Dikecam, Pembubaran Paksa Acara AJI Yogyakarta
2016.05.04
Yogyakarta
Sejumlah kalangan mengecam keras tindakan polisi yang membubarkan acara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta ketika memperingati World Press Freedom Day dengan memutar film dokumenter “Buru Tanah Air Beta”, Selasa malam, 3 Mei 2016.
Achmad Fanani Rosyidi, peneliti Setara Institute, menyatakan tindakan Kepala Bagian Operasional Polresta Yogyakarta Kompol Sigit Haryadi yang memimpin pembubaran itu terkesan kasar, intimidatif, dan tanpa surat resmi.
"Peristiwa ini adalah tindakan (aparat) negara mengekang kebebasan berekspresi dan mendiskriminasi kelompok tertentu dengan stigma negatif PKI," ujarnya dalam siaran pers, Rabu.
Ia menambahkan sebagai aparat penegak hukum, seharusnya polisi menjaga dan melindungi hak kebebasan berekspresi setiap warga negara. Tetapi, kepolisian justru memimpin pembubaran, tunduk pada kehendak kelompok intoleran.
Kecaman juga dilontarkan Ketua AJI Jakarta, Ahmad Nurhasim, dan Ketua AJI Banda Aceh, Adi Warsidi, dalam pernyataan terpisah yang diterima BeritaBenar. Mereka menilai tindakan polisi itu sebagai bentuk yang belum dapat menerima perbedaan.
“Kami mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menegur dan memberikan peringatan keras pada polisi yang berperilaku intoleran dan menghambat kebebasan berekspresi,” tegas Adi.
Ahmad menambahkan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat dijamin undang-undang. Ketua AJI Jakarta itu juga menyebutkan, hak memperoleh informasi dan menyebarluaskan informasi atau berekspres adalah hak konstitusi warga negara.
“Polisi tidak menegakkan hukum tapi justru tunduk kepada kelompok intoleran dan anti-kebebasan. Tindakan polisi tidak bisa dibiarkan. Polisi gagal menciptakan rasa
aman di Yogyakarta,” ujarnya.
Setara Institute mencatat selama pemerintahan Jokowi, ada 13 kasus pengekangan kebebasan berekspresi dan 17 tindakan ancaman, pelarangan diskusi, pembubaran paksa, pengusiran, serta pelarangan pertemuan.
Sedangkan, Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII) Eko Riyadi menilai apa yang terjadi di Sekretariat AJI Yogyakarta adalah kejahatan hak asasi manusia (HAM).
"Kejadian seperti ini semakin banyak terjadi, kenapa Yogyakarta menjadi intoleran seperti ini," ujar Eko seraya berharap Pemerintah DIY segera mencarikan solusi agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.
Tetapi Kompol Sigit Hariyanto mengatakan bahwa acara itu dibubarkan karena dapat berpotensi menimbulkan konflik. "Kami membubarkan acara ini karena ada potensi ancaman konflik dari luar," katanya.
Menurut dia, konflik tersebut dipicu karena ada pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta”.
"Ada ormas yang akan datang. Kami tidak mau ada konflik. Kami tidak akan tanggung jawab kalau terjadi apa-apa," ujar Sigit.
Negosiasi alot
Anggota Majelis Etik AJI Yogyakarta, Bambang Muryanto mengatakan awalnya polisi mendatangi Sekretariat AJI Yogyakarta sekitar pukul 17.00 WIB Selasa ketika panitia sedang mempersiapkan acara. Mereka menanyakan izin acara tersebut.
"Terjadi negosiasi alot hingga malam hari. Mereka ingin filmnya diganti, tentu saja tidak bisa (sebab) kalau diganti esensi kebebasan pers akan hilang," ujar Bambang kepada BeritaBenar, Rabu.
Tak berapa lama, datang 30an anggota Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI/Polri (FKPPI) yang ditemani Forum Anti Komunis Indonesia (FAKI) yang meminta agar acara dibubarkan. Mereka mengeluarkan kata-kata kasar kepada AJI Yogyakarta.
Kepada massa, ketua AJI Yogyakarta Anang Zakaria Anang mengatakan bahwa acara itu sudah berizin. Malah AJI Yogyakarta telah menyerahkan undangan untuk Kapolda DIY dan Kapolresta Yogyakarta untuk ikut hadir.
Tapi, jelas Anang, bagi pihak Kepolisian undangan berbeda dengan pemberitahuan. Sehingga acara yang mengundang sekitar seratusan wartawan dan tokoh masyarakat sipil tersebut dianggap tidak ada izin dan harus dibubarkan.
"Kami bahkan mendapatkan ancaman dari beberapa pihak," ujar Anang.
Salah satu ancaman adalah mereka diminta tak memperpanjang kontrak Sekretariat AJI Yogyakarta. Kelompok itu juga diminta warga untuk tidak mendatangi Sekretariat AJI Yogyakarta.
Dari negosiasi tersebut diketahui bahwa alasan polisi membubarkan acara itu untuk melarang pemutaran film yang bercerita tentang perjalanan seorang bekas tahanan politik Hersri Setiawan ke Pulau Buru, tempat dia dibuang Pemerintahan Orde Baru.
Musuh kebebasan pers
AJI Indonesia dalam pernyataannya dalam rangka peringatan World Press Freedom Day, kembali mengingatkan berbagai kasus kekerasan terhadap jurnalis. Selama Mei 2015 hingga April 2016, terjadi 39 kasus kekerasan pada jurnalis dalam berbagai bentuk seperti pengusiran, pengrusakan alat, hingga kekerasan fisik.
“Polisi yang seharusnya melindungi kerja jurnalistik yang dilindungi UU Pers, justru menempati urutan kedua pelaku kekerasan,” tutur Ketua Bidang Advokasi, Iman D. Nugroho.
“Sejak AJI Indonesia menganugerahkan polisi sebagai musuh kebebasan pers tahun 2015 lalu, hingga kini belum tampak ada perubahan. Polisi gagal mereformasi diri sebagai pelayan dan pengayom publik,” tambahnya.
Kepolisian juga mendapat sorotan AJI dalam kurun waktu 2015-2016 karena gagal melindungi hak warga negara dalam menyampaikan pendapat atau berekspresi.
“Sejumlah kasus pembubaran diskusi, pemutaran film, dan penyampaian eskpresi lainnya oleh kelompok intoleran terkesan ada pembiaran,” tandas Iman.