Eni Lestari: Membangun Kapasitas dari Korban Menjadi Pejuang
2016.08.30
Malang
Usahanya memperjuangkan nasib Tenaga Kerja Indonesia (TKI) membawa Eni Lestari Andayani, terpilih menjadi pembicara pembuka dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB Ke-71 tentang imigran dan pengungsi di New York, pada 19 September 2016.
Ketua International Migrants Alliance (IMA) tersebut adalah satu dari sembilan orang yang terpilih dari 400 organisasi masyarakat sipil dari seluruh dunia.
Ia akan berbicara di depan 1.900 kepala negara, menteri, akademisi, organisasi internasional, masyarakat sipil dan sektor swasta.
“Saya mendapat kesempatan berbicara tiga menit, akan saya sampaikan tiga pesan utama di sana,” katanya.
Pesan itu antara lain, semua negara agar memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap buruh. Penindasan dan kekerasan yang dialami buruh makin parah karena banyak pihak hanya mengejar keuntungan, jelasnya.
Eni menuntut negara penerima buruh memberikan hak sipil dan hak berkumpul bagi buruh migran.
“Ada isolasi yang menimbulkan masalah dan kekerasan rasis. Perlakukan kami sebagai manusia!” tuntutnya.
Seorang Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Magdalena Sitorus, mengatakan Eni mewakili jutaan buruh migran untuk mendapat perhatian atas kekerasan yang mereka alami.
“Suara itu datang dari korban. PBB sudah tepat mendengar suara akar rumput,” katanya, seraya berharap seluruh kepala negara yang hadir dalam KTT itu memberi perhatian khusus bagi buruh migran.
Alami kejahatan majikan
Eni sendiri pernah menjadi korban kejahatan ketika ia menjadi buruh migran di Hongkong. Perempuan asal Kediri, Jawa Timur ini, mendaftar sebagai buruh melalui calo pada 1999, usai lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), dan menjalani pelatihan di penampungan bersama ratusan TKI di Surabaya.
“Sebenarnya bukan training, tapi merupakan proses untuk mengontrol agar kita tunduk dan tak melawan,” kenangnya.
Selama bekerja di Hongkong, ia diberlakukan tak manusiawi. Empat bulan tidak ada hari libur, tak bisa berkomunikasi dengan keluarga, tiga bulan gajinya diambil agen penyalur. Paspornya ditahan sehingga selama bekerja tak punya dokumen kewarganegaraan.
Setelah bekerja enam bulan dari kontrak dua tahun, Eni memilih kabur tanpa bekal uang dan hanya membawa dua potong pakaian dan jaket. Lima bulan di tempat penampungan, ia belajar tentang hukum perburuhan dan cara mengorganisir migran.
Tahun 2010, bersama sejumlah migran, ia mendirikan Asosiasi Buruh Migran Indonesia (ATKI), yang menjadi cikal bakal banyak kelompok gerakan dan organisasi buruh migran Indonesia.
Di sela-sela kesibukannya bekerja sebagai buruh, Eni mengorganisir migran perempuan sektor domestik melalui sosial media dan telepon seluler. Cara ini dianggap efektif untuk menjangkau teman senasib yang tersebar di beberapa negara.
Pelajaran dari advokasi Erwiana
Eni bersama rekan-rekannya ikut mengawal advokasi terhadap Erwiana Sulistyaningsih, buruh migran Indonesia yang disiksa majikannya hingga luka-luka saat ia bekerja di Hongkong selama sekitar delapan bulan sejak Juni 2013.
Protes besar-besaran menuntut keadilan atas kekerasan yang dialami TKI asal Ngawi, Jawa Timur itu, membawa hasil. Pengadilan Hongkong menghukum enam tahun penjara bekas majikan Erwiana, Law Wan Tung, pada Februari 2015.
Banyak pelajaran didapat Eni dalam mengawal kasus itu, mulai dari perkara hukum, kampanye dan jaringan, juga pemanfaatan sosial media.
“Perjuangan lewat Facebook bisa menjadi model menuntut keadilan. Mengangkat suara buruh, dan sekaligus memberikan tekanan,” kata Eni kepada BeritaBenar di Omah Munir, Batu, Jawa Timur, Minggu, 28 Agustus 2016.
Dalam setiap advokasi, Eni melibatkan buruh lain dan membangun solidaritas antarmigran. Malah tak jarang korban kekerasan juga ikut mendampingi dan mengadvokasi sesama buruh.
“Membangun kapasitas dari korban menjadi pejuang,” ujarnya.
Jumlah TKI
Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan Jawa Timur, mencatat jumlah TKI di daerah itu mencapai 175 ribu. Mereka tersebar di Malaysia, Hongkong, Taiwan, Singapura dan Arab Saudi.
“Setiap bulan, 20 TKI meninggal di luar negeri karena kecelakaan dan sakit,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan, Sukardo kepada BeritaBenar.
Malang adalah kabupaten tertinggi pengiriman TKI di Jawa Timur. Tapi, setahun terakhir jumlah TKI menyusut seiring pemberlakuan moratorium pengiriman tenaga kerja sektor domestik atau pembantu rumah tangga sejak Mei 2015.
“Hongkong dan Taiwan tujuan utama TKI dari Malang,” jelas Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja Malang, Sukardi.
Menurut data Badan Nasional Penempatan dan PerlindunganTenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), jumlah TKI setiap tahun menurun. Pada 2013, terdapat 512.168 orang TKI. Tahun 2014, menjadi 429.872 orang. Pada 2015 merosot jadi 275.736 orang dan semester pertama 2016 berjumlah 171.448 orang.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, jumlah WNI yang menjadi korban perdagangan manusia di luar negeri meningkat. Sejak 2013 hingga awal Agustus 2016, terdapat 1.328 kasus WNI korban trafficking di luar negeri yang telah ditangani.