Maksimalisasi Penggunaan Drone untuk Penanggulangan Bencana

Drone dinilai lebih efektif dan efisien dalam melakukan pemetaan dibandingkan penggunaan citra satelit atau helikopter.
Zahara Tiba
2016.10.06
Jakarta
161006_ID_Drone_1000.jpg Seorang anggota TNI menerbangkan drone untuk memantau kawasan yang terdampak di Kediri menyusul erupsi Gunung Kelud di Jawa Timur, 15 Februari 2014.
AFP

Bekerja sama dengan berbagai pihak dalam memaksimalkan pemanfaatan teknologi pesawat tanpa awak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV)/Drone adalah penting dalam upaya penanggulangan bencana, demikian disampaikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam sebuah seminar di Jakarta, Kamis, 6 Oktober 2016.

Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB, Tri Budiarto, mengatakan bahwa kerjasama dan kolaborasi dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk memaksimalkan UAV menjadi kebutuhan mendesak.

“Kerjasama baik berupa saling berbagi dalam metode pelaksanaan, pemanfaatan hasil, maupun sisi cakupan wilayah, khususnya ketika terjadi bencana, demi kemanusiaan,” kata Tri pada Seminar Pemanfaatan UAV/Drone untuk Penanggulangan Bencana, hari Kamis.

Kolonel Asep Edi dari Direktorat Topografi TNI Angkatan Darat mengatakan institusinya telah memakai drone sejak 2012.

“Untuk penanggulangan bencana, kami telah menggunakannya untuk pemetaan erupsi Gunung Sinabung pada 2014, meletusnya Gunung Kelud dan pemadaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatra Selatan. Untuk karhutla, kami menggunakan thermal drone untuk menemukan titik-titik api,” tambah Asep.

Agus Kristijono, Kepala Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana BPPT mengatakan institusinya terus mengembangkan teknologi drone demi mendukung pengetahuan kebencanaan.

“Yang terbaru adalah pengembangan citra yang bisa menampilkan gambar hingga ukuran terkecil. Kami sudah terapkan untuk bencana (banjir) Garut dan (longsor) Sumedang,” ujarnya.

“Di Garut, kami bisa mengenali adanya geomorfologi berbentuk mangkuk yang bisa berpotensi menyebabkan banjir,” tambahnya.

Sedangkan, Yoniar Hufan dari Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik BIG mengatakan bahwa perkembangan drone saat ini cukup pesat.

“Teknologi ini luar biasa. Dulu kami butuh tahapan panjang untuk mendapatkan data geospasial. Dengan banyaknya UAV yang komersial, kami juga ikut mengembangkan,” katanya.

“Kami juga ikut membantu investigasi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk menyusun indikasi kerugian negara dalam kebakaran hutan di Kalimantan Tengah. Kami berharap terus mengembangkan penggunaan drone di Indonesia,” jelas Yoniar.

Lebih murah

“Dalam penanganan bencana, kami dituntut tepat dan cepat. Pemanfaatan drone memang sangat efektif dan efisien, khususnya dalam melakukan pemetaan,” ujar Kepala Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, di Jakarta, Kamis.

Dia menambahkan penggunaan helikopter dan citra satelit untuk melakukan pemetaan selama ini cukup memakan waktu dan biaya. Sementara dengan drone, biaya jauh lebih murah.

“Menggunakan citra satelit, kami harus tunggu saat satelit melintasi daerah bencana. Belum lagi jika tertutup awan, dapat mengganggu penglihatan,” paparnya, “dengan drone, hanya dibutuhkan dua atau tiga orang saja untuk melakukan pemetaan.”

Belum lagi risiko bila memakai helikopter. Dengan drone, risiko yang dihadapi akan jauh lebih sedikit karena seringkali daerah terkena bencana amat berbahaya untuk dilintasi helikopter.

Sutopo mengatakan dalam penanganan banjir bandang di Garut, Jawa Barat, baru-baru ini, pemanfaatan UAV juga sangat mendukung dalam melakukan reaksi cepat. Pemotretan, pemetaan serta berbagi data dan hasil analisisnya lebih cepat tertangani.

Pengalaman BNPB menerapkan teknologi drone dimulai saat memantau erupsi Merapi tahun 2010.

“BNPB bekerjasama dengan beberapa institusi saat itu memetakan bidang beresolusi tinggi, sehingga kami bisa melakukan simulasi peluncuran awan panas atau memetakan pemukiman atau desa-desa yang terkena dampak,” jelas Sutopo.

Ketika erupsi Gunung Kelud tahun 2014, BNPB dapat memberikan gambaran komprehensif tentang dampak serta penanganannya.

BNPB telah menyediakan pusat data yang dapat diakses dan dimanfaatkan lembaga-lembaga baik pemerintah maupun non-pemerintah.

“Kami menyediakan sekitar satu terabyte untuk menyimpan data-data yang dibutuhkan oleh pihak-pihak terkait,” ujarnya.

PetaBencana.id

BNPB juga bekerjasama dengan Urban Risk Lab Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat, untuk mengembangkan sistem pemetaan yang cepat berbasis media sosial dalam upaya mengurangi dampak dan mempercepat respon bencana.

“Sistem pemetaan bencana yang dibangun dinamakan PetaBencana.id. Ini adalah peta berbasis media sosial yang akan menampilkan informasi bencana secara real time,” kata Sutopo, dalam siaran pers.

Selain mengintegrasikan media sosial, peta ini juga akan diintegrasikan dengan layanan pesan instan WhatsApp. Dengan integrasi ini, warga bisa saking bertukar informasi dengan sesamanya dan juga dengan pemerintah secara cepat dan mudah.

Untuk langkah awal, PetaBencana.id dibangun di tiga kota yaitu Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Kota-kota ini dipilih karena termasuk kota metropolitan di Indonesia dengan kepadatan penduduk tinggi dan termasuk daerah rawan bencana.

Menurut Sutopo, PetaBencana.id adalah proyek yang diinisiasi Urban Risk Lab di MIT untuk mengembangkan CogniCity Open Source Software (CogniCity OSS) sebagai sebuah platform gratis dan terbuka untuk manajemen kebencanaan di kota-kota besar di Asia Selatan dan Tenggara.

PetaBencana.id menawarkan peta bencana berbasis web, yang memvisualisasikan informasi kejadian bencana secara real time dan mengelompokkan laporan kejadian bencana sesuai wilayah administratif. Laporan dari warga yang beredar di media sosial dan platform pesan instan dikumpulkan oleh CogniCity OSS, yang selanjutnya diverifikasi instansi berwenang.

Untuk mewujudkan peta ini, BNPB juga bekerja sama dengan Pacific Disaster Center dan Humanitarian OpenStreetMap Team. Rencananya peta ini akan diluncurkan awal 2017.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.