Greenpeace dan Rumitnya Strategi Advokasi Lingkungan
2015.11.03
Jakarta
Pembaca acara menawarkan untuk terakhir kalinya, apakah ada wartawan yang masih ingin bertanya dalam konferensi pers Greenpeace, Kamis, 29 Oktober, di Jakarta.
Ruangan menjadi hening ketika pertanyaan itu - rumor tentang kerjasama Greenpeace dengan beberapa perusahaan sawit dan bubur kertas - diajukan.
Beberapa juru kampanye yang jadi pembicara tersenyum kecut.
"Prinsip dasar akuntabilitas kami sejak berdiri lebih dari 40 tahun lalu adalah Greenpeace tidak pernah menerima uang dari korporasi atau pemerintah," jelas Teguh Surya, juru kampanye politik Greenpeace.
Kurang dari 24 jam sebelumnya, beredar posting di ranah sosial media bersumber dari Emmy Hafild, pegiat lingkungan senior, yang mengkritik strategi constructive engagement Greenpeace Indonesia.
"Kami sendiri tak paham dengan apa yang disebut dengan 'constructive engagement' sebagaimana beredar dalam posting viral di internet," Surya mengaku.
Emmy, mantan Ketua Walhi, mengumumkan keputusannya berhenti menjadi pendukung Greenpeace di akun Facebook miliknya.
Dia memandang Greenpeace Indonesia bergaul terlalu dekat, bahkan bekerja sama dengan sejumlah raksasa kertas dan sawit, dua industri yang dituding sebagai penyebab krisis asap parah di Indonesia dua bulan terakhir.
"...Komunikasi saya dengan SMT (senior management team) tidak menunjukkan sensitivitas Greenpeace terhadap rakyat Indonesia. Fakta juga menunjukkan bahwa posisi Greenpeace ini dipakai oleh oleh perusahaan-perusahaan tersebut untuk 'greenwashing image' mereka...,” tuding Emmy dalam posting bertanggal 28 Oktober lalu.
"…'Strategi constructive engagement' yang diterapkan Greenpeace sejak tahun 2013 terbukti telah gagal total," kata Emmy menambahkan.
Emmy juga mengundurkan diri sebagai Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara.
“Strategi lunak”
Tak jelas apa sebenarnya yang dimaksud Emmy dengan constructive engagement (keterlibatan konstruktif). Dihubungi dan sempat membuat janji untuk bicara beberapa kali, Emmy tak berhasil diajak bicara.
Para pengurus Greenpeace menduga kritik muncul karena bekerjasama dengan raksasa sawit dan pulp seperti Sinar Mas, Asia Pulp and Paper (APP), APRIL dan Wilmar.
Pendeknya, diduga Emmy tak berkenan dengan strategi Greenpeace yang “lunak” terhadap perusahaan yang dianggap sebagai biang keladi kerusakan hutan dan penyebab kabut asap itu.
"Yang jadi visi kami adalah nol deforestasi dan pelestarian ekologi gambut. Kampanye kami bergerak dalam koridor itu," kata juru kampanye Greenpeace, Hikmat Suryatanuwijaya.
Namun Greenpeace melakukannya setelah perusahaan bersangkutan menandatangani deklarasi non-deforestasi hutan dan gambut.
"Kami mengkritik keras APP selama empat tahun dan akibatnya mereka banyak kehilangan customer internasional, 60 customer dalam setahun," klaim Hikmat kepada BeritaBenar.
Perusahaan bubur kertas dengan konsesi hutan terbesar di Sumatera itu akhirnya menandatangani strategi kelestarian hutan dengan janji tak membakar hutan dan gambut untuk operasinya.
"Nah kalau ada perusahaan yang mau baik, sejalan dengan komitmen kami, kami bantu. Kami beri masukan perbaikan, kawal dengan monitoring. Bagus kan ini, semacam konsultan tapi gratis,” tukasnya.
"Semua dari kocek Greenpeace sendiri, tidak satu sen pun dari perusahaan," tambah Kiki Taufik, juru kampanye hutan Greenpeace.
Taruhan nyawa
Tidak semua organisasi lingkungan punya sikap serupa. Walhi memilih sikap keras berseberangan dengan pemerintah dan korporasi jika dianggap merugikan hak rakyat.
"Karena tuntutan statuta dasar kami begitu. Visi kami adalah memaksa negara memberikan hak pada rakyat dan mendorong rakyat agar berdaya memperjuangkan hak ini," kata Yaya Nurhidayati, juru kampanye Walhi.
Dengan konstruksi demikian, menurut Yaya, hampir tak dimungkinkan bagi Walhi untuk menggandeng perusahaan dalam kerjasama memperjuangkan visi Walhi.
"Konstituen kami biasanya kelompok marjinal, rakyat yang dirugikan oleh pemerintah atau korporasi. Jadi perjuangan kami termasuk berhadapan dengan korporasi dan kepentingannya," tambahnya.
Pekan lalu Walhi rencana menggugat 20 perusahaan besar yang dianggap sebagai sumber asap di Jambi.
Dengan posisi demikian frontal, seperti diakui Walhi, kampanye mereka tidak jarang diwarnai intimidasi dan kekerasan, bahkan pembunuhan, yang sering terjadi di daerah.
"Ancaman itu biasa. Almarhum Salim Kancil dibunuh ketika melawan tambang pasir ilegal di Lumajang Jawa Timur. Pak Tosan disiksa hingga nyaris tewas. Ini termasuk pegiat lokal yang didampingi Walhi," Yaya memberi contoh dua orang yang menjadi korban baru-baru ini dalam memperjuangkan lingkungan.
Jakarta pun tak kurang bahayanya bagi pegiat lingkungan.
Aktivis Jopi Peranginangin ditusuk orang tak dikenal hingga tewas tiga bulan lalu, saat sedang menyelesaikan peta data lahan konsesi sawit di Indonesia.
Pelaku penusukan belakangan diidentifikasi sebagai seorang marinir yang tengah mabuk. Polisi menyatakan kasus ini sekedar keributan biasa.
Rekan-rekan Jopi di lembaga advokasi sawit berkelanjutan, Sawit Watch, tak percaya.
"Kami menduga ada kaitan kematian almarhum dengan kegiatannya selaku aktivis sawit. Dugaannya data yang dikompilasi almarhum cukup sensitif," kata Direktur Eksekutif Sawit Watch, Jeffry Saragih.
Tawaran uang
Meski tak menggunakan strategi keterkaitan konstruktif, Saragih mengaku bisa mengerti mengapa ada organisasi advokasi yang menerapkannya.
"Karena kalau (korporasi) dilawan terus (misi advokasi) juga belum tentu (kasus) bisa maju," urainya.
Pada saat yang sama, menurutnya, mempercayai komitmen perusahaan sulit dilakukan kerena lembaga advokasi berusaha menyelamatkan lingkungan dan membela hak masyarakat marjinal sementara korporasi melulu mencari untung.
"Lagipula tugas kita bukan jadi konsultan mereka. Kita ini menuntut hak pekerja, petani, dan lingkungan yang berkelanjutan untuk industri sawit," tambahnya.
Saragih mengaku berkali-kali menyaksikan dan mengalami intimidasi sejak Sawit Watch menerapkan strategi ini. Mulai dari kunjungan intel misterius tengah malam ke rumahnya hingga menyaksikan kawan yang dipukuli babak-belur.
Sikap kritis Sawit Watch berisiko menyebabkan korporasi kehilangan pasar bernilai jutaan dollar. Namun lebih sering, perusahaan memilih bujukan daripada pukulan.
Sawith Watch yang berpusat di Bogor sempat diundang datang ke Singapura.
"Katanya sih ada yayasan yang mau kasih bantuan dana operasional. Katanya untuk meneruskan kerja Sawit Watch yang sudah bagus selama ini. Jumlahnya menggoda,” kata Saragih. Namun dia mengatakan, tawaran itu ditolak.
Mengembalikan kepercayaan
Sumber kebakaran terbesar adalah lahan konsesi milik APP anak perusahaan Sinar Mas.
APP sudah menandatangani deklarasi hutan lestari dan monitoringnya dibantu Greenpeace.
Apakah Greenpeace akan memutus hubungan kerjasama dengan APP?
"Kami sedang mengkaji (hal ini). Bagi kami meski ada hubungan kerjasama, tak ada halangan bersikap kritis," tegas Yuyun Indradi dari Greenpeace.
Sementara itu, posting tentang penarikan dukungan Emmy Hafild nampaknya lebih mengkhawatirkan, mengingat organisasi itu mengandalkan donasi 30 ribu pendukung di Indonesia.
"Setelah kejadian ini kami khawatir akan berpengaruh pada basis dukungan kami sehingga justru mempengaruhi kemampuan Greenpeace untuk mendanai kegiatannya dengan independen," kata Hikmat, dari Divisi Komunikasi Greenpeace.
Persepsi tentang Greenpeace mungkin memburuk pasca posting viral Emmy Hafild.
"Kalau kita baca ratusan komentar di bawah posting itu, umumnya (orang) menduga kami terima uang. Ini tidak benar," tutupnya sambil menggelengkan kepala.