di Papua, yang terus bergolak dengan pemberontakan separatis, tercatat 51 insiden kekerasan pada 2024. Amnesty International juga mencatat setidaknya 116 kasus kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian di seluruh Indonesia sepanjang tahun 2024.
“Angka-angka ini jelas menunjukkan rendahnya akuntabilitas dalam penegakan hukum,” kata Usman.
Gufron Mabruri, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), mengakui adanya masalah dalam penegakan hukum, khususnya terkait penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi.
“Kekerasan ini adalah masalah struktural dalam tubuh kepolisian yang harus segera ditangani. Hal ini sering kali terulang, terutama dalam situasi-situasi ketika masyarakat menyampaikan aspirasi mereka,” ujarnya kepada BenarNews.
Dia juga menekankan pentingnya pengawasan berlapis terhadap aparat penegak hukum, baik dari lembaga internal maupun eksternal, seperti media dan organisasi masyarakat sipil, guna memastikan keadilan ditegakkan.