Dikecam, Kebijakan Ijinkan Pengusaha Beli Vaksin Pemerintah

Vaksin mandiri dikhawatirkan mengambil jatah vaksin yang jumlahnya terbatas dan untuk kelompok prioritas.
Tia Asmara
2021.02.19
Jakarta
Dikecam, Kebijakan Ijinkan Pengusaha Beli Vaksin Pemerintah Petugas melakukan vaksinasi COVID-19 di Pasar Tanah Abang di Jakarta, 17 Februari 2021.
AFP

Pakar kesehatan mengkritik keputusan pemerintah mengizinkan pengusaha membeli vaksin melalui pemerintah untuk diberikan kepada karyawan dan keluarga, karena hal itu ditakutkan akan mengambil jatah untuk masyarakat umum di tengah terbatasnya stok.

Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono mengatakan permintaan pihak swasta untuk bisa mengakses vaksin dengan jalur mandiri atau berbayar sendiri merupakan tindakan sangat egois di tengah stok yang terbatas.

"Ada kemungkinan stok yang tadinya diperuntukkan untuk para lanjut usia dan masyarakat umum dipakai terlebih dahulu karena (pengusaha) tidak mau sabar menunggu," ujar Pandu kepada BenarNews.

Menurut Pandu, pengusaha tidak memiliki kesempatan untuk langsung membeli dari produsen vaksin meskipun memiliki uang yang banyak, karena hanya pemerintah yang bisa mendatangkan vaksin.

"Kenapa sih mereka tidak mau antri, pengusaha kan juga masyarakat dan semua masyarakat akan mendapat giliran untuk divaksinasi sesuai antrian prioritas yang ada. Sabar!" ujar dia.

"Bukan berarti pengusaha banyak uang terus mereka mendapatkan hak khusus kan. Ini vaksin yang stoknya terbatas, bukan beli cabe rawit," tambahnya.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo Rabu (17/2) mengatakan bahwa program vaksinasi mandiri melibatkan swasta akan dilaksanakan selambatnya awal bulan depan, dengan harapan herd immunity atau imunitas kelompok akan lebih cepat terwujud.

Vaksinasi mandiri juga akan mengurangi beban APBN.

“Mudah-mudahan, akhir Februari atau selambatnya awal Maret 2021, vaksinasi mandiri sudah bisa dilaksanakan,” kata Jokowi dalam diskusi dengan sejumlah pemimpin redaksi media nasional di Istana Negara.

"Vaksinasi mandiri dilaksanakan oleh rumah sakit yang tidak ditunjuk melakukan vaksinasi gratis,” ujar Jokowi.

Sebelumnya, pengusaha meminta pemerintah menyediakan vaksin untuk mereka yang akan dibagikan kepada para karyawan perusahaan swasta dan keluarganya dengan harapan produktivitas akan kembali meningkat.

Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Rosan Roeslani mengatakan pihaknya tengah menggodok rencana rinci ini dan diperkirakan akan rampung pada akhir Februari. Rosan mengatakan program ini telah dikoordinasikan kepada para pelaku usaha.

Ia mengklaim vaksin yang akan dipakai bukanlah vaksin Sinovac melainkan vaksin merek lain.

"Antusiasme swasta dari berbagai sektor sangat tinggi khususnya sektor perbankan, manufaktur, tekstil dan logistik," ujar Rosan dalam keterangan tertulis awal Februari lalu.

Menurutnya, lebih efisien bagi pengusaha untuk menggelontorkan uang demi vaksinasi daripada tes antigen atau tes reaksi rantai polimerase (PCR).

Menurut pakar epidemiologi dari Griffith University, Dicky Budiman, daripada mengambil jatah vaksin yang terbatas tersebut, pihak swasta bisa membantu dengan memberikan solusi bagi kendala yang dihadapi pemerintah.

"Bagaimana caranya agar target pengendalian bisa cepat tuntas seperti menyumbangkan alat tes antigen dan pelacakan dengan metode online misalnya," ujar Dicky kepada BenarNews.

Menurutnya, yang menjadi target prioritas juga merupakan bagian dari karyawan swasta, seperti lansia, karyawan komorbid dan pekerja kesehatan.

"Swasta juga masyarakat. Kalau memang mau vaksin mandiri sebaiknya menunggu apabila semua prioritas dan target sudah selesai semua. Prioritas harus didahulukan," ujarnya.

Ia mengatakan vaksin mandiri dikhawatirkan akan menimbulkan diskriminasi dan kesenjangan antara vaksin kelas 1 dan kelas 2.

"Misalnya yang bayar dapat vaksin yang efikasi-nya lebih bagus, atau yang usia produktif malahan yang dapat terlebih dahulu. Ini kan tidak adil," kata dia.

"Hal  ini akan merusak tatanan dari program vaksin yang sedang digagas," ujarnya.

Dari total 3 juta dosis vaksin jadi COVID-19 dari Sinovac yang sudah tiba sejak Desember lalu, hanya sekitar 1,2 juta dosis yang telah didistribusikan ke berbagai daerah.

Indonesia sendiri telah berkomitmen mendatangkan lebih dari 400 juta dosis vaksin, termasuk rencana 125 juta vaksin dari Sinovac dan sisanya dari produsen vaksin lainnya seperti Pfizer, Moderna dan AstraZeneca.

Indonesia dengan populasi 270 juta penduduk saat ini menduduki peringkat pertama jumlah kematian dan angka terinfeksi di negara Asia Tenggara. Berdasarkan laporan Satgas COVID-19 per hari ini (19/2), tercatat total 1.263.299 angka terinfeksi, termasuk 34.152 total angka kematian.

Tidak realistis

Pemerintah sendiri menargetkan akan selesai memvaksinasi 181,5 juta penduduk Indonesia dalam waktu setahun ke depan.

Menurut Dicky, target tersebut akan sangat sulit dicapai dan sangat tidak realistis karena tingkat vaksinasi di Indonesia masih sangat rendah. "Kita harus betul-betul menempatkan target cermat dan tidak  over confident supaya masyarakat juga tidak tidak terlalu berharap," ujarnya.

"Kecuali pemerintah lakukan terobosan yang sangat baik di kemudian hari yaitu mencetak vaksinator dalam jumlah banyak dan mendapatkan stok vaksin," ujarnya.

Ia mengatakan dengan vaksinasi rate sekitar 50 ribu orang per hari dan jumlah vaksinator yang terbatas dengan capaian 1 persen penduduk Indonesia yang di vaksin dalam 30 hari.

"Sehingga 1 tahun baru mencapai 12 persen penduduk yang divaksin. Tiga tahun saja mungkin tidak cukup dalam memvaksin," tambahnya.

"Vaksinasi ini suplainya bergantung pada produk dari luar negeri, dan tidak semua dari Sinovac, dan ada kendala teknis operasional," paparnya.

Program vaksinasi yang dimulai bulan Januari sejauh ini telah menjangkau 1,15 juta pekerja medis, mendekati target 1,4 juta pekerja medis yang masuk dalam prioritas.

Sementara tahap kedua direncanakan akan menyasar 38,5 juta orang yang terdiri dari lansia, pekerja publik dan kaum rentan yang diharapkan akan selesai pada Mei 2021.

Pandu Riono menilai rencana yang digagas pemerintah ini tidak mungkin tercapai tepat waktu karena Indonesia memiliki penduduk yang banyak sementara stok vaksin masih sangat terbatas.

"Saat ini stok tidak ada atau belum ada karena masih di produksi Bio Farma atau belum tersedia. Pasti akan mundur lagi jadwalnya," ujar Pandu.

"Distribusi juga apakah lancar atau tidak, ada kulkas yang buat simpen atau tidak? Program vaksinasi ini sangat kompleks dan perlu manajemen perencanaan yang berlanjut," tambahnya.

Menurut dia, pemerintah harus jelas dalam membuat tujuan memvaksinasi masyarakat yaitu mengendalikan pandemi dan bukan pemulihan ekonomi.

"Janganlah terpecah tujuan menjadi dua, tidak akan bisa terjadi keseimbangan antara ekonomi dan pengendalian pandemi,” tegas Pandu, “begitu pandemi diatasi maka ekonomi akan tumbuh. Lockdown itu alasannya mengatasi pandemi,” pungkasnya.

Sanksi denda

Presiden Jokowi telah menandatangani Perpres Nomor 14 tahun 2021 tentang pengadaan vaksin dalam rangka penanggulangan pandemi COVID-19 yang ditandatangani pada 9 Februari.

Di dalamnya, diatur sanksi administratif bagi mereka yang menolak divaksin COVID-19 berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan.

Denda pengenaan sanksi administratif tersebut dilakukan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah atau badan sesuai kewenangannya. Besarannya relatif, dengan denda maksimal Rp5 juta.

Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan pemerintah melakukan pendekatan humanis dan persuasif dalam menangani pandemi, termasuk dalam vaksinasi.

"Kerelaan 181 juta masyarakat yang akan divaksin lebih diutamakan daripada sanksi administratif dan sanksi pidana yang ada di dalam perpres tersebut," paparnya.

"Pemerintah yakin vaksinasi akan berhasil dan tuntas," tegas Fadjroel.

Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito pada keterangan pers Kamis (18/2) mengatakan, sanksi administratif kepada masyarakat yang menolak vaksinasi belum dibutuhkan.

Menurut Wiku, pemerintah lebih mengutamakan upaya persuasif untuk mengajak warga ikut vaksinasi.

"Perlu diingat bahwa peraturan (sanksi) ini adalah opsi terakhir jika langkah persuasif tidak efektif dan menghambat secara signifikan rencana operasional vaksinasi yang mengancam pembentukan kekebalan komunitas," ujar Wiku.

Menurut Dicky Budiman, sanksi sebaiknya tidak perlu dilakukan karena akan menimbulkan polemik baru di tengah masyarakat. "Prinsip vaksinasi itu adalah sukarela tidak bisa dipaksakan dan tidak mewajibkan," ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.