Ditentang, Aturan Larangan Minuman Beralkohol
2016.04.08
Jakarta
Rico memacu sepeda motornya ke kawasan Tomang, Jakarta Barat. Ketika sampai di sebuah toko kelontong, dia mengantri bersama beberapa anak muda lain.
“Sebotol ya,” ujar Rico, begitu nama samarannya, sambil menyodor selembar uang Rp20.000 kepada penjaga toko pada dinihari itu.
Transaksi mereka berlangsung bukan di dalam toko, melainkan melalui celah-celah pintu pagar toko yang tertutup.
Tak lama, penjaga toko menyodorkan barang yang diminta Rico dalam kemasan botol air mineral 600 ml. Kembali ke rumahnya, Rico mencampur cairan arak literan dengan minuman ringan.
Rico memilih membeli minuman oplosan itu karena jauh lebih murah daripada yang diproduksi pabrik minuman alkohol resmi. Arak literan juga mudah dioplos dengan minuman ringan atau sari buah.
“Ada dua jenis minuman oplosan, yang berbahaya dan tidak. Pastinya saya beli yang tidak berbahaya. Biasanya saya beli di warung atau tukang jamu. Sangat mudah,” tukas pria 27 tahun yang berprofesi sebagai seniman kepada BeritaBenar.
Kebiasaannya membeli minuman beralkohol di tempat tersebut berlanjut, terutama jika dia sedang tak memiliki cukup uang untuk membeli produk legal di supermarket.
Belum lagi kebijakan pemerintah yang melarang penjualan minuman beralkohol di minimarket, terutama di Jakarta dan sekitarnya.
Pada April 2015 pemerintah pusat menjalankan aturan pelarangan penjualan minuman beralkohol dengan alasan untuk melindungi anak bangsa dari keterpurukan.
Namun pada September tahun yang sama, setelah menuai protes dari sejumlah wilayah di Indonesia khususnya yang menjadi daerah tujuan wisata asing, pemerintah memutuskan untuk melonggarkan aturan itu dengan memberikan kewenangan pada pemerintah daerah untuk mengaturnya.
Pertentangan di DPR soal RUU
Sejak pertengahan tahun lalu dua fraksi di DPR, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menggagas Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol. Sampai saat ini proses pembahasan RUU itu masih berlangsung.
Beberapa pasal dalam rancangan itu secara tegas melarang peredaran minuman beralkohol. Pada Bab I Pasal 2 misalnya, menyebutkan larangan minuman beralkohol berasaskan perlindungan, kepastian hukum, keberlanjutan, dan keterpaduan.
Pasal 3 di bab yang sama mengatakan tujuan larangan minuman beralkohol dengan tujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol, serta menciptakan ketertiban dan ketentraman di masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh peminum minuman beralkohol.
Lalu Bab III Pasal 5 menegaskan setiap orang dilarang memproduksi minuman beralkohol (minol) yang kategorinya telah ditetapkan, minuman beralkohol tradisional, serta minuman beralkohol campuran dan racikan.
Kemudian Pasal 6 bab tersebut menegaskan setiap orang dilarang memasukkan, menyimpan, mengedarkan dan/atau menjual minol seluruh jenis dan Pasal 7 setiap orang dilarang mengonsumsi seluruh jenis minol.
Tapi, tentangan terhadap draf itu juga datang dari dalam tubuh DPR. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Subagyo mengatakan produksi dan pelarangan minuman beralkohol tidak boleh dibatasi secara penuh.
“Yang jelas kami akan lakukan penyesuaian, karena regulasi harus dinamis. Jangan sampai memperburuk iklim investasi dan mematikan industri minuman di tanah air. Tidak bisa memaksakan pelarangan sepenuhnya,” kata Firman seperti dikutip CNN Indonesia.
Seorang pedagang menjajakan bir di pantai Kuta dekat Denpasar, Bali, 16 April 2016. (AFP)
Kebijakan kontraproduktif
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies, Rofi Uddarojat yang mengkaji RUU itu menyebutkan, ada kaitan antara meningkatnya jumlah korban akibat mengonsumsi minuman keras ilegal dengan kebijakan yang tidak mendukung.
“Konsumen alkohol memang ada, tapi suplainya makin lama makin terbatas karena hambatan-hambatan yang diciptakan dari level kebijakan, baik pelarangan lokal dan parsial, sehingga masyarakat sulit mendapatkan minuman alkohol resmi,” ujar Rofi kepada BeritaBenar.
Sulitnya akses mendapatkan minuman beralkohol legal justru mendorong terjadinya pergeseran konsumsi dari minuman legal ke yang ilegal dan bahkan berbahaya bagi kesehatan.
“Ini menyebabkan meningkatnya jumlah korban, mulai dari keracunan hingga yang menimbulkan kematian,” tambah Rofi.
CIPS mencatat terjadi peningkatan signifikan jumlah korban meninggal dunia akibat minuman keras ilegal. Sejak 2012, korban meninggal dunia mencapai 380-an orang di seluruh Indonesia.
Peredaran minuman ilegal juga karena tingginya pajak yang dibebankan pemerintah, yakni mencapai 150 persen sejak tahun lalu. Sejak 2010 cukai minuman beralkohol tercatat naik secara gradual hingga hampir 300 persen.
“Tentu saja pajak ini dibebankan ke konsumen, sehingga harganya sangat mahal,” tegasnya.
Sebenarnya menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah konsumsi alkohol di Indonesia hanya 0,6 liter per kapita tahun2014. Itu pun yang didominasi minuman ilegal, yakni 0,5 liter per kapita.
Menurut Rofi, jumlah itu masih sangat minim dibandingkan Malaysia dan Vietnam, yang berada pada kisaran 1-4 liter per kapita. Negara-negara Eropa jauh lebih tinggi lagi, yakni 20 liter per tahun.
Rofi memprediksi jika RUU itu disahkan, dampaknya akan semakin parah. “Jika lolos, secara tidak langsung mendorong industri alkohol ke pasar gelap atau bisnis bawah tanah. Ini akan lebih sulit dikontrol pemerintah. Para penyelundup semakin besar karena permintaan orang untuk mengonsumsi alkohol tidak akan hilang,” pungkasnya.
Respons yang sama datang dari Rico terhadap usulan RUU itu menjadi salah satu prioritas dalam Program Legislasi Nasional tahun ini
“Saya pribadi kurang setuju. Karena semakin dilarang, semakin banyak pedagang minuman beralkohol ilegal dan makin marak minuman oplosan,” ujarnya.