Deradikalisasi Melibatkan Mantan Teroris
2016.06.29
Jakarta
Pemerintah sedang merancang program deradikalisasi bersama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang akan dibawa ke daerah-daerah.
"Program itu sudah berjalan sekarang dan akan kita laksanakan bersama, karena kami sadar ini bukan pekerjaan satu orang, tapi pekerjaan bersama," kata Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan usai menghadiri tausiyah Ramadhan di Masjid Al Fataa, Jakarta Pusat, Selasa malam, 28 Juni 2016.
Menurut dia, program yang berada di bawah koordinasi Kemenko Polhukam dijalankan BNPT dengan melibatkan LSM, PBNU dan juga PP Muhammadyah.
"Kita tidak mau Indonesia seperti Syria (Suriah) yang perang terus, tidak ada damainya. Indonesia harus damai, tidak rusuh, " tegas Luhut.
Seperti diketahui bahwa saat ini terdapat ratusan warga Indonesia yang bergabung dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Mereka diyakini sebagai ancaman nyata apabila sudah kembali ke Indonesia.
Wahid Foundation adalah salah satu LSM yang terlibat dalam program deradikalisasi. Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid mengatakan peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk membendung pengaruh radikalisme.
"Saya yakin radikalisme tidak bisa ditangkal oleh pemerintah saja, masyarakat sipil harus membantu," ujarnya.
Libatkan mantan teroris
Yenny mengatakan program-program yang mereka rancang akan melibatkan banyak mantan narapidana teroris.
"BNPT yang membantu kami berkomunikasi dengan mereka. Dari komunikasi itu tercipta kesepahaman dan mereka cukup terbuka menerima kami," ujarnya.
Luhut tidak menampik adanya keraguan dalam melibatkan mantan teroris.
"Memang tidak ada yang bisa jamin (bahwa para eks napi itu) sudah berubah. Tapi saya yakin nurani mereka akan lunak juga kalau kita jelaskan apa akibat yang terjadi (karena aksi terorisme). Mari sama-sama kita doakan agar Indonesia damai," katanya.
Yenny mengatakan pihaknya akan terus bekerjasama dengan BNPT. Salah satunya yang akan dilakukan adalah roadshow ke beberapa wilayah di Indonesia.
"Yang akan digagas dalam waktu dekat ke Ambon, lalu langsung ke Poso. Di Poso, pada September nanti, kami mengadakan peringatan Hari Perdamaian Internasional. Pada acara tersebut kami akan mengumpulkan kepala-kepala daerah," jelasnya.
Jihad yang salah
Dalam acara tausiyah Ramadhan yang diselenggarakan BNPT dan Wahid Foundation itu, panitia menghadirkan Ali Imron, pelaku Bom Bali 2002 yang menjalani hukuman seumur hidup.
Juga hadir menyampaikan pesan Ramadan Jumu Tuani, mantan narapidana terorisme yang pernah menjadi eks Panglima Operasi Pusat Komando Jihad Maluku. Dia sekarang aktif berdakwah mencegah radikalisme.
Ali Imron menceritakan pengalamannya saat terlibat pengeboman di Bali tahun 2002. "Yang saya lakukan dulu itu bukan jihad. Itu jihad yang lebih banyak mudaratnya,” kata dia.
“Kalau saya menjadi pembawa bom saat itu, saya pasti akan masuk neraka karena saya membunuh orang-orang dan bunuh diri. Saya minta tidak diulangi lagi bom seperti itu," tambah Ali yang mengawali ceramahnya dengan permintaan maaf pada seluruh rakyat Indonesia, khusus para korban bom Bali.
Sedangkan, Jumu Tuani menyatakan banyak kekeliruan terjadi dalam menerjemahkan jihad fi sabilillah. Ada aturan yang dilanggar yaitu tidak boleh membunuh wanita dan anak-anak.
Ia mencontohkan Santoso membunuh petani, wanita bahkan anak-anak. Santoso yang dimaksudkannya adalah pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang disebut-sebut sudah berafiliasi dengan ISIS.
Saat ini, 2.000 pasukan gabungan TNI dan Polri sedang memburu Santosa dan sekitar 20-an anak buahnya yang diyakini bersembunyi di hutan pegunungan Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
"Santoso direkrut pemimpin Jemaah Islamiyah tanpa dibekali ilmu perang dan tidak mengusai ilmu Jihad,” ujarnya.
“Bom Thamrin pun sama, mereka malah membunuh orang-orang yang haram untuk dibunuh," tambah Jumu, merujuk pada aksi teror pada pertengahan Januari lalu di jantung kota Jakarta tersebut.