GKI Yasmin: Gereja baru diresmikan setelah penantian 15 tahun
2023.04.18
Bogor, Jawa Barat.

Penantian panjang untuk mendapatkan tempat beribadah usai bagi sebagian besar jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor.
Pada hari Minggu Paskah, 9 April lalu, mereka meresmikan gedung gereja baru di lokasi dekat dengan bangunan sebelumnya yang menghadapi penolakan warga dan pemerintah kota sejak mulai dibangun 15 tahun lalu, meskipun Mahkamah Agung pada 2010 telah memenangkan para jemaat untuk bisa beribadah di lokasi awal.
Peresmian gereja berwarna putih berlantai marmer dengan topangan beton tersebut dihadiri oleh dua menteri kabinet Presiden Joko “Jokowi” Widodo yaitu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mohammad Mahfud MD. Keduanya memuji bangunan megah itu sebagai lambang toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia.
Namun di balik peresmian gereja tersebut, tersimpan kisah panjang perjuangan dan perlawanan jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin yang harus menghadapi berbagai hambatan dari pemerintah daerah dan warga Muslim sekitar yang menolak keberadaan tempat ibadah itu di kawasan mereka.
Arif Zuwana, juru bicara jemaat GKI Yasmin, mengatakan bahwa kebanyakan jemaat sangat bersyukur atas dibukanya gereja, meski ada juga yang menolaknya.
“Sebagian besar (jemaat) melihat ini merupakan anugerah Tuhan yang luar biasa pada kami. Walaupun tidak memungkiri ada beberapa jemaat yang memiliki keinginan (untuk membangun gereja) di lahan lama,” kata Arif kepada BenarNews.
Gedung gereja baru tersebut berdiri di atas tanah hibah dari pemerintah kota Bogor seluas 1.668 meter persegi di Desa Cilendek Barat, Kecamatan Bogor Barat. Gedung tersebut berjarak sekitar 1,6 km dari bangunan semula di Taman Yasmin yang menjadi sumber sengketa antara jemaat dengan pemerintah kota Bogor dan warga Muslim setempat.
Arif mengatakan bahwa biaya pembangunan gereja tersebut berasal dari sumbangan jemaat dan donatur lainnya.
“Kalau nilainya secara pasti saya tidak tahu. Itu ranahnya Majelis Jemaat,” kata Arif, yang juga ketua Tim 7, kelompok yang beranggotakan aparat Pemerintah Kota Bogor dan jemaat gereja yang bertugas menganalisis aspek hukum dan kelayakan proses berdirinya GKI Yasmin, kepada BenarNews.
Lima belas tahun konflik
Konflik GKI Yasmin bermula pada tahun 2008, ketika pemerintah kota Bogor mencabut izin mendirikan bangunan (IMB) yang telah diberikan kepada jemaat GKI Yasmin dua tahun sebelumnya. Alasannya, ada 30 warga Curug Mekar yang mengaku tanda tangan mereka dipalsukan oleh jemaat GKI Yasmin untuk memenuhi syarat memiliki setidaknya 60 tanda tangan warga sekitar untuk pembangunan tempat ibadah.
Jemaat GKI Yasmin membantah tuduhan tersebut dan menggugat pencabutan IMB ke pengadilan. Mereka memenangkan gugatan, termasuk putusan akhir Mahkamah Agung pada tahun 2010 yang memerintahkan pemerintah kota Bogor untuk mengeluarkan IMB baru dan mengizinkan jemaat GKI Yasmin beribadah di gedung gereja mereka.
Namun pemerintah kota Bogor tidak mengindahkan putusan Mahkamah Agung dengan alasan "pertimbangan sosial dan politik". Mereka juga menyegel gedung gereja GKI Yasmin yang masih dalam tahap pembangunan.
Akibatnya, jemaat GKI Yasmin terpaksa menggelar ibadah di trotoar atau di depan istana kepresidenan di Jakarta sebagai bentuk protes. Mereka juga mendapat dukungan dari berbagai kelompok masyarakat sipil dan agama yang menuntut pemerintah kota Bogor untuk menghormati hak konstitusional jemaat GKI Yasmin.
Perlakuan yang dialami jemaat GKI Yasmin menjadi sorotan media internasional dan memicu kecaman dari kelompok hak asasi manusia terhadap pemerintah.
Kebuntuan baru terpecahkan pada tahun 2019, ketika Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menawarkan solusi damai dengan memindahkan lokasi gereja ke tempat yang tidak jauh dari lokasi semula. Jemaat GKI Yasmin menerima tawaran tersebut setelah melakukan musyawarah dengan anggota dan pemimpinnya.
Pada peresmian gereja baru, Bima meminta maaf atas keterlambatan penyelesaian masalah ini. Ia mengatakan bahwa tujuan utama dari proses ini adalah bagaimana memberikan hak beribadah bagi jemaat GKI Yasmin.
“Negara itu bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan yang paling utama yaitu beribadah dan masyarakat pun harus memiliki frekuensi yang sama, jadi tidak mungkin rumah ibadah itu tidak diizinkan,” kata Bima dalam wawancara khusus dengan BenarNews pekan lalu (12/4).
Bima juga mengatakan bahwa semua opsi hukum telah dipertimbangkan dan ditimbang, dan bahwa memindahkan gereja ke lokasi lain adalah opsi terbaik untuk menjamin hak jemaat untuk beribadah, sekaligus memperhatikan dinamika sosial dan sejarah konflik.
“Kalau masuk ke perdebatan hukum memang ini rumit karena masing-masing memiliki argumentasi hukum yang kokoh juga,” kata Bima.
“Dinamika sosial yang ada di situ juga harus di hitung juga. Saya menawarkan kepada GKI untuk keluar dari perdebatan hukum, membuka semua opsi secara faktual, menyederhanakan itu. Jadi marilah kita rukun, saya buka semua opsi,” lanjut Bima.
Menteri Mahfud MD mengatakan peresmian GKI Yasmin menunjukkan negara menjamin kebabasan beragama.
"Peresmian Gereja GKI Pengadilan Pos Jemaat Bogor Barat ini merupakan bentuk nyata dari negara dalam hadir dan menjamin hak konstitusional warga negara khususnya bagi warga negara yang beragama Kristen yang hari ini gerejanya diresmikan," kata Mahfud saat peresmian.
“Bentuk pelanggaran hukum dan memoles citra”
Namun tidak semua pihak puas dengan penyelesaian ini. Beberapa aktivis hak asasi manusia dan anggota gereja mengkritik pemerintah kota Bogor karena tidak mematuhi keputusan Mahkamah Agung dan menganggap bahwa pemindahan gereja adalah bentuk diskriminasi dan pelanggaran hukum.
Bonar Tigor Naipospos, seorang aktivis dari Setara Institute mengatakan bahwa ketidakpatuhan pemerintah kota Bogor terhadap putusan pengadilan bisa jadi preseden buruk.
Bonar juga mengatakan bahwa pemerintah kota Bogor dan pemerintah pusat menggunakan isu GKI Yasmin untuk memoles citra mereka masing-masing.
“Bagi Bima Arya ini kesempatan bagi dia untuk menonjolkan diri sebagai pemimpin yang memproteksi minoritas, apalagi hampir semua dukungan dari pihak gereja telah dia dapatkan,” kata Bonar.
“Pemerintah pusat sendiri juga menganggap bahwa ini bisa menjadi promosi yang baik untuk menunjukkan komitmen menjaga keberagaman dan kerukunan,” sambung dia.
Ia mencontohkan kehadiran dua menteri kabinet pada peresmian gereja sebagai bentuk promosi politik.
Bona Sigalingging, mantan juru bicara GKI Yasmin, setuju dengan penilaian Bonar. Ia mengatakan bahwa pemerintah telah gagal dalam menerapkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsisten.
"Padahal sejatinya semua yang ditampilkan dalam 'acara peresmian' tersebut di atas adalah sebuah contoh kegagalan negara dalam melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen," kata dia kepada BenarNews.
Bima mengatakan bahwa ia berharap Bogor akan menjadi kota percontohan untuk harmoni dan keragaman beragama. Ia juga mengatakan bahwa ia berencana untuk membangun sebuah pusat dialog lintas agama di dekat gereja baru untuk memfasilitasi komunikasi dan kerjasama antara kelompok-kelompok beragama yang berbeda.
Menurut Setara Institute, “penyelesaian sengketa” GKI Yasmin ini berhasil mendongkrak posisi Bogor jauh lebih baik ke peringkat 17 dalam indeks kota toleran tahunannya pada 2022, dari peringkat 33 tahun sebelumnya. Indeks tersebut mengukur berbagai indikator seperti kebebasan beragama, perlindungan hak minoritas, partisipasi sosial dan layanan publik.
“Ya betul (indeks membaik), meski penyelesaian itu sendiri mesti dikritisi,” kata Bonar kepada BenarNews.
Konflik GKI Yasmin adalah salah satu dari banyak kasus yang menunjukkan tantangan yang dihadapi oleh minoritas beragama di Indonesia.
Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ada 97 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia pada 2020, naik dari 75 kasus pada 2019. Kasus-kasus tersebut meliputi penolakan pembangunan tempat ibadah, pembubaran acara keagamaan, penganiayaan terhadap kelompok minoritas dan diskriminasi terhadap pegawai negeri sipil.
Albertus Empathy, seorang pendeta dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), sebuah organisasi payung gereja-gereja Protestan di Tanah Air, mengatakan bahwa ia tidak mempertanyakan kompleksitas hukum dalam proses pendirian GKI Yasmin.
“Yang penting persoalannya kan selesai. Yang diperjuangkan adalah bagaimana supaya umat bisa punya gedung gereja dan beribadah dengan nyaman dan tenteram,” kata Albertus kepada BenarNews.
Nazarudin Latif di Jakarta berkontribusi pada laporan ini.