Habibie: Sasaran Reformasi Masih Jauh
2018.05.21
Jakarta
Jimly Asshiddiqie masih ingat betul malam menjelang 21 Mei 1998. Ia yang menjabat Asisten Wakil Presiden Baharuddin Jusuf (BJ) Habibie tengah menemani orang kedua negeri itu, saat situasi politik bergolak, ditandai mundur sejumlah menteri kabinet Presiden Soeharto.
"Malamnya saya mendampingi Pak Habibie menerima para menteri yang mengundurkan diri yang dipimpin Menko Pak Ginandjar Kartasasmita," jelasnya saat membuka Sarasehan Nasional Keluarga Bangsa "Refleksi 20 Tahun Reformasi" yang digelar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Jakarta, Senin, 21 Mei 2018.
Melihat situasi memanas, Habibie saat itu menelepon ajudan presiden untuk bertemu dan berdiskusi dengan pemimpin yang telah berkuasa 32 tahun. Permintaan Habibie itu ditolak Soeharto.
Ajudan Presiden Soeharto lantas memberitahu Habibie, “Bapak bilang tidak perlu bertemu karena besok Bapak akan mengumumkan pengunduran diri.”
“Kami semua di ruangan itu terkejut. Saya memimpin doa saat itu, agar reformasi berjalan lancar. Alhamdulillah, semua doa itu sudah terkabul. Sekarang kita bisa memperingati 20 tahun reformasi,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Dia berharap generasi baru kepemimpinan bekerja sama agar prediksi banyak pihak bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa keempat terbesar di dunia tahun 2025 tercapai.
Reformasi di mata para presiden
Habibie yang diangkat jadi presiden ketiga setelah Soeharto mundur, mengatakan jalannya reformasi di Indonesia sudah sesuai rencana yang diperjuangkan gerakan mahasiswa.
“Tapi sasaran (reformasi) masih jauh,” ujarnya dalam testimoni pada sarasehan tersebut.
Secara spesifik, dia menyoroti tentang peradaban Indonesia, dimana bangsa yang baik harus ditunjang sumber daya manusianya.
“Harus benar-benar bisa diandalkan, memiliki kualitas kerja yang tinggi, berperilaku sesuai dengan budaya, bisa mengembangkan diri secara mandiri,” ujar Habibie.
Sedangkan presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lewat akun Twitter resminya menyatakan semangat dan agenda reformasi 1998 adalah koreksi besar dan mendasar atas kehidupan bangsa yang kurang adil dan berimbang bagi rakyat.
“Generasi sekarang dan mendatang wajib jalankan dan wujudkan amanah reformasi. Kalau tidak, bisa ada reformasi lagi di masa depan,” katanya.
Ia menambahkan kekuasaan tak boleh terlalu absolut agar kebebasan rakyat dan demokrasi hidup, hukum tegak dan tak tebang pilih, ekonomi adil dan menyejahterakan seluruh rakyat, dan dalam politik praktis – TNI, Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) – harus netral dan tak berpihak.
Sementara, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengimbau bangsa Indonesia bisa memaknai 20 tahun reformasi yang jatuh dekat dengan Hari Kebangkitan Nasional dengan kesadaran sebagai bangsa besar.
“Mari kita maknai Hari Kebangkitan Nasional dengan kesadaran kita bangsa yang besar, bangsa pemenang, yang bisa makmur dan sejajar dengan bangsa-bangsa besar lainnya,” cuit Jokowi, pada Minggu, 20 Mei 2018.
“Kuncinya adalah persatuan dalam keragaman yang ada dan bekerja keras. Selamat Hari Kebangkitan Nasional 2018 dan 20 Tahun Reformasi.”
Kesaksian Puan
Dalam kesempatan itu, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani mengisahkan saat mendampingi sang ibu sekaligus Presiden Kelima, Megawati Soekarnoputri, sepanjang reformasi.
Dia yang masih duduk di bangku kuliah saat itu menyaksikan kejadian politik yang menerpa keluarganya, salah satunya peristiwa 27 Juli 1996 – penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang dikuasai pendukung Megawati.
“Saya harus menjadi orang yang mengurusi dapur umum, karena banyak orang setiap hari datang ke rumah ibu saya. Saya panggil ibu-ibu sekitar rumah untuk membantu masak untuk mereka yang terlibat dalam reformasi. Sampai kami punya istilah menu reformasi; nasi, satu ikan, dan sop yang kuahnya berlimpah,” ujar Puan.
Bahkan gejolak juga mengacaukan rencana pernikahannya, satu bulan sebelum reformasi.
“Pihak gedung menanyakan apakah Ibu Mega akan ke sini dan berapa orang yang datang. Semua memutuskan untuk membatalkan. Saya menangis. Mau nikah kok, tidak ada urusan dengan politik,” jelasnya.
“Akhirnya saya nikah di rumah. Tapi nuansanya justru sangat kebersamaan.”
Puan menilai banyak yang sudah terpenuhi dalam 20 tahun sejak reformasi. Namun banyak tantangan yang juga berdatangan.
“Potensi disintegrasi bangsa, korupsi dan disorientasi globalisasi. Namun saya yakin bangsa ini besar jika bekerja sama. Saya punya keyakinan kita bisa menjaga amanat reformasi,” katanya.
“Hari ini kita berkumpul bukan untuk saling menyalahkan, namun untuk mengatakan kita bangsa Indonesia. Ketika Pak Habibie mengatakan kualitas SDA adalah tantangan kita, itu benar.”
Masih jauh
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebutkan ada tiga agenda reformasi yang belum terlaksana.
"Masih adanya praktik korupsi di lingkungan birokrasi dan pemerintahan, masih dirasakannya kesenjangan, dan rendahnya indeks pembangunan manusia di sejumlah wilayah di Indonesia," kata mantan Panglima TNI itu seperti dikutip dari Tempo.co.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego, mengatakan banyak perbedaan antara Orde Baru (Orba) dan era reformasi, mulai dari sistem kepartaian dan politik, partisipasi masyarakat, hingga kebebasan sipil.
“Itu diperoleh setelah Orba tumbang. Itu artinya bahwa Indonesia sudah menganut sistem yang berlaku di negara-negara liberal. Secara fisik, perubahan itu tak bisa dibantah,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Namun secara kualitas, lanjut Indria, masih jauh misalnya soal keamanan berbeda dengan zaman Orba.
“Seolah-olah dengan rezim baru sekarang, orang bisa berbuat apa saja dan demokrasi identik dengan kebebasan. Zaman dahulu, baru bergerak sedikit saja sudah ketahuan. Sekarang susah. Kalau ketahuan pun mau apa? Polisi tidak berhak menangkap juga,” ujar Indria.
Menurutnya, pemerintah harus membuat rumusan peraturan yang dapat
memperhatikan hak asasi manusia yang sesuai konstitusi dan bisa memberi rasa aman pada masyarakat dan negara.
“Sehingga tidak muncul teror di sembarang tempat,” ujar Indria.