Eksekusi Mati Dinilai Tidak Sah
2016.07.29
Cilacap
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat menilai eksekusi mati terhadap kliennya Humprey Ejike Eleweke (42) tidak sah, karena kejaksaan terlambat memberitahukan kepada kuasa hukum dan keluarganya.
Humprey adalah seorang dari empat terpidana mati kasus narkoba yang dieksekusi di lapangan Tunggal Panaluan, Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Jumat sekitar pukul 00.45 WIB, 29 Juli 2016.
Tiga terpidana lain yang dieksekusi bersamaan adalah Freddy Budiman, Michael Titus, dan Cajetan Uchena Onyeworo Seck Osmane. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Noor Rachmad mengatakan eksekusi keempat orang tersebut karena tindakan mereka dalam penyalahgunaan narkoba dianggap massif.
Ricky Gunawan, pengacara Humprey, mengatakan bahwa kuasa hukum dan keluarga baru diberitahu oleh kejaksaan, Selasa siang, 26 Juli 2016. Padahal berdasarkan aturan tentang tata cara pelaksanaan pidana mati, jaksa diwajibkan memberitahukan kepada terpidana 3x24 jam sebelum pelaksanaan eksekusi.
“Perkiraan kami, eksekusi baru dilakukan Jumat malam. Jadi eksekusi Jumat dinihari adalah eksekusi tak sah dan melanggar hukum,” ujar Ricky, kepada para wartawan di Cilacap, Jumat siang.
Dia juga mempertanyakan keputusan yang dieksekusi hanya empat orang padahal sebelumnya ada 14 terpidana mati yang telah diisolasi. Ricky mengaku, belum menerima penjelasan dari kejaksaan soal pembatalan eksekusi terhadap 10 terpidana mati lain.
“Tidak ada kriteria yang jelas dan tak ada penjelasan kenapa hanya empat orang yang dieksekusi,” ujarnya yang menambahkan pemilihan empat narapidana menunjukkan kesewenangan dalam praktik pidana mati di Indonesia.
Humprey ditangkap pada 2 Agustus 2003 setelah ditemukan 1,7 kg heroin di sebuah kamar restoran miliknya. Permohonan Peninjauan Kembali kasus Humprey ditolak Mahkamah Agung pada 27 September 2007.
Tidak ada pemberitahuan jadwal pelaksanaan eksekusi juga dialami keluarga Michael Titus. Nila, kakak iparnya, Kamis siang, 28 Juli 2016, mengatakan bahwa istri Michael dan keempat anaknya sedang dalam perjalanan dari Nigeria ke Indonesia.
“Kami akan berjuang sampai akhir,” ujar Nila yang tampaknya memang belum tahu kalau eksekusi digelar Jumat dini hari dan bukan Sabtu seperti yang diprediksinya.
Jumat sekitar pukul 02.30 WIB, Nila datang bersama seorang anak berusia 10 tahun. Pukul 03.00 WIB, barisan ambulans keluar dari dermaga termasuk yang membawa jenazah Michael.
10 terpidana ditunda
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan bahwa pihaknya memutuskan untuk menunda eksekusi terhadap 10 terpidana mati yang sebelumnya sudah dimasukkan dalam sel isolasi.
Keputusan itu setelah dilakukan kajian komprehensif oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dan stakeholder terkait seperti Kepolisian, Kementerian Luar Negeri, serta Kementerian Hukum dan HAM.
“Hasil kajian memutuskan empat orang yang perlu dieksekusi dini hari tadi. Sepuluh lainnya ditentukan kemudian dan akan dieksekusi pada saat yang tepat,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat.
Prasetyo membantah isu yang menyebutkan ada tekanan dari luar negeri sehingga 10 terpidana mati batal dieksekusi.
Menurutnya, Indonesia sedang berada pada kondisi darurat narkoba dan hukuman mati merupakan bentuk perang terhadap peredaran barang haram tersebut.
“Memang ada masukan dari beberapa negara seperti Inggris dan Australia, tetapi kita minta mereka untuk menghormati kedaulatan hukum yang berlaku di Indonesia,” ujarnya.
Prasetyo memastikan hak hukum keempat terpidana yang dieksekusi telah terpenuhi, termasuk permintaan terakhir. Freddy misalnya, sebelum berhadapan dengan regu tembak ia meminta supaya dikumpulkan anak-anak yatim untuk mendoakan dan berpesan agar dikuburkan di Surabaya.
Demikian pula permintaan dua terpidana mati asal Nigeria yang ingin dimakamkan di negaranya dan terpidana asal Senegal menghendaki dikremasi sebelum dikuburkan.
“Kami menyatakan turut berduka cita kepada keluarga maupun negara mereka berasal. Jaksa hanya bertugas untuk menjalankan putusan pengadilan serta perintah undang-undang, dan itu harus dilakukan sebaik-baiknya,” ujar Prasetyo.
Berdasarkan data di kejaksaan, saat ini terdapat 152 terpidana mati. Jumlah tersebut terdiri dari 92 terpidana kasus pembunuhan, dua terpidana kasus terorisme dan 58 orang kasus narkoba.
Nyawa pemberian Tuhan
Salah satu rohaniawan yang ditunjuk kejaksaan untuk mendampingi terpidana mati yang dieksekusi, Romo Carolus, mengatakan sejak awal pelaksanaan eksekusi hanya empat orang yang dipanggil keluar dari ruang isolasi.
Menurut Carolus, awalnya delapan terpidana mati yang akan dieksekusi diketahui berasal dari beberapa negara seperti Afrika Selatan, Nigeria, dan Zimbabwe. Tapi baru dua hari menjelang eksekusi diketahui ternyata mereka semua berasal dari Nigeria.
“Jika delapan dari satu negara apalagi kulit hitam akan jadi masalah internasional,” ujarnya.
Carolus mengatakan pihak gereja menolak hukuman mati karena mereka memegang prinsip pro-life karena nyawa adalah pemberian Tuhan. Dan hal ini sudah menjadi kesepakatan diantara gereja-gereja di dunia.
“Kami pernah bertemu presiden untuk menyampaikan sikap kami terhadap hukuman mati dan presiden mengerti, tetapi dia bilang hukuman ini untuk efek jera,” katanya.
Melihat keputusan pemerintah tetap melaksanakan hukuman mati kepada terpidana mati kasus narkoba, Carolus berharap supaya setidaknya ada upaya untuk membuat hukuman mati menjadi lebih manusiawi karena dari pengalamannya ada yang sampai tujuh menit setelah ditembak baru menghembus nafas terakhir.
Tia Asmara di Jakarta turut berkontribusi dalam artikel ini.