Aktivis HAM Desak Jokowi Cabut Tanda Jasa untuk Eurico Guterres
2021.08.13
Jakarta
Koalisi masyarakat sipil pada Jumat (13/8) mengecam pemberian bintang jasa kepada Eurico Guterres, mantan pimpinan milisia pro-integrasi Timor Timur yang pernah divonis pengadilan bersalah dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) seputar referendum di wilayah yang dulu menjadi bagian dari Indonesia.
Langkah Presiden Joko “Jokowi” Widodo memberikan bintang jasa utama kepada Guterres pada Kamis merupakan bentuk pengkhianatan serius terhadap kemanusiaan, moralitas, serta mengesampingkan keadilan bagi korban, kata koalisi yang terdiri dari individu serta organisasi pembela HAM.
Koalisi dalam pernyataan tertulis “mendesak agar Presiden mencabut kembali keputusannya memberikan penghargaan Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres.”
“Pilihan itu menunjukkan bahwa pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin telah kehilangan legitimasi sebagai pemerintah yang memiliki kehendak baik sekaligus kehendak bebas,” kata koalisi itu.
Pada tahun 2002, pengadilan hak asasi manusia ad hoc Jakarta Pusat memvonis Guterres, pemimpin kelompok milisia pro-integrasi Aitarak, 10 tahun penjara karena terbukti melakukan pelanggaran HAM berat setelah terbukti membiarkan bawahannya melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap masyarakat sipil sebelum dan sesudah referendum pemisahan diri Timor Timur dari Indonesia pada 1999.
PBB mencatat antara 1.000 sampai 2.000 warga sipil tewas dan 500.000 lainnya mengungsi dalam kekerasan seputar referendum di Timor Timur, wilayah yang setelah berpisah dari Indonesia menjadi negara Timor Leste.
Bintang Jasa Utama dianugerahkan kepada Guterres karena dia turut memperjuangkan Timor Timur agar tetap bergabung dengan Indonesia saat krisis politik bergulir pasca-runtuhnya Orde Baru, sebut Mohammad Mahfud MD, Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, yang juga adalah Menteri Kooordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam).
“Eurico Guterres, dulu pejuang bersama kekuatan NKRI ketika ikut membangun Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia,” kata Mahfud.
Namun, menurut pegiat HAM, Guterres berperan dalam peristiwa kerusuhan besar di Dili yang menelan korban jiwa dengan memprovokasi pasukannya dalam orasi yang dibacakan saat apel peresmian Pasukan Pengamanan Swakarsa di depan kantor Gubernur Provinsi Timor Timur.
Usai orasinya, pasukan yang bersenjata lengkap itu langsung pergi menyerang rumah Manuel Viegas Carrascalao dan Leandro Isaac, dua politisi yang mendukung pembebasan Timor Leste.
Rumah Carrascalao ketika itu menjadi persinggahan bagi sekitar 136 pengungsi konflik antara pasukan keamanan Indonesia dengan pejuang pro-kemerdekaan di Dili dan sekitarnya. Dalam penyerangan, putra Carrascalao dan pengungsi termasuk perempuan dan anak-anak disiksa dan dibunuh.
Putusan pengadilan HAM diperkuat putusan kasasi di Mahkamah Agung pada 2006, walau Guterres tetap bersikeras dirinya tidak bersalah karena menganggap dirinya dikorbankan oleh pimpinan militer dan polisi.
“Kalau memang perjuangan itu salah, saya minta maaf kepada bangsa Indonesia,” kata Guterres dikutip dari TEMPO, “pada saatnya nanti, dunia akan tahu siapa sesungguhnya yang pahlawan dan siapa mereka yang berkhianat terhadap bangsa.”
Guterres bebas pada 2008, setelah upaya Peninjauan Kembali-nya dikabulkan oleh Mahkamah Agung.
Majelis hakim Peninjauan Kembali menerima novum atau bukti baru yang diajukan Guterres, yang diantaranya berupa putusan sebelumnya terhadap para terdakwa kasus HAM Timor Timur lain, termasuk vonis bebas terhadap bekas Gubernur Timor Abilio Jose Soares.
Guterres yang memilih untuk menjadi warga negara Indonesia selepas Timor Leste melepaskan diri dari Indonesia, saat ini tercatat sebagai politisi dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang diketuai Prabowo Subianto.
Guteress merupakan sala satu dari 300an lebih penerima tanda kehormatan yang diberikan oleh Jokowi dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-76.
Bukan sekali
Keberpihakan terhadap individu-individu yang dianggap memiliki catatan kelam atas pelanggaran HAM di Indonesia bukan baru pertama kali ditunjukkan selama masa kepemimpinan Jokowi, sebut peneliti muda Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Miftah Fadhli.
“Wiranto dan Prabowo Subianto misalnya, keduanya malah menduduki jabatan penting dalam kabinet. Ini jadi salah satu pengkhianatan terhadap komitmen yang sudah dijanjikan sejak awal Jokowi menjabat,” kata Miftah.
Prabowo saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan sementara Wiranto pernah menjabat sebagai Menkopolhukam. Kedua nama ini dituding memiliki peran dalam penculikan aktivis dan kerusuhan di hari-hari terakhir kekuasaan Presiden Soeharto tahun 1998, walau tuduhan itu dibantah oleh mereka.
Jokowi juga dinilai telah melanggar janjinya sendiri untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu yang sempat termuat dalam dokumen Nawacita yang dibuat ketika pertama kali menjabat pada periode 2014-2019.
“Jokowi melalui Menkopolhukam pada 2019, juga pernah menyatakan pemerintah akan menghidupkan kembali komisi pengungkapan kebenaran atas kasus pelanggaran HAM masa lalu. Tapi langkah itu sampai sekarang tidak terlihat progresnya seperti apa,” kata Miftah.
Miftah, yang lembaganya turut tergabung dalam koalisi masyarakat sipil, mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat secara menyeluruh, termasuk melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak korban atas kebenaran.
“Bahkan masyarakat sipil dan keluarga korban juga berharap pemerintah mau mengakui dan membuat permintaan maaf secara resmi atas kejahatan kemanusiaan itu,” katanya.
Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komisi Nasional HAM, pada Kamis, kembali meminta Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti berkas 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah dilengkapi dan dikembalikan ke lembaga penegak hukum itu sejak Januari 2019.
“Komnas HAM RI terus mendorong dan berkoordinasi dengan Jaksa Agung untuk menindaklanjuti 12 berkas peristiwa yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM,” kata Damanik dalam pidato peluncuran Laporan Tahunan Komnas HAM Tahun 2020.
Beberapa di antara kasus pelanggaran HAM berat masa lalu meliputi Peristiwa Penculikan dan Pembunuhan 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II pada 1998-1999, hingga Peristiwa Paniai Tahun 2004.
Jaksa Agung ST Burhanuddin sebelumnya pernah mengatakan hambatan dalam menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu karena belum terbentuknya pengadilan ad hoc dan kecukupan alat bukti sehingga pihaknya kerap mengembalikan hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM.
“Penanganan dan penyelesaian berkas hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu menghadapi kendala terkait kecukupan alat bukti,” kata Burhanuddin.