Gereja dan Masjid Berdampingan, Kesejukan Toleransi di Solo
2016.07.03
Solo
Toleransi antar-umat beragama terlihat kental di Kota Solo, Jawa Tengah. Di satu sudut kota yang pernah diberi sebutan “Kota Bersumbu Pendek” itu, dua rumah ibadah dari penganut agama berbeda berdiri kokoh berdampingan sejak 69 tahun silam.
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan dan Masjid Al Hikmah hanya dipisahkan tembok setinggi dua meter, namun keduanya terletak pada alamat yang sama, yaitu Jalan Gatot Subroto Nomor 222 Kratonan, Serengan, Solo.
Batas pagar tembok hanya pada bagian luar saja. Ketika memasuki areal gereja, tampak jelas kedua bangunan tersebut menempel, berbatas satu lapis batu-bata. Malah, rumah yang ditinggali Pendeta Nunung Istining Hyang menempel dengan bangunan inti masjid.
“Sedekat ini, tentu semua saling mendengar aktivitas masing-masing,” tutur Nunung saat ditemui BeritaBenar di kantornya, Minggu, 26 Juni 2016.
Bukan hal baru jika hari Minggu pada bulan Ramadhan, jemaat gereja mendengar lantunan ayat-ayat Al-Quran saat saat mereka sedang melakukan misa kebaktian. Sama halnya dengan jamaah masjid, mereka juga harus cermat memilah aba-aba dalam shalat di antara dengungan lantunan pujian dari gereja.
“Mereka mulainya lebih dulu, selesainya kita lebih dulu, tapi tidak ada masalah. Sudah biasa kami seperti ini,” tutur Maulana, warga setempat yang merupakan jamaah tetap Masjid Al Hikmah.
Hal senada dikatakan Yanu, yang selama lima tahun terakhir menjadi jemaat GKJ Joyodiningratan. Waktu pertama mengikuti misa kebaktian, dia sempat bingung saat mendengar suara azan. Tapi, lama kelamaan menjadi terbiasa.
“Semua orang merasa terbiasa, mungkin karena itu juga saya jadi ikut merasa biasa saja,” ungkapnya.
Misa kebaktian hari Minggu di GKJ Joyodiningratan yang memiliki 700-an jemaat dijadwalkan empat kali, yaitu masing-masing dua kali pada pagi dan petang hari. Waktu terpagi pada pukul 06.30 WIB dan termalam pukul 18.30 WIB yang berakhir pukul 20.00 WIB.
Menurut Nunung, misa kebaktian Minggu selalu bersamaan dengan pelaksanaan ibadah shalat Isya. Hal itu terjadi setiap pekan, bukan hanya pada bulan Ramadhan.
“Ibadah rutin yang bersamaan tak perlu ada pemberitahuan. Berbeda kalau ada event khusus yang mendatangkan banyak jemaat baik dari gereja atau masjid,” terang Nunung.
Saling berkoordinasi
Dalam setahun, ada kegiatan khusus atau peringatan hari besar keagamaan. Kedua pihak saling menandai kapan momentum digelar. Mereka juga saling memberitahukan dan berkoordinasi terkait kegiatan yang dilakukan pada hari-hari besar tersebut.
“Pemberitahuan dilakukan jauh-jauh hari. Tak mesti dengan surat, cukup kita datang dan berbicara langsung,” tutur takmir Masjid Al Hikmah, Muhammad Nasir Abu Bakar.
Biasanya koordinasi dilakukan lebih pada ketersediaan lahan parkir yang memang sangat terbatas. Jika gereja punya acara, para jemaat diperbolehkan memarkir kendaraan di area masjid. Begitu pula sebaliknya.
Nunung bercerita, pernah suatu ketika pengurus masjid terlambat memberitahu mengenai pengajian Minggu malam, yang bersamaan dengan misa. Tapi tidak ada masalah. Kedua kegiatan tetap digelar pada waktu yang disepakati. Mereka saling membantu dalam mengurus parkir yang otomatis melebihi kapasitas.
Pengurus masjid memundurkan acara inti pengajian sampai peribadatan di gereja selesai. “Mereka mematikan sound-nya. Mereka datang tepat waktu, tetapi acara baru dimulai saat jemaat pulang,” kenang Nunung.
Pada Hari Raya Idul Adha hewan kurban diparkir di areal gereja sebelum disembelih dan juga dibersihkan disana karena faktor ketersediaan air dan lokasi lebih lapang.
Areal masjid seluas 320 meter persegi yang hampir seluruhnya sudah bangunan sehingga nyaris tidak memiliki halaman. Sedangkan gereja berdiri di lahan 1.300 meter persegi dibagi untuk kantor, tempat peribadatan dan taman kanak-kanak.
“Semua kita tahu batas toleransi. Kita saling membantu dan mendukung. Tapi untuk masalah ibadah, kita lakukan sesuai keyakinan masing-masing,” ujar Nunung.
Pihak gereja dan masjid sering kali bekerjasama dalam kegiatan sosial, seperti penggalangan dana untuk kemanusiaan. Mereka juga saling membantu terkait parkir bila salah satu pihak mengadakan acara keagamaan yang besar.
Seorang warga berdiri di samping spanduk ucapan ‘Selamat Menunaikan Ibadah Puasa’ yang dipasang di pagar GKJ Joyodiningratan. (Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar)
Kerukunan bersama
Menurut penuturan Nasir, tanah yang ditempati GKJ Joyodiningratan dan Masjid Al Hikmah awalnya milik Ahmad Zaini. Ia punya tanah 1.600 meter persegi. Seluas 1.300 meter dibeli GKJ Joyodiningratan yang saat itu berlokasi di Danukusuman, Serengan, Solo.
“Pemilik minta disisakan sedikit untuk membangun masjid,” jelasnya.
Gereja dibangun tahun 1939. Sedangkan tempat shalat pada 1947. Keduanya berupa bangunan yang kecil. Kala itu, masih surau. Masjid mulai dibangun pada 1990-an, hampir bersamaan dengan renovasi gereja.
“Pernah beberapa kali ada pihak tidak bertanggung jawab memprovokasi karena masjid dan gereja berdampingan. Tetapi usaha itu gagal total karena kerukunan kedua pihak sangat kokoh dan kami saling menghormati,” kenang Nasir.
Suatu ketika, pernah khatib dalam khutbah Jumat menganggap Kristen sebagai agama sesat. Pendeta menemui pengurus masjid usai shalat dan menyampaikan agak terganggu dengan materi khutbah. Pengurus masjid minta maaf dan sejak itu memutuskan menyeleksi khatib yang diundang.
“Hubungan yang harmonis seperti ini sangat indah, jangan sampai rusak,” tutur Nasir.