Disinformasi politik kelompok radikal banjiri media sosial Indonesia menjelang pemilu
2024.01.03
Klaten, Jawa Tengah
Disinformasi politik membanjiri media sosial selama beberapa bulan terakhir, menjelang pemilihan umum pada 14 Februari, ungkap sejumlah pakar.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkapkan ada 526 sebaran hoaks yang berkaitan dengan pemilu sejak 19 Januari 2022 hingga 27 Oktober 2023 yang tersebar di Facebook, Twitter, Instagram, TikTok, SnackVideo dan YouTube.
Dari jumlah tersebut, menurut laman kementerian, sebanyak 378 sudah dihapus, sedangkan 148 sisanya sedang ditindaklanjuti.
Aktivis media dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Inggried Dwi Wedhaswary mengatakan manipulasi yang terjadi dalam pemilu tidak hanya berkaitan dengan elektoral tetapi juga trik untuk mempengaruhi pemilih melalui penyebaran disinformasi.
Peneliti dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), Adhe Bhakti, mengatakan bahwa ada kecenderungan dari kelompok Jamaah Islamiyah (JI) untuk ikut masuk dalam kancah politik di Indonesia.
Ini terbukti, kata Adhe, dengan penangkapan 19 anggota JI dari total 59 orang jaringan kelompok Abu Oemar oleh Detasemen Khusus Anti Teror 88 pada 2023.
Kelompok Abu Oemar ditangkap karena diduga mencoba mengacaukan suasana menjelang pemilihan presiden di Indonesia, kata Adhe.
“Mereka pun juga mencoba masuk ke pemerintahan melalui partai politik. Meski untungnya partai mereka tidak lolos, ini menunjukkan strategi mereka sudah berubah,” ujar Adhe.
“Untuk mewujudkan tujuan politik mereka, maka bagaimanapun caranya mereka harus terjun dalam politik.”
Pada November 2021, Densus 88 menangkap tiga anggota JI pimpinan Para Wijayanto, yaitu Farid Okbah yang merupakan Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia, Ahmad Zain An Najah anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, dan Anung Al Hamad pendiri LBH Perisai Nusantara Esa.
Disinformasi di medsos
Sebuah akun Instagram @wienamakhanza, yang merupakan pengikut akun Salafi @onewaymuslim, memposting foto hitam putih salah seorang calon wakil presiden Mahfud MD, dengan tulisan “KUHP baru tak larang LGBT, Mahfud: Itu kodrat tidak bisa dilarang”.
Postingan dengan isu yang sama dibagikan juga di beberapa grup WhatsApp dan Telegram tertutup milik kelompok teroris.
Selain itu, ada juga narasi bahwa calon presiden Anies Bawedan menolak khilafah yang menampilkan potongan wawancaranya dengan Metro TV di masa lalu.
Ada juga postingan berisikan pernyataan calon presiden Ganjar Pranowo bahwa dirinya suka menonton film porno sejak kecil, yang dilengkapi foto yang bersangkutan di sebuah acara podcast artis ternama.
Pengamat Terorisme Universitas Malikussaleh, Al Chaidar, mengatakan bahwa sejak dulu kelompok Salafi Jihadi dan Salafi Takfiri tidak pernah mau berpartisipasi secara langsung dalam pemilu.
Menurut Al Chaidar, mereka ikut menyebarkan meme, baik di grup mereka yang tertutup dan terbatas atau di media sosial yang bersifat terbuka.
Ini berbeda dengan Jamaah Islamiyah, kata dia, yang lebih terbuka dan menyebarkan meme di media sosial kelompok mereka.
“Mereka ini sepertinya tidak memproduksi (konten) sendiri. Mereka hanya ikut menyebarkan, jadi mereka pun sebenarnya adalah korban juga dari disinformasi dan misinformasi,” kata Al Chaidar.
“Awalnya, mereka hanya membenci seorang calon presiden karena suka menonton film porno. Mereka tidak membenci calon wakil presidennya sampai muncul pernyataan tentang LGBT itu,” kata Al Chaidar.
Kelompok teroris yang berbaiat pada Islamic State of Iraq and Syria konsisten tidak mau terjun ke politik, kata Al Chaidar.
Akan tetapi, kata dia, mereka tetap ingin menunggangi pemilihan umum untuk memuluskan agenda politik mereka mewujudkan negara khilafah, dengan melakukan provokasi di media sosial yang mengarah pada kekerasan dan merencanakan serangan-serangan.
Sopar Peranto, peneliti dari Habibie Center, mengatakan bahwa kecil kemungkinan kelompok yang berbaiat pada ISIS ikut mencoblos ataupun menjadi simpatisan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.
“Yang terjadi, mereka melakukan provokasi dan turut menggiring opini masyarakat sehingga tercipta kegaduhan,” ujarnya.
Kegaduhan yang dimaksud Sopar di antaranya adalah terjadinya konflik di masyarakat.
Husen Asyhari, analis Pelataran Mataram, sebuah lembaga riset teknologi dan informasi yang berbasis di Yogyakarta, mengatakan bahwa dia melihat kelompok teroris inti masih tetap konsisten untuk tidak mendukung pemerintahan demokrasi.
Mereka memanfaatkan momentum pemilu dan isu-isu yang muncul untuk propaganda mereka, kata Husen.
“Kita mengidentifikasinya dengan teroris, radikal dan intoleran,” ujar Husen.
Ujaran kebencian terhadap LGBTQI+
Arisdo Gonzales, aktivis LGBTQI+ (Lesbian, Gay Bisexual, Transgender, Queer and Intersex), mengatakan bahwa sejak pengumuman nama calon presiden dan calon wakil presiden, dia dan rekan-rekannya semakin banyak menerima ujaran kebencian.
Narasi terbanyak yang banyak dia terima adalah tentang adanya salah satu pasangan capres yang akan memburu kaum LGBT sampai habis.
“Entah dari kelompok mana, tetapi ini banyak sekali di TikTok, cukup ketik kata kunci "LGBT", nanti akan keluar semua termasuk soal pernyataan LGBT adalah kodrat dan juga ada yang akan memburu LGBT sampai habis,” ujar Aris.
Dampak dari munculnya narasi tersebut, menurut Aris, bisa diperkirakan dengan komentar-komentar di media sosial yang memojokkan komunitas LGBTQI+.
“Semakin menambah kecemasan dan kekhawatiran ya kalau secara pribadi. Kalau secara umum seperti pembatasan hak-hak di fasilitas umum, tidak ada. Karena memang serangan atau ujaran kebencian menyasarnya ke personal,” ujar Aris.
Mafindo klarifikasi
Laman turnbackhoax.id milik Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) sudah mengklarifikasi beberapa postingan terkait meme yang banyak dibagikan, termasuk oleh kelompok radikal tadi.
Di antaranya, tentang Ganjar yang dikesankan sudah menonton film porno sejak kecil. Pernyataan yang asli adalah, ”Kalau saya menonton film porno, salah saya di mana?” dan tidak ada keterangan apa pun yang menyebut dia sudah menonton film porno sejak kecil.
Sementara tentang pernyataan Mahfud MD bahwa LGBT adalah kodrat Tuhan, diklarifikasi sendiri oleh Mahfud bahwa dia tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu.
Menurutnya, pernyataan tersebut merupakan argumentasi Dewan Perwakilan Rakyat dalam proses perancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru.
Direktur Pencegahan yang sekaligus juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris mengatakan bahwa pihak berwenang selalu melakukan pengawasan terhadap pergerakan kelompok terorisme, termasuk di media sosial yang memenuhi ciri dan kategori sebagai media sosial radikal.
BNPT memiliki tugas dan fungsi sebagai koordinator dalam berbagai upaya pencegahan paham radikal dengan kementerian dan lembaga terkait serta segenap elemen masyarakat.
“Dalam media sosial, konten radikalisme memiliki ciri-ciri yang meliputi tiga hal, yaitu mengajarkan puritanisme, anti pada sistem negara, serta intoleransi SARA (Suku Agama Ras dan Antar golongan),” ujar Irfan.