Sulitnya Mengatasi Pinjaman Online Ilegal

YLKI menyarankan pemerintah jangan hanya memblokir fintech ilegal tapi juga menangkap pelakunya.
Ami Afriatni
2019.07.31
Jakarta
190731_ID_Fintech_1000.jpg Seorang pengguna ponsel melihat aplikasi pinjaman online melalui layar telepon genggam di Jakarta, 31 Juli 2019.
Tyaga Anandra/BeritaBenar

Arie (35) tak menyangka hidupnya bakal terganggu setelah terlibat utang pada sejumlah penyedia jasa pinjaman online. Berkali-kali, ia diteror lewat telepon oleh penagih utang, baik ke kantor maupun ke ibu mertuanya.

"Saya sempat malu. Saat ditanya, saya bilang itu penipuan. Untungnya mereka percaya," ujar perempuan yang tinggal di Malang, Jawa Timur, saat dihubungi BeritaBenar, Selasa, 30 Juli 2019.

Arie yang bekerja sebagai penasihat kecantikan malah terpaksa menjual harta bendanya untuk membayar utang beserta bunganya.

"Cincin dan perhiasan akhirnya habis semua buat bayar bunganya. Apa aja bisa dijual," ujarnya.

Menurutnya, pendaftaran pinjaman online (pinjol) atau dikenal juga dengan fintech (financial technology) sangat mudah yaitu lewat playstore, mengunggah fotokopi KTP, masukkan tiga nomor teman yang bisa dihubungi.

Awalnya, Arie bisa melunasi tepat waktu sehingga tergiur untuk meminjam lagi sampai akhirnya mencapai Rp20 juta lewat sejumlah aplikasi yang banyak tersedia di playstore.

"Jatuh tempo dalam hitungan minggu, bukan bulan. Padahal kami harus tunggu gajian untuk melunasi. Otomatis saya nggak ada uang untuk bayar. Misalnya pinjam satu juta, bunganya rata-rata 200 ribu lebih. Terus saya buka aplikasi lain untuk menutupi (utang) yang itu," katanya.

"Kapok. Nggak mau lagi. Saran saya buat yang lain jangan buka aplikasi baru lagi. Kalau sudah buka aplikasi diusahakan pinjam (cara) lain saja. Jangan aplikasi karena bunganya besar.”

Tidak itu saja, masih banyak korban dari keagresifan perusahaan pinjol ke pengguna yang tidak bisa melunasi saat jatuh tempo yang relatif pendek.

Laporan media baru-baru ini menyebutkan seorang perempuan di Solo yang terlambat membayar saat jatuh tempo mendapatkan foto dirinya disebar oleh oknum bisnis pinjol di media sosial dengan tulisan “siap digilir” untuk mendapatkan uang guna melunasi utangnya. Padahal menurut perempuan yang kemudian melaporkan perusahaan fintech itu ke polisi, ia telah memberitahu pihak pinjaman online kalau dirinya belum memiliki uang untuk membayar pinjaman itu.

Bulan Februari lalu seorang supir taksi memutuskan untuk bunuh diri karena tidak sanggup melunasi pinjol yang awalnya sebesar Rp500 ribu namun kemudian jumlahnya membengkak setelah terus berbunga. Media melaporkan bahwa dari surat wasiat yang ditinggalkannya, pinjol telah menekannya dengan penyebaran data pribadi dan ancaman lainnya.

Sulit diawasi

Juru bicara Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sekar Putih Djarot, mengatakan banyaknya korban jatuh disebabkan oleh maraknya pinjaman online ilegal yang beroperasi di Indonesia.

"Fintech lending atau pinjol ilegal itu tak ada yang mengawasi karena tidak tunduk pada aturan apapun. Keberadaannya jadi concern bersama, sehingga pemberantasan melalui Satgas Waspada Investasi (SWI) dimana OJK selaku kordinatornya," tuturnya kepada BeritaBenar.

SWI merupakan gabungan sejumlah lembaga dan instansi antara lain OJK, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Polri dan pihak lain yang bertugas memonitor dan melakukan tindakan preventif investasi/fintech ilegal.

Melalui SWI dan berdasarkan rekomendasi OJK, lanjut Sekar, Kominfo telah menutup 1.087 pinjol ilegal.

Sekar menambahkan pinjol yang terdaftar di OJK harus memenuhi aturan dan ketentuan tentang Penyelenggara Jasa Layanan Pinjam-Meminjam Berbasis Teknologi.

OJK juga membatasi akses data fintech legal hanya pada mikrofon, lokasi dan kamera yang dibutuhkan untuk kepentingan e-Know Your Costumer (e-KYC).

"Data lain tidak boleh diakses. Jika fintech yang telah terdaftar itu terbukti melakukan pelanggaran akses data, kami tidak ragu bertindak tegas mengenakan sanksi hingga pencabutan izin," tegasnya.

"Kami juga mengimbau perusahaan-perusahaan fintech yang belum terdaftar segera mengurus izin ke OJK."

Untuk masyarakat yang ingin menggunakan jasa pinjaman online, Sekar menambahkan, agar memahami manfaat, biaya dan resikonya.

"Edukasi masyarakat mengenai pinjol perlu dilakukan secara berkelanjutan. Yang mudah belum tentu aman,” ujarnya.

Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Tumbur Pardede, mengatakan pihaknya mengecam dan mengutuk keras pelaku fintech ilegal.

"Apa yang mereka lakukan memalukan, tindakan mereka di luar batas kemanusiaan dan menimbulkan kerugian material dan inmaterial. Teror dan sebagainya itu tak manusiawi. Mereka melakukan hal di luar etika jasa keuangan," ujarnya kepada BeritaBenar.

Tumbur mengakui pihaknya memiliki keterbatasan untuk melakukan upaya hukum bagi pihak fintech ilegal karena mereka tidak terdaftar di OJK dan bukan anggota AFPI.

Untuk itu, lanjutnya, AFPI berkoordinasi dengan OJK dan Cyber Crime Bareskrim Polri untuk menindaklanjuti. AFPI juga memberikan bantuan kepada para korban, khususnya korban platform ilegal, untuk melaporkan kepada pihak berwajib.

"(Tapi) tak sampai menyediakan pengacara karena bukan di situ ranah kami. Kami hanya bisa membantu korban melaporkan ke pihak yang berwajib," katanya.

Hingga Juni 2019, Tumbur mengatakan terdapat 3.555 pengaduan secara resmi ke AFPI, dimana 76 persen di antaranya korban fintech ilegal dan 24 persen terdaftar.

"Kami tidak memiliki data pasti statistik (operator), tapi ada yang dari China, Singapura, Hong Kong, Eropa Timur, Amerika Serikat, dan juga lokal," imbuhnya.

Tangani pengaduan

Staf Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambodo, mengatakan pihaknya mulai fokus menangani pengaduan korban pinjaman online sejak 2018.

YLKI mencatat pada tahun lalu ada 81 kasus, namun dari awal hingga pertengahan tahun ini sudah 41 pengaduan yang masuk.

“Yang tidak tercatat itu mungkin ratusan. Kita lagi mengumpulkan pengaduan, nggak tangani satu per satu. Kita kumpulkan secara universal aduan yang masuk. Hal-hal seperti ini kita petakan dulu. Setelah itu baru kita tarik kesimpulan sebenarnya apa yang menjadi inti persoalan," ujarnya saat dihubungi.

YLKI fokus pada dua hal dalam kasus ini, yaitu melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan advokasi kepada pemerintah melalui OJK untuk mengambil tindakan.

"Kita secara pribadi nggak mendampingi, tapi kita menyarankan pada korban pinjaman online yang dirugikan, bila ada perbuatan pidana yang melanggar hukum untuk laporkan langsung ke pihak kepolisian. Jika YLKI bertindak terkait masalah pidana, itu melebihi batas kewenangan YLKI," katanya.

Rio menilai pengawasan terhadap fintech selama ini masih minim.

"Masih banyak peredaran fintech ilegal terjadi karena seakan-akan pemerintah kurang mengawasi. Walau melakukan pemblokiran, diblokir satu namun tumbuh seribu. Cara untuk semestinya bukan memblokir, tapi tangkap aktor pelakunya," pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.