4 Korban Sandera Abu Sayyaf yang Bebas Kembali ke Keluarga
2021.04.05
Jakarta
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Senin (5/4) menyerahkan empat nelayan yang bebas setelah menjadi korban penyanderaan Abu Sayyaf sejak Januari 2020 kepada pihak keluarga, dan memastikan tidak ada lagi warga negara Indonesia yang masih ditahan kelompok militan penculik di Filipina tersebut.
Arizal Kastamiran, Arsyad Bin Dahlan dan Andi Riswanto diselamatkan militer Filipina saat kapal yang ditumpangi mereka dan militan Abu Sayyaf terguling di perairan dekat Pulau Pasigan, Provinsi Tawi-Tawi, pada 19 Maret 2021.
Sementara korban keempat yang baru berusia 15 tahun, Khairuddin, diselamatkan saat pasukan Filipina terlibat bentrok dengan kelompok Abu Sayyaf di Kota Languyan, Tawi-Tawi, pada 21 Maret.
“Saudara-saudara kita ini telah menjadi korban penyanderaan kelompok Abu Sayyaf selama 427 hari atau lebih dari 1 tahun 3 bulan,” kata Retno dalam seremoni serah terima di Gedung Kementerian Luar Negeri, Jakarta.
Retno menyebut sejak 2016, sebanyak 44 nelayan asal Indonesia menjadi korban penyanderaan Abu Sayyaf. Keempat nelayan yang berhasil pulang hari ini, adalah korban penyanderaan terakhir.
“Dengan pembebasan ini, maka tidak ada WNI yang saat ini menjadi korban penyanderaan. Ke depan kita harus memperkuat aspek pencegahan, meningkatkan pengamanan di Perairan Sabah oleh otoritas Malaysia,” kata Retno.
Khairuddin dan tiga rekannya adalah anak buah kapal (ABK) dengan nomor registrasi SSK 00543/F untuk perusahaan perikanan yang berbasis di Sandakan, Malaysia, sebut laporan kementerian tahun lalu. Kapal ditumpangi mereka dan empat kru asal Indonesia lainnya itu dicegat penculik saat berlayar di Perairan Sabah pada 16 Januari 2020.
Sehari setelahnya, kapal terlihat kembali ke Sabah dari arah Filipina, namun hanya mengangkut tiga awak kapal.
Pada Maret 2020, Abu Sayyaf merilis video pendek berisi ancaman pemenggalan kepala lima nelayan jika uang tebusan yang mereka minta sebesar 3 juta sampai 4 juta ringgit Malaysia (sekitar Rp10-14 miliar) tidak dibayarkan.
Pada April, sebuah laporan intelijen yang dimuat harian Malaysia, The Star, melaporkan kelima nelayan tersebut sudah dibebaskan oleh kelompok Abu Sayyaf, namun diculik kembali oleh oknum yang memfasilitasi pembebasan mereka dengan menuntut uang tebusan ekstra dari pihak keluarga.
September 2020, satu dari lima nelayan yang jadi korban penyanderaan itu tewas dalam kontak senjata antara aparat militer Filipina dengan kelompok Abu Sayyaf di Provinsi Sulu, Filipina. Nelayan yang menjadi korban tersebut adalah La Baa (32), asal Buton, Sulawesi Tenggara.
Kepada wartawan, salah satu mantan sandera, Arizal, mengaku menjalani hari-hari penuh sengsara saat disekap Abu Sayyaf.
“Kadang kita nggak makan dua hari, tiga hari. Takut kena bom atau apa. Memang sengsara betul kehidupan di sana,” kata Arizal kepada KompasTV, seraya menambahkan, “tapi kami tidak pernah disiksa.”
Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Kemlu Judha Nugraha mengatakan para sandera kerap berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya akibat pengejaran aparat.
“Layaknya bertahan antara hidup dan mati karena mereka harus berpindah-pindah dan ketersediaan makanan yang terbatas,” kata Judha. “Kita harapkan ini adalah kasus yang terakhir. Cukup sudah!”
‘Kehati-hatian ditingkatkan’
Terkait pencegahan penyanderaan nelayan pada masa depan, Menteri Retno mengatakan pihaknya akan melakukan komunikasi yang lebih intensif kepada para pemilik kapal di Malaysia yang mempekerjakan nelayan Indonesia.
Selain itu, pihaknya juga meminta otoritas Malaysia untuk meningkatkan pengamanan di Perairan Sabah.
“Kehati-hatian nelayan kita yang bekerja di kapal Malaysia juga penting untuk terus ditingkatkan,” kata Retno, sambil mengatakan bahwa upaya pengembangan ekonomi di daerah asal nelayan juga penting dikembangkan sehingga sumber penghidupan tidak lagi bergantung pada pihak asing.
Indonesia, Malaysia dan Filipina telah menandatangani peluncuran patroli laut trilateral di kawasan perairan ketiga negara pada Oktober 2017 dengan tujuan mengurangi risiko penculikan dan aksi terorisme lainnya.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte, pada September 2018, mengusulkan untuk melakukan operasi gabungan di perairan Sulawesi (Indonesia), Sulu (Filipina), dan Sabah (Malaysia), sebagai peningkatan kerja sama patroli tahun 2017 itu.
Namun usulan itu ditolak Indonesia. Ketika itu pemerintah lebih memilih untuk mengevaluasi kerja sama patroli gabungan yang disepakati dalam Kesepakatan Kerja Sama Trilateral (TCA) yang mencakup Patroli Maritim Trilateral (TMP) dan Patroli Udara Trilateral (TAP).
Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) tahun 2019 menyebut kelompok Abu Sayyaf cenderung melihat Indonesia sebagai sasaran “mudah”, karena kerap memenuhi keinginan perompak untuk membayar tebusan.
Sehingga, apapun alasannya, respons pemerintah atas penculikan justru memicu serangkaian penculikan lain ke depannya.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menganggap peningkatan pengawasan perairan bukan satu-satunya solusi menyelesaikan persoalan penyanderaan oleh kelompok Abu Sayyaf.
Pasalnya, Indonesia sebaliknya juga kerap mendapat kritikan perihal terkait perannya menjaga keselamatan pelayaran dari negara tetangga.
“Sebenarnya pemerintah perlu introspeksi juga, karena selama ini pemerintah selalu menunjukkan sikap siap bayar,” kata Hikmahanto kepada BenarNews.
“Ya memang pemerintah wajib melindungi WNI, tapi kalau misalnya Indonesia dijadikan ATM, ya jangan mau lah,” lanjutnya.
Hikmahanto menilai pemerintah perlu memperkuat peran negosiator apabila kejadian ini terulang kembali pada masa depan.
Mei 2016, 14 WNI yang menjadi sandera Abu Sayyaf berhasil dibebaskan melalui upaya dua kelompok. Pertama dari Yayasan Sukma milik Surya Paloh, dan kedua, tim bentukan perusahaan logistik atas desakan Panglima TNI waktu itu Jenderal Gatot Nurmantyo di bawah kepemimpinan Kivlan Zein, sebut laporan IPAC.
“Negosiator harus dikasih kepercayaan, ruang dan waktu. Buktinya waktu itu bisa berhasil, jangan sedikit-sedikit pemerintah,” ujarnya.