Pemerintah Berikan Izin Lokasi Gereja Baru, Jemaat GKI Yasmin Tolak Pindah
2021.08.11
Jakarta

Sebagian jemaat sebuah gereja Protestan di Bogor tetap bersikeras menolak relokasi bangunan oleh pemerintah kota Bogor menyusul diserahkannya sebidang tanah serta izin mendirikan bangunan (IMB) di lokasi yang tak jauh dari lokasi awal yang ditentang warga.
Gereja GKI Yasmin disegel oleh pemerintah kota Bogor tahun 2008 karena penolakan penduduk sekitar akan kehadiran bangunan yang berlokasi di perumahan Taman Yasmin dengan luas 1.400 meter persegi walaupun gereja tersebut telah mengantongi IMB.
Sementara lokasi tanah yang dihibahkan pemerintah melalui Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto dengan luas 1.668 meter persegi untuk membangun gereja baru terletak sekitar 1 km dari lokasi sebelumnya.
“Kami tidak akan terima walau diberikan berapapun lahan tanah, karena kalau kami terima maka ini akan jadi preseden buruk, kalau ada kasus serupa maka kasus Yasmin akan dijadikan contoh penyelesaian,” kata Juru Bicara GKI Yasmin Bona Sigalingging kepada BenarNews.
Bona mempertanyakan penerbitan IMB di lokasi lainnya karena pembekuan izin di lokasi lama oleh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tahun 2008 dan rekomendasi Ombudsman pada Juli 2011.
“Seharusnya Bima Arya mematuhi putusan MA (Mahkamah Agung) untuk membuka segel gereja kami, bukan untuk memberikan lahan baru lagi untuk dibangun gereja,” kata dia.
Meskipun ada kesepakatan antara Bima Arya dengan pengurus gereja GKI Pengadilan Bogor, Bona berpendapat hal tersebut tak menyelesaikan masalah.
“Seperti yang jatuh naik sepeda si A tapi yang diajak bicara yang C yang diobati yang C, tidak sama sekali menyentuh isu utamanya,” ujarnya.
Bima Arya mengatakan IMB dikeluarkan berdasarkan permintaan pihak GKI.
“Jadi saya kira ini sudah tuntas semuanya. Secara resmi pihak GKI menerima hibah dan mengajukan IMB dan kami melakukan proses penelitian untuk persyaratan-persyaratan,” ujarnya kepada BenarNews.
Mengenai keinginan sebagian jemaat untuk kembali ke gereja di kompleks Yasmin, Bima Arya mengatakan pihak GKI tidak lagi menuntut itu.
“Bab itu sudah selesai ketika pihak GKI tidak melanjutkan lagi proses itu dan kemudian bernegosiasi Pemerintah Kota,” ujarnya.
“Ketidakpuasan wajar. Saya kira di mana pun ada saja yang melihat berbeda, tapi ini sudah di putuskan secara resmi berdasarkan kesepakatan antara pemerintah kota dan GKI,” tambahnya.
Penatua Krisdianto, Ketua Umum Majelis Jemaat GKI Pengadilan Bogor yang membawahi Gereja Yasmin, mengatakan penyelesaian sengketa menunjukkan tanda-tanda positif ke arah yang lebih baik.
“Kesepakatan itu dilakukan secara sadar, tanpa ada tekanan apapun, dari siapapun serta dilakukan demi kepentingan yang lebih luas lagi yaitu perdamaian dan keadilan antar umat beragama terutama di Bogor,” ujar Krisdianto dalam pernyataanya.
Ia mengakui kesepakatan ini merupakan jalan tengah yang paling realistis pada saat ini karena telah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak terutama masyarakat di sekitar Taman Yasmin.
“Kepentingan semua pihak dapat diakomodasi bersamaan dengan penghormatan terhadap hak beragama dan beribagah warga.”
Namun, salah satu anggota jemaat GKI Yasmin, Renata Anggraini, menolak untuk pindah ke lokasi baru.
“Kami tidak terima. Lahan baru yang diberikan oleh Bima Arya itu artinya relokasi, dan itu tidak pernah menjadi pilihan dalam perjuangan kami selama ini,” ujarnya kepada BenarNews.
Renata mengatakan sejak Gereja Yasmin ditutup, dia beribadah di rumah dan sejumlah lokasi lainnya seperti di depan istana negara sebagai bentuk protes, namun sejak pandemi ibadahnya dilakukan daring.
Bona mengatakan, dulu, jemaat GKI Yasmin berjumlah lebih dari 500 orang, namun setelah disegel jumlahnya menyusut karena banyak yang sudah tua, meninggal dan berpindah gereja.
“Dulu itu katanya ada penolakan dari masyarakat, namun selama saya tinggal di kompleks Yasmin tidak pernah ada masalah. Penolakan itu hanya datang dari kelompok intoleran,” ujar dia.
Kronologi
Pembangunan GKI Yasmin yang dimulai tahun 2007 mendapat penolakan dari warga setempat yang mengaku tidak pernah memberi tanda tangan persetujuan.
Pada 2008, Pemerintah Kota Bogor membekukan IMB gereja atas desakan warga. Pihak gereja kemudian menggugat keputusan itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung dan dikabulkan.
Pemkot Bogor kemudian banding, namun kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) dengan alasan teknis.
Setelah pembangunan gereja berlanjut pada 2009, masyarakat setempat melakukan aksi dengan menutup akses ke area gereja.
Kasus ini membuat kota Bogor menjadi salah satu kota yang paling intoleran di Indonesia berdasarkan studi Setara Institute pada tahun 2015, di mana Pemkot mengikuti tekanan mayoritas untuk mendiskriminasi kelompok minoritas.
Setara Institute, lembaga yang memonitor kasus-kasus intoleransi tersebut melaporkan 180 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama tercatat sepanjang tahun 2020, menurun tipis jika dibandingkan tahun sebelumnya di mana sebanyak 200 pelanggaran terjadi.
Setidaknya 422 tindak kekerasan terjadi di 29 provinsi di Indonesia, lebih dari separuhnya dilakukan oleh pejabat negara terkait diskriminasi dan intoleransi beragama, dibanding 327 kasus tahun sebelumnya, menurut Setara. Pelanggaran terbanyak terjadi provinsi Jawa Barat disusul Jawa Timur, Aceh dan Jakarta.
‘Melindungi minoritas’
Dalam wawancara dengan BenarNews beberapa waktu lalu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menegaskan semua warga negara berkedudukan sama di hadapan hukum, apapun agama atau kepercayaannya.
“Posisi saya tegas bahwa perbedaan keyakinan tidak boleh menjadi alasan kelompok yang paling besar mempersekusi dan menghakimi sendiri kelompok yang lain. Ini sikap dasar pertama yang akan pemerintah pegang,” tegasnya.
Namun, ujar dia, itu semua belum cukup hanya dalam batas pemikiran, pandangan dan sikap. Jauh lebih penting lagi dikuatkan dalam regulasi yang mengikat.
Peraturan Bersama Menteri
Pengikut agama minoritas mengatakan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) tahun 2006 tentang pembangunan rumah ibadah kerapkali dijadikan alasan untuk melakukan diskriminasi dan intoleransi.
Menurut aturan itu, pembangunan rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus, termasuk nama dan KTP pengguna paling sedikit 90 orang, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang dan rekomendasi tertulis dari kantor Forum Kerukunan Umat Beragama kabupaten.
Yaqut mengakui PBM ini memang sudah cukup lama, sehingga wajar jika ada masukan untuk melakukan kajian ulang terhadap regulasi ini.
“Meski demikian, saya melihat bahwa aturan tentang pendirian rumah ibadah tetap diperlukan. Jika PBM ini akan direvisi, maka itu dalam kerangka penyempurnaan, bukan peniadaan,” ujar Yaqut.
Menurut juru bicara GKI Yasmin, Bona, minoritas kerapkali harus mengalah karena posisinya lemah.
“Itu sebabnya negaralah yang harus menyeimbangkan itu dengan cara melindungi yang dianggap minoritas dari desakan yang menganggap diri mayoritas yang hendak memaksakan kehendaknya.
“Semoga Pak Menteri berani terus begitu, berani terus memastikan tegaknya kebebasan beragama seperti diatur UUD 45, dan bukan sekedar kerukunan beragama,” katanya.