Kelompok HAM: Polri, TNI lakukan 72 pembunuhan di luar hukum setahun terakhir
2022.12.09
Jakarta
Setidaknya 72 orang tewas akibat pembunuhan di luar hukum, atau extrajudicial killing, yang dilakukan Polri dan TNI dalam kurun waktu sekitar satu tahun terakhir, kata kelompok hak asasi manusia KontraS dalam laporan baru yang dirilis Jumat (9/12) dalam rangka menyambut Hari Hak Asasi Manusia.
KontraS atau Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, melaporkan setidaknya 50 dari pembunuhan di luar hukum itu dilakukan kepolisian dalam dalam periode Desember 2021 hingga November 2022.
“Dalam satu tahun terakhir, kami masih mencatat berbagai temuan berkaitan dengan praktik extrajudicial killing,” ujar peneliti KontraS, Rozy Brilian dalam konferensi pers.
Sebanyak 12 pembunuhan di luar hukum yang disebut dilakukan polisi disebabkan oleh penyiksaan, sementara 38 lainnya karena penembakan, dan kebanyakan korbannya adalah tersangka pidana (28 orang), ucap Rozy.
“Pelaku tindak pidana seharusnya mereka berhak untuk menikmati hak due process of law (proses hukum) lewat proses pengadilan yang fair,” ucap Rozy.
Rozy menambahkan salah satu korban adalah warga dan anggota Aliansi Rakyat Tani bernama Erfaldi, 21, yang menolak kehadiran pertambangan PT Trio Kencana di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah pada Februari tahun ini.
Selain itu, korban lainnya adalah laki-laki yang ditembak ketika hendak melarikan diri setelah melakukan pencurian sepeda motor di Tangerang pada Januari.
Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menolak berkomentar dengan alasan dia belum membaca laporan itu.
“Coba saya baca dulu dan saya teruskan ke Propam (divisi Profesi dan Pengamanan) dan Inspektorat Pengawasan Umum Polri dulu,” ujar Dedy kepada BenarNews.
Selain itu KontraS mengatakan anggota TNI juga melakukan pembunuhan di luar hukum yang menewaskan 22 orang pada periode November 2021 hingga Desember 2022.
Salah satu peristiwa tersebut, kata Rozy, antara lain mutilasi terhadap empat warga sipil di Mimika, Papua yang diduga melibatkan 10 orang, termasuk enam anggota TNI Angkatan Darat.
BenarNews telah menghubungi Kapuspen TNI Laksma Kisdiyanto untuk mengajukan pertanyaan, namun tidak memperoleh jawaban.
HAM semakin mundur
Sementara itu, Amnesty International Indonesia menyoroti situasi hak asasi manusia (HAM) yang menurut organisasi ini semakin mundur di Indonesia dengan mandeknya penyelesaian hukum.
Kebebasan sipil menyusut, budaya kekerasan dan impunitas semakin mencoreng catatan hak asasi Indonesia, demikian laporan yang dikeluarkan oleh Amnesty pada Jumat.
Menurut Amnesty, 36 orang tewas karena pembunuhan di luar hukum di Papua dan Papua Barat sepanjang tahun 2022, yang diduga dilakukan anggota Polri, TNI dan kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Jumlah korban tahun ini meningkat dari angka di tahun sebelumnya yaitu 28, kata Amnesty.
“Dari kasus-kasus yang diduga dilakukan oleh aparat tersebut, belum ada satupun yang telah diproses hukum di pengadilan umum,” kata Fauziyah Mayangsari, peneliti Amnesty.
Di luar Papua, ada ada 31 korban pembunuhan di luar hukum, 27 diantaranya melibatkan kepolisian, dan baru empat kasus diantaranya yang diproses hukum, kata Amnesty.
Amnesty juga mencatat sepanjang tahun ini setidaknya terdapat 37 kasus pidana terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan total 46 korban, 11 di antaranya merupakan hasil patroli polisi virtual.
Sementara tahun 2021, terdapat 83 kasus dengan 88 korban.
Fauziyah mengatakan dalam demo menolak otonomi khusus, Amnesty berhasil memverifikasi 58 demonstran yang menjadi korban penangkapan dan tindakan sewenang-wenang dari aparat di tiga kota yaitu Jayapura, Yahukimo di Papua dan Makassar di Sulawesi Selatan.
“Dua demonstran meninggal akibat ditembak aparat keamanan, selain itu ada sembilan orang Papua ditahan dan dijerat pasal makar. Bulan lalu 15 mahasiswa di Jayapura ditahan dan dijerat pasal makar,” ujar Fauziyah.
Laporan Amnesty juga menyoroti penggunaan kekuatan secara berlebihan dan budaya kekerasan oleh apparat, termasuk dalam peristiwa di Stadion Kanjuruhan di Malang usai pertandingan sepakbola antar klub Arema FC dan Persebaya pada 1 Oktober.
Reaksi berlebihan dari aparat dengan menembakkan gas air mata, hal yang seharusnya dilarang digunakan dalam stadion, membuat setidaknya 135 penonton meninggal dunia, sementara lebih dari 570 orang terluka.
Korban kasus penyiksaan oleh aparat di Indonesia pada 2022 mencapai 21 orang, atau naik dibandingkan dengan tahun 2021 yang berjumlah 15 orang.
“Aparat penegak hukum harus mengakhiri kekerasan dan budaya impunitas. Kekerasan ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang dan diperparah dengan rendahnya tingkat akuntabilitas,” kata Direktur Amnesty Indonesia, Usman Hamid.
Pemerintahan otoriter
Pakar Hukum dan HAM, Marzuki Darusman menilai tren kecenderungan menurunnya demokrasi belum akan berubah dalam waktu dekat mengingat masih ada tersisa otoriterisme dalam demokrasi di Indonesia.
“Selama 10 tahun terakhir, kondisi masa lalu masih tersisa dan ada di tengah kita seperti penggunaan kekerasan yang berlebihan, naluri pengaduan mengenai ujaran kebencian terhadap politik dan keagamaan,” ujarnya.
Tokoh rohaniawan dari Papua Barat Bernadus Baru mengatakan hak politik warga Papua seringkali tidak diakomodir oleh pemerintah sehingga proses perlawanan semakin tinggi di Papua.
Selain itu, katanya, pemerintah lebih banyak menggunakan pendekatan keamanan dibandingkan dengan pendekatan sipil sehingga mudah menimbulkan konflik.
“Orang Papua dalam genggaman Jakarta melalui aparat, cara berpikir militeristik bukan sipil. Orang Papua dipaksa untuk mengikuti kebijakan yang double kepentingan. Banyak yang jadi pejabat juga hanya untuk mendiamkan agar kepentingan investasi lancar,” katanya