Tiga Gereja Disegel, Pemerintah Dinilai Gagal Lindungi Minoritas

Izin mendirikan bangunan sudah diajukan namun selalu ditolak dengan berbagai alasan.
Arie Firdaus
2018.10.02
Jakarta
181002_ID_JambiChurch_1000.jpg Sejumlah laki-laki mengambil batu bersiap-siap untuk melempari polisi dalam sebuah demonstrasi menentang pembangunan sebuah gereja di Bekasi, Jawa Barat, 24 Maret, 2017.
AP

Keputusan Pemerintah Kota Jambil yang menyegel tiga gereja dengan alasan tidak mengantongi surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dikecam Amnesty Internasional.

Lembaga pemantau hak asasi manusia (HAM) itu menilai pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo telah gagal melindungi hak kelompok minoritas, seperti dijanjikan saat kampanye pemilihan presiden (Pilpres) 2014.

"Karena tidak ada upaya dari pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Jokowi, untuk mengoreksi tindakan pemerintah daerah itu," kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid di Jakarta, Selasa, 2 Oktober 2018.

"Ini menunjukkan Jokowi lupa dengan janjinya untuk melindungi minoritas di Indonesia."

Gereja-gereja yang disegel otoritas Kota Jambi adalah Huria Kristen Indonesia, Gereja Methodist Indonesia Kanaan Jambi, dan Gereja Sidang Jemaat Allah.

Ketiganya ditutup Kamis pekan lalu, sehingga memaksa 290 kepala keluarga yang biasa bersembahyang di sana menggelar ibadah di halaman gereja tiga hari setelahnya.

"Itu merupakan bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Pemerintah Kota Jambi harus segera membuka segel agar jemaat ketiga gereja dalam melaksanaan ibadah dengan baik," lanjut Usman.

‘Dicarikan solusi’

Dikutip dari kantor berita Antara, Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Jambi, Liphan Pasaribu, mengatakan penyegelan dilakukan agar konflik antara gereja dan warga sekitar tidak kian meruncing.

"Disegel untuk dicarikan solusi, pimpinan akan rapat secepatnya," ujar Liphan.

Sebelumnya, sekelompok warga Kelurahan Kenali Besar di Jambi memang mengancam akan mendemo ketiga gereja tersebut dengan jumlah massa yang besar andaikata masih beroperasi.

Mereka mengatakan keberatan dengan keberadaan gereja karena dinilai menimbulkan keributan. Ditambah, menurut mereka, keberadaannya tak memiliki izin.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri pada 2006 mensyaratkan izin dari warga sekitar untuk pendirian rumah ibadah. Peraturan ini banyak dikecam aktivis HAM karena dinilai menjadi pembenaran diskriminasi terhadap terhadap umat minoritas.

Untuk pembangunan rumah ibadah, misalnya, harus mengumpulkan 90 kartu tanda penduduk anggota tempat ibadah tersebut yang disahkan pejabat setempat dan setidaknya 60 anggota masyarakat yang menetap di sekitar gereja yang dilegitimasi oleh lurah atau kepala desa.

Adapula ketentuan berupa rekomendasi tertulis dari kepala kantor kementerian agama setempat dan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) di tingkat kabupaten atau kota. Syarat terakhir itulah yang disebut tak pernah dipenuhi pengurus gereja.

"Pemerintah bukannya tak mau keluarkan izin. Tapi rekomendasi FKUB memang belum ada," tambah Liphan.

‘Keputusan terbaik’

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama, Thomas Pentuary, mengatakan penyegelan sejauh ini merupakan solusi terbaik yang dapat diambil pemerintah.

"Demi ketentraman warga," ujar Thomas.

Dia berjanji pemerintah akan menemukan solusi lebih baik dalam waktu dekat dan meminta semua pihak yang bersengketa, terutama jemaat gereja, agar bersabar dan menahan diri sehingga tak memunculkan masalah baru.

"Yakinlah, pemerintah akan mengambil langkah terbaik. Agar persatuan dan kesatuan tetap utuh," tambah Thomas, tanpa merinci opsi yang disiapkan pemerintah.

Beribadah di pelataran gereja menjadi salah satu opsi yang ditawarkan pemerintah tak lama usai penyegelan terjadi.

Pilihan lain, yang belakangan ditolak pengelola dan jemaat gereja, adalah beribadah di aula Markas Kepolisian Kota Jambi dan gedung lapangan tenis milik pemerintah Jambi.

PGI kecam penyegelan

Sementara itu, juru bicara Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Irma Riana Simanjuntak mengecam langkah pemerintah Jambi yang menyegel gereja.

Menurutnya, pengurus dan jemaat gereja selama ini berhubungan baik dengan warga sekitar karena tak pernah membuat kegaduhan.

"Kami prihatin karena pelarangan seperti ini masih terjadi hanya karena ada tekanan dari massa yang dimobilisasi," ujar Irma, tanpa merinci pihak yang diduganya menggerakkan massa.

Terkait ketiadaan izin, yang dijadikan pijakan pemerintah setempat menyegel gereja, Irma beralasan pengurus ketiga rumah ibadah sejatinya telah berupaya mengurus izin selama ini. Hanya saja selalu beroleh penolakan dengan alasan yang disebutnya tidak masuk akal.

"Padahal menjalankan ibadah itu adalah hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh undang-undang," kata Irma.

Sejumlah kasus

Penyegelan ketiga gereja ini bukanlah kasus pertama di Jambi.

Dua tahun lalu, bangunan gereja HKBP Syaloom Aur Duri juga disegel Pemerintah Kota Jambi dengan alasan serupa: ketiadaan IMB. Sedangkan pengurus gereja berdalih, izin sudah diupayakan sejak 19 tahun sebelumnya.

Masalah ini tuntas pada 2017, menyusul terbitnya surat izin mendirikan bangunan.

Penutupan gereja juga pernah terjadi di beberapa daerah.

Pemerintah Kota Depok, misalnya, pernah mencabut izin bangunan gereja HKBP Pangkalan Jati Gandul dengan alasan yang tidak jelas pada 2009.

Pengurus kemudian menggugat Wali Kota Depok saat itu, Nurmahmudi Ismail ke Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung.

Adapula penyegelan Gereja Pantekosta Indonesia di Desa Mekargalih Jatinangor pada 2013. Operasional gereja yang telah beroperasi sejak 1987 itu disetop pemerintah karena disebut tak mengantongi izin bangunan.

Ada juga Gereja Santa Maria Desa Bedahan Lamongan yang tak mendapatkan izin mendirikan bangunan untuk renovasi, meski telah 12 tahun diproses.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.