Kapolri Persilakan Anggota Densus 88 Diproses Hukum
2016.04.12
Jakarta
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal Badrodin Haiti menyebutkan bahwa pihaknya mempersilakan anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-Teror diproses hukum bila terbukti melakukan tindak pidana dalam kematian Siyono.
"Kita di Polri sudah ada mekanisme. Ada Irwasum (Inspekturat Pengawasan Umum) yang melakukan pengawasan, ada (Divisi) Propam (Profesi dan Pengamanan) yang melakukan pemeriksaan," ujar Badrodin di Jakarta, Selasa, 12 April 2016.
Pernyataan Kapolri menyusul sehari sebelumnya Komnas HAM dan Muhammadiyah mengumumkan hasil autopsi mayat Siyono, warga Klaten yang tewas setelah tiga hari ditangkap Densus 88 karena diduga terlibat terorisme pada 8 Maret lalu.
Dari hasil autopsi diketahui bahwa Siyono tewas karena tulang di dada patah yang menembus jantung. Selain itu, Siyono dipukul dalam posisi seperti merebahkan diri di suatu tempat dan tubuhnya mengalami kerusakan.
Menurut Badrodin, Propam sedang bekerja untuk memproses dugaan pelanggaran yang dilakukan Densus. Kesimpulan jenis pelanggaran yang dilakukan Densus 88 tergantung pemeriksaan Propam.
Dia menambahkan Polri juga akan memeriksa anggota Densus yang diduga memukul Siyono untuk membuktikan temuan Komnas HAM yang menyebutkan bahwa tak ada perlawanan dari korban.
"Tapi kan ada pembelaan diri. Kita lihat misalnya ada penangkapan lalu dilawan, ini kan masuk ke pembelaan diri," ujar Badrodin sambil menyatakan dia menghargai hasil autopsi mayat Siyono.
Sanksi hukum
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond Mahesa dalam rapat dengar pendapat dengan PP Muhammadyah dan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Selasa, mempertanyakan apa sanksi yang diberikan negara kepada aparatnya jika terbukti melanggar hukum.
"Harus ada pidananya. Sampai hari ini dalam UU Kejaksaan, UU Kepolisian belum ada (sanksi). Kami selalu mengusulkan tapi selalu mendapat penolakan dari mitra-mitra Komisi III. Harus ada kewajiban negara, proses kompensasinya," ujarnya.
Ketua Bidang Hukum, HAM, Kebijakan Publik PP Muhammadyah Busyro Muqoddas meminta Komisi III untuk mempercepat proses revisi UU Terorisme.
"Salah satu pasal disebutkan (aparat mempunyai) kewenangan sampai 30 hari untuk menahan orang yang disangka terlibat (terorisme). Dalam kasus Siyono, ini hikmah luar biasa, tidak sampai satu minggu tewas dengan cara tidak wajar," ujar Busyro.
Proses revisi UU Terorisme sampai kini baru memasuki pembentukan Panitia Khusus (Pansus). Setelah Pansus terbentuk, baru dilakukan pembahasan antara pemerintah dan DPR.
Kordinator KontraS Haris Azhar mengatakan sudah waktunya ada yang mengawasi operasi penanggulangan terorisme.
"Selayaknya ada otoritas negara yang mengawasi praktik ini. Tetapi evaluasi yang dilakukan tidak akan menggugurkan upaya penanggulan terorisme," ujarnya.
‘Uang duka’
Dalam kesempatan itu, Busyro mempertanyakan kelaziman Densus 88 memberikan uang duka kepada keluaga Siyono.
"Apakah setiap keluarga yang tewas oleh Densus diberi santunan? Apakah ada aturan standarnya?" ujar mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu mempertanyakan.
Terkait masalah uang Rp100 juta yang diberikan kepada istri Siyono, Kapolri kepada wartawan mengatakan bahwa uang itu sebagai santunan pribadi dari Kepala Densus 88 Brigadir Eddy Hartono.
Desmond juga melihat bahwa pemberian uang kepada keluarga merupakan kejanggalan. Menurutnya, hal itu memperlihatkan “begitu wajah polisi sebagai penegak hukum”.
Pernah Gabung JI
Baik DPR maupun Komnas HAM tidak mengetahui kebenaran dugaan bahwa Siyono terlibat terorisme.
"Dari semua itu, pertanyaannya apakah betul Siyono itu seorang teroris? Sehingga harus ditangkap oleh Densus 88 Antiteror," kata Desmond.
Ketua Komnas HAM, Imdadun Rahmat mengatakan pihaknya tidak bisa memastikan apakah Siyono seorang teroris.
"Kami tidak bisa menjawab, yang kami bisa jawab adalah yang menyangkut Hak Asasi Manusia," tegas Imdadun.
Desmond mengharapkan Presiden Joko Widodo dapat mengambil langkah-langkah sesuai kewenangannya dalam kasus ini. Komisi III juga berencana memanggil BNPT dan Kapolri dalam minggu ini.
Sementara itu, Sofyan Tsauri yang pernah mendekam di penjara selama 10 tahun karena terlibat Jemaah Islamyah (JI) kepada BeritaBenar mengatakan Siyono pernah bergabung dengan kelompok radikal tersebut.
"Tetapi sudah lebih tiga tahun belakangan ia tidak lagi aktif dalam kegiatan-kegiatan garis keras. Dia bekerja hanya sebagai marbot (penjaga masjid)," katanya.