Dominasi Huawei di Indonesia timbulkan kekhawatiran kolonialisme digital
2023.09.29
Jakarta
Muhammad Ihsan Fawzi, seorang dosen di Institut Teknologi Tangerang Selatan, merasakan manfaat dari kerja sama dengan Huawei, perusahaan teknologi terkemuka asal China.
Setelah Fawzi mendapatkan sertifikasi untuk pengembangan aplikasi perangkat dan platform Huawei, dia mendapat beberapa tawaran pekerjaan dan undangan berbicara.
"Setelah saya mempostingnya di LinkedIn, beberapa perusahaan menghubungi saya dan menawarkan saya posisi sebagai pengembang aplikasi atau manajer proyek," kata Fawzi.
Fawzi adalah salah satu dari banyak orang Indonesia yang mendapatkan pelatihan, sertifikasi, dan peluang penelitian dari Huawei di bidang seperti aplikasi telepon seluler, komputasi awan, kecerdasan buatan, dan keamanan siber.
Indonesia membuka pintu lebar bagi investasi China dalam rangka mengembangkan ekosistem digitalnya.
Kerja sama Huawei dengan Indonesia adalah bagian dari strategi China yang lebih luas untuk memperluas pengaruh ekonomi dan politiknya di seluruh Asia dan sekitarnya melalui inisiatif One Belt and One Road — program global infrastruktur, teknologi, dan investasi yang diluncurkan oleh Presiden China Xi Jinping 10 tahun lalu.
Program itu mencakup pengembangan sistem digital, yang dianggap oleh pemerintah Indonesia sebagai kunci kemajuan masa depan.
Ekonomi internet Indonesia diproyeksikan mencapai US$124 miliar (Rp1,9 triliun) pada 2025, menurut laporan 2020 oleh Google, Temasek, dan Bain & Company.
Namun dominasi Huawei telah menimbulkan kekhawatiran beberapa ahli di Indonesia, di tengah tuduhan dari AS dan negara-negara Barat lainnya bahwa perusahaan China terlibat dalam aktivitas mata-mata dan sabotase. Huawei membantah semua tuduhan itu.
Ardi Sutedja, ketua Forum Keamanan Siber Indonesia dan mantan konsultan pemerintah, mengatakan Huawei sangat melekat dalam infrastruktur telekomunikasi nasional, dari jaringan inti hingga perangkat pengguna akhir.
“Sangat sulit bagi kita untuk beralih ke perusahaan lain karena dari hulu ke hilir, infrastruktur 3G dan 4G kita sudah dikelola oleh Huawei,” katanya kepada Radio Free Asia.
Pejabat Huawei di Indonesia menolak permintaan wawancara dari BenarNews.
‘Teknologi bisa menjajah mereka‘
Huawei telah menyediakan produk dan layanannya di Indonesia sejak tahun 2000.
Perusahaan ini telah menjalin kemitraan dengan lebih dari 100 perusahaan lokal dan lebih dari 30 universitas, dan menciptakan lebih dari 20 ribu lapangan kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung, menurut situs web perusahaan.
Perusahaan ini juga memiliki kesepakatan tentang kerja sama keamanan siber dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Ardi memperingatkan potensi bahaya jika Indonesia bergantung pada satu perusahaan asing, terutama untuk keamanan siber.
Dia mencatat bahwa masyarakat “menikmati gelombang teknologi baru tanpa menyadari bahwa teknologi juga bisa menjajah mereka.”
Para ahli mendefinisikan penjajahan atau kolonialisme digital sebagai keadaan di mana perusahaan-perusahaan teknologi berskala besar menyaring, menganalisis, dan menguasai data pengguna untuk keuntungan dan pengaruh pasar dengan manfaat yang tidak seberapa bagi konsumen atau sumber data.
Hukum perlindungan data yang lemah serta kepemilikan infrastruktur oleh perusahaan-perusahaan teknologi memungkinkan eksploitasi data sebagai sumber daya bagi keuntungan dan berbagai macam penggunaan termasuk analitik prediktif, kata para ahli.
Alfons Tanujaya, ahli keamanan siber lainnya, mengatakan Indonesia perlu berhati-hati membiarkan pihak luar mengendalikan jaringannya – “tidak hanya China tetapi juga Amerika Serikat.”
“Kalau kita bicara tentang penyadapan, tanpa 5G pun kita sudah bisa disadap. Semua perangkat keras kita dari China, kita pakai modem, kamera CCTV, dan segala macam dari China,” kata dia.
Amerika Serikat telah menyuarakan kekhawatiran terhadap Huawei. Negara itu telah melarang Huawei dari jaringan 5G-nya dan menekan sekutu-sekutunya untuk melakukan hal yang sama.
Pada 2020, Robert O’Brien, yang saat itu penasihat keamanan nasional AS, mengatakan bahwa Amerika memiliki bukti bahwa Huawei dapat “mengakses informasi sensitif dan pribadi” di sistem yang dioperasikan di seluruh dunia.
Dia berpendapat bahwa Huawei dipengaruhi oleh pemerintah China dan harus mematuhi arahan Partai Komunis China.
Huawei telah berulang kali membantah tuduhan ini, dengan mengatakan bahwa perusahaan ini adalah perusahaan independen dan tidak ada pemerintah yang pernah memintanya untuk mengekspos keamanan data produk atau pelanggan.
Provider pilihan
Perangkat dan jaringan Huawei menjamur di Asia Tenggara.
Tahun lalu, peneliti di Carnegie Endowment for International Peace, sebuah lembaga riset di Washington, mengatakan bahwa Huawei “telah menempatkan diri sebagai penyedia keamanan siber pilihan Indonesia” melalui program-program pelatihan keamanan siber dan lainnya yang luas untuk kelompok mulai dari pejabat pemerintah senior hingga siswa di pedesaan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, yang memimpin kerja sama Jakarta dengan Beijing, menjelaskan dengan singkat kenapa Indonesia membuka pintu lebar-lebar untuk investasi China.
"Karena Tiongkok menurut saya sangat generous (baik hati) untuk memberikan teknologinya, sampai hari ini apa saja yang kita minta dia mau dan itu membuat kita bisa kejar," kata Luhut tahun 2021.
Beberapa perusahaan teknologi Barat, seperti Ericsson, Nokia, dan Google, juga bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan lembaga pendidikannya, tetapi tidak ada yang sejauh Huawei, menurut para ahli.
Mereka mengatakan Huawei telah mendominasi infrastruktur telekomunikasi Indonesia dengan menawarkan harga rendah, kredit dari bank-bank China, dan pelatihan untuk orang lokal.
Perangkat Huawei terutama digunakan dalam proyek Palapa Ring, sebuah jaringan serat optik nasional sepanjang 35.000 kilometer yang mencakup lebih dari 500 wilayah dan kota di kepulauan Indonesia, yang tahap pertamanya dikerjakan oleh Huawei Marine.
“Kami menyambut baik dukungan Huawei untuk mengembangkan bakat digital di Indonesia dan di seluruh dunia,” kata Wayan Toni Supriyanto, direktur jenderal kerja sama internasional di Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Rintangan bagi Huawei.
Di tengah latar belakang ini, Huawei masih menghadapi hambatan dalam membangun bisnisnya.
Perusahaan ini menghadapi tantangan hukum di beberapa negara atas dugaan pencurian rahasia dagang, pelanggaran sanksi AS terhadap Iran, dan pelanggaran paten.
Huawei telah membantah tuduhan-tuduhan ini.
Perusahaan ini menghadapi pembatasan atau larangan atas peralatan atau layanannya di AS, Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Inggris Raya.
Langkah-langkah ini telah menghambat ekspansi global dan pangsa pasar Huawei, terutama di sektor 5G.
Huawei juga menghadapi gangguan rantai pasokan akibat sanksi AS yang mencegahnya mengakses komponen dan teknologi kunci dari pemasok Amerika.
Situasi tersebut telah mempengaruhi kemampuannya untuk memproduksi dan menjual produknya, seperti ponsel pintar dan peralatan jaringan.
Huawei telah berusaha mengembangkan alternatifnya sendiri, seperti sistem operasi HarmonyOS dan chip HiSilicon.
Perusahaan ini juga telah mencari pasar dan mitra baru di wilayah lain, seperti di Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah.
Huawei juga telah melakukan lobi dan menuntut untuk membela hak dan reputasinya, serta upaya sosialisasi untuk memenangkan kepercayaan publik.
Onno W. Purbo, seorang dosen teknik komputer dan pendukung teknologi open-source, mengingatkan bahwa kolonialisme digital kini menjadi kenyataan di Indonesia.
Tapi ia menyamakan fenomena ini dengan Indonesia yang “dijajah” oleh Jepang melalui dominasi merek-merek mobil dan sepeda motor Jepang.
“Kita sangat bergantung pada mereka karena kita tidak punya kapasitas,” kata Onno, yang juga wakil rektor Institut Teknologi Tangerang Selatan.
BenarNews dan Radio Free Asia berkolaborasi dalam laporan khusus ini.