Dewan kehormatan pemilu sanksi KPU karena terima pendaftaran cawapres Gibran
2024.02.05
Jakarta
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu pada Senin (5/2) memberi peringatan keras kepada ketua Komisi Pemilihan Umum atas tuduhan melanggar etika saat menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pasca putusan Mahkamah Konstitusi mengenai batas usia pencalonan kandidat Pilpres, padahal saat itu KPU belum merevisi peraturan terkait.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan walaupun tindakan KPU menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah konstitusional, ada hal yang melanggar tata kelola administrasi tahapan pemilu.
"Menjatuhkan sanksi ‘peringatan keras terakhir’ kepada Hasyim Asy'ari selaku teradu satu, selaku ketua merangkap anggota Komisi Pemilihan Umum berlaku sejak keputusan ini dibacakan," ujar Ketua DKPP Heddy Lugito saat membacakan putusan yang disiarkan secara langsung dalam kanal YouTube lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik pemilu itu.
Sebelumnya tujuh anggota KPU diadukan ke DKPP dengan tuduhan pelanggaran etika karena menerima pendaftaran Gibran sebagai bakal calon wakil presiden, padahal KPU belum merevisi Peraturan No 19/2023, khususnya tentang batas usia para calon. Keenam anggota KPU lainnya mendapatkan sanksi “peringatan keras”.
Kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menyatakan bahwa putusan DKPP tidak akan mempengaruhi pencalonan pasangan mereka dalam pemilu 14 Februari.
Wali Kota Solo, Gibran Rakaguming Raka (36), yang adalah putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo bisa menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo setelah MK yang saat itu diketuai oleh ipar Jokowi mengubah persyaratan umur minimal calon presiden/wakil presiden yang tadinya 40 tahun ke bisa di bawah itu asal kandidat pernah menjabat sebagai anggota legislatif atau pejabat di daerah.
DKPP mengatakan KPU seharusnya segera melakukan konsultasi dengan DPR dan pemerintah setelah Putusan MK pada 16 Oktober 2023 itu, karena mereka hanya bisa mengeluarkan aturan setelah ada rapat dengar pendapat.
Mereka justru baru mengajukan konsultasi ke DPR pada 23 Oktober 2023, tujuh hari setelah pembacaan putusan.
Anggota DKPP, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, saat membacakan putusan mengatakan alasan KPU terkait keterlambatan permohonan konsultasi dengan DPR dan pemerintah setelah putusan MK yaitu sedang masa reses "tidak tepat".
Salah seorang pengadu, yaitu Sunan Diantoro mengatakan naiknya Gibran menjadi cawapres mengakibatkan beberapa lembaga negara rusak dan orang-orang di dalamnya dinyatakan melanggar etik, seperti MK dan KPU.
Patra M. Zen, pengacara yang mendampingi para pengadu ini menyatakan seharusnya Ketua KPU dijatuhi sanksi pemecatan karena sebelumnya pernah dijatuhi sanksi serupa pada April 2023.
”Kalau hari ini diberi peringatan yang sama, besok KPU curang melanggar kode etik lagi, maka peringatan keras lagi. …. Jadi, kami sampaikan semestinya putusan khusus terhadap Ketua KPU adalah peringatan keras terakhir dan pemberhentian,” ujarnya dalam video pernyataan yang disebarkan pada wartawan.
TPN: Pencalonan Prabowo-Gibran tetap sah
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo –Gibran, Habiburokhman menyatakan bahwa pencalonan pasangan tersebut tidak terpengaruh putusan DKPP.
“Perkara ini dan putusan DKPP ini tidak menyebut pendaftaran Prabowo-Gibran menjadi tidak sah. Bahkan… DKPP menilai KPU sudah menjalankan tugas konstitusional,” ujar dia.
Menurutnya pasangan Prabowo-Gibran tetap sah, karena keputusan itu hanya bersifat teknis.
“Saya garis bawahi, teknis pendaftaran. Komisioner KPU sebagaimana kami pahami saat ini, dikenakan sanksi karena dianggap melakukan kesalahan teknis, bukan kesalahan yang substantif,” kata Habiburokhman.
"Justru kalau tidak diberikan kesempatan Prabowo-Gibran mendaftar, maka bisa saja Bawaslu melanggar hak konstitusi, dan bisa saja terkena hukuman berat kalau menolak pendaftaran Prabowo-Gibran," ujar dia.
Gerakan kampus berpotensi turunkan suara Prabowo-Gibran
Sanksi DKPP ini terjadi di tengah arus protes dari beberapa perguruan tinggi yang mengkritik Presiden Jokowi karena dianggap telah menyimpang dari demokrasi dengan berpihak pada kubu Prabowo-Gibran, pasangan calon (paslon) yang dalam sejumlah survei berada pada tempat teratas dibandingkan dengan paslon Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar yang berada di posisi kedua dengan presentase sedikit di atas Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Akademisi dari sejumlah di Indonesia mengkritik Jokowi yang dinilai tidak netral dan menyoroti memudarkan demokrasi di era pemerintahnya tak lama setelah presiden yang akan mengakhiri jabatannya pada Oktober itu menyatakan dirinya boleh berpihak dan berkampanye mendukung pasangan tertentu dalam pemilu. Jokowi sendiri tidak pernah mengatakan pihak mana yang didukungnya, namun sejumlah tindakannya memperlihatkan keberpihakan pada pasangan Prabowo-Gibran.
Menurut pengamat, aksi protes para akademisi dari sejumlah perguruan tinggi seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu, berpotensi menurunkan suara pasangan Prabowo-Gibran.
“Ada kemungkinan ini dapat menggerus suara Prabowo dan Gibran secara elektoral,” jelas Pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Firman Noor, kepada BenarNews.
Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, menilai banyaknya kritikan ini harusnya menjadi pengingat bagi Presiden untuk mengembalikan demokrasi yang sehat.
“Gerakan moral harusnya menjadi pengingat untuk Jokowi dan penyelenggara negara agar kembali pada kepentingan bersama agar tidak ke luar batas dan menjalankan demokrasi sesuai jalur," ucap Ujang kepada BenarNews.
Direktur Eksekutif Indonesian Political Opinion, Dedi Kurnia Sya, mengatakan Jokowi tidak dapat menggunakan hak politiknya sebagai alasan untuk terlibat dalam kampanye, mengingat posisinya sebagai Presiden memberinya pengaruh yang signifikan terhadap penyelenggara pemilu.
"Ia seharusnya mundur dari jabatan Presiden jika ingin kampanyekan Gibran," ujarnya.