Konflik Manusia dan Gajah Makin Parah di Aceh

Nurdin Hasan
2015.11.05
Banda Aceh
151105-ID-elephant-620.jpg Sejumlah mahout dan polisi hutan menunggang gajah jinak ketika mengusir kawanan gajah liar di pedalaman Kabupaten Bener Meriah, awal Februari 2015.
Dok. BKSDA Aceh

Sekitar 150 warga Desa Rimba Raya di pedalaman Kabupaten Bener Meriah, Provinsi  Aceh, akhirnya pulang ke kampung setelah mengungsi seminggu. Mereka mengungsi karena takut menjadi korban amukan kawanan gajah liar yang masuk ke desanya.

Pemulangan warga yang berprofesi sebagai petani menggunakan mobil dan pick up milik pejabat lokal. Sejumlah warga pulang dengan sepeda motor milik mereka. Sejak mengungsi pada 27 Oktober, mereka ditampung di Kantor Camat Pintu Rime Gayo, yang berjarak 20 kilometer dari desanya.

Camat Pintu Rime Gayo, Mukhtar mengatakan warga dipulangkan, Rabu 3 November setelah kondisi desa aman karena kawanan gajah yang jumlahnya mencapai puluhan ekor berhasil digiring ke hutan.

“Penggiringan kawanan gajah kembali ke hutan dengan cara membunyikan mercon,” jelasnya kepada BeritaBenar melalui telepon, Kamis.

Dia menambahkan, pengusiran gajah-gajah liar dilakukan pejabat setempat bersama aktivis lingkungan yang dibantu aparat TNI dan Polri selama sepekan sampai binatang dilindungi itu masuk jauh ke dalam hutan belantara.

Zainab (27), seorang ibu rumah tangga, mengaku masih khawatir meskipun kawanan gajah telah diusir jauh dari kampungnya. “Saya masih takut karena bisa saja kawanan gajah akan kembali lagi,” katanya.

Akibat ditinggal seminggu, tanaman warga seperti kelapa, pinang, dan coklat hancur diinjak gajah. Empat rumah warga rusak parah diambuk kawanan gajah Sumatera.

Kekhawatiran Zainab cukup beralasan karena pada Januari lalu, seorang perempuan 38 tahun tewas diamuk gajah yang menyerang rumahnya di desa berbatasan dengan Rimba Raya. Sebelumnya pada November dan Agustus 2014, dua petani di kawasan Pinto Rime Gayo juga tewas dinjak gajah liar yang memasuki kebun mereka.

Konflik makin parah

Pengungsian warga pedalaman Bener Meriah merupakan kasus terbaru konflik gajah dan manusia yang makin parah terjadi di Aceh sejak terwujudnya perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), 10 tahun lalu.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Muhammad Nur menyatakan, dari tahun ke tahun konflik manusia dan gajah terus meningkat di Aceh. Dalam dua tahun terakhir, Walhi Aceh mencatat terjadi 32 kasus.

“Itu kasus besar saja kami catat,” katanya kepada BeritaBenar di Banda Aceh, Kamis.

“Ketika konflik bersenjata, hampir tidak ada masalah karena orang tak berani masuk hutan. Kalau ada yang berani masuk hutan, bisa dicap GAM. Tetapi sekarang orang bebas ke hutan.”

Tingginya konflik antara gajah dan manusia diakui Genman Suhefti Hasibuan, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh. Malah data BKSDA, angkanya 100 lebih kasus dalam dua tahun terakhir.

“Saya hampir setiap minggu dilapor staf lapangan terjadi konflik manusia dan gajah,” ujarnya.

Nur dan Genman mengakui meningkatnya konflik karena koridor gajah telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, pertambangan dan perambahan hutan ilegal.

“Sejak 10 tahun terakhir, perusakan kawasan hutan sangat tinggi sehingga konflik tak bisa dielakkan karena satwa kehilangan lahan dan sumber makanan,” tutur Nur.

“Memang di Aceh ada moratorium logging, tapi fakta di lapangan perambahan hutan terus terjadi karena penegakan hukum tak maksimal memberantas illegal logging,” kata Nur.

Untuk menghentikan konflik, tambah Nur, Walhi mendesak pemerintah harus segera mencabut izin pertambahan dan pembukaan perkebunan sawit serta tegas terhadap para pelaku perambahan hutan.

“Dan yang terpenting pembangunan Aceh harus ada jaminan tidak merusak kawasan koridor satwa yang luasnya mencapai 2 juta hektar,” ujarnya.

Genman sependapat dengan Nur. Menurut Kepala BKDSA Aceh itu, di jalur kawasan hutan utama sama sekali tidak boleh ada aktivitas manusia. Sedangkan di luar hutan utama, aktivitas boleh dilakukan dengan tanaman yang bukan makanan gajah seperti kopi.

“Solusi lain kita tawarkan membuat parit seperti di Bener Meriah untuk memisahkan permukiman penduduk dan jalur lintasan gajah,” kata Genman.

Menurutnya, konflik antara gajah dan manusia terjadi di 17 dari 23 kabupaten/kota yang ada di Aceh. Dari jumlah itu, yang paling parah melanda 10 kabupaten dan kota yaitu Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, Bener Meriah, Aceh Tengah, Bireuen, Aceh Jaya, Aeh Barat, Aceh Selatan dan Kota Subulussalam.

Ia menambahkan bahwa dalam banyak kasus konflik karena jalur lintasan gajah telah berubah menjadi perkebunan sawit.

“Ada warga Aceh Barat mengadu pada saya. Dulu tidak pernah gajah masuk ke desa mereka. Tapi setelah ada perkebunan sawit di hutan dekat kampung, kawanan gajah semakin sering masuk karena gajah-gajah itu tidak bisa lagi melintasi jalur yang biasa mereka gunakan,” tuturnya.

Belasan gajah mati

Dampak lain semakin parahnya konflik antara satwa dilindungi dan manusia di Aceh telah mengakibatkan belasan ekor gajah mati dalam dua tahun terakhir yang diduga kuat karena sengaja dibunuh.

Dua ekor gajah liar betina ditemukan mati di kawasan pedalaman hutan Kecamatan Krueng Sabe, Kabupaten Aceh Jaya pada 14 Oktober lalu sehingga dalam tahun ini sudah enam ekor gajah mati di Aceh.

“Saat ditemukan warga, kedua bangkai gajah berusia 15 dan 2 tahun hanya berjarak 10 meter satu dengan yang lain. Kuat dugaan mereka mati karena keracunan,” kata Genman.

Indikasi keracunan karena dari mulut dan anus keduanya mengeluarkan darah serta tak ditemukan adanya bekas luka tembak dan tanda-tanda terkena jeratan maupun sengatan listrik, tambahnya.

Sebelumnya September lalu, dua gajah jantan ditemukan mati di pedalaman Aceh Timur. Pada 22 April, seekor gajah jantan berusia 15 tahun mati di Aceh Timur. Awal April, satu gajah jantan ditemukan mati dengan kepala dipenggal di Kabupaten Aceh Barat.

Sejak 2011, status gajah Sumatera berada dalam kondisi kritis. Data yang dikeluarkan Workshop Forum Gajah dan Kementerian Kehutanan awal tahun 2014 menyebutkan populasi gajah Sumatera di alam liar diperkirakan berjumlah 1.724 ekor, termasuk 500-an hidup di Aceh.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.