Saat PDIP akhirnya bergabung dengan koalisi pemerintah, demokrasi Indonesia hadapi ketidakpastian
2024.10.23
Jakarta
Sikap terbaru Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang siap mendukung pemerintahan Presiden Prabowo di DPR memicu kekhawatiran pengamat politik akan bahaya laten kehancuran demokrasi tanpa oposisi.
Langkah partai pemenang pemilu 2024 pimpinan mantan presiden Megawati Soekarnoputri tersebut menandai untuk pertama kalinya dalam sejarah demokrasi modern Indonesia bahwa tidak satu pun partai politik di luar pemerintahan, negara berjalan tanpa oposisi di DPR.
“Kami akan mendukung pemerintahan Presiden Prabowo di parlemen, tetapi kami tidak akan menempatkan anggota kami di kabinet,” kata Puan Maharani, salah seorang politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada Minggu.
Sejak Indonesia mengalami reformasi pada 1998 setelah jatuhnya pemerintahan presiden Suharto, sistem multi-partai memungkinkan partai politik memainkan peran sebagai oposisi untuk mengawasi kebijakan pemerintah.
Dalam pemilihan legislatif 14 Februari, delapan partai politik berhasil mendapatkan kursi di DPR yang terdiri dari 580 anggota, di mana PDIP memimpin dengan meraih 110 kursi. Tujuh partai lainnya mendapat kursi kabinet Prabowo yang diumumkan pada akhir pekan lalu.
“Tanpa oposisi, ada risiko nyata bahwa eksekutif akan berjalan tanpa pengawasan dan keseimbangan yang memadai,” kata Adi Prayitno, analis politik di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta.
“Ketika ada kebijakan kontroversial tidak ada yang berani kasih check and balance karena ada kecenderungan kebijakan yang tidak pro-rakyat akan lolos diundangkan jadi regulasi seperti yang sudah terjadi sebelumnya,” ujar dia kepada BenarNews, Jumat (21/10).
Prabowo, 73, mantan perwira tinggi Angkatan Darat yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia selama masa dinas militernya, dilantik sebagai presiden pada Minggu setelah meraih kemenangan telak dalam pemilihan Februari.
Prabowo menggantikan pendahulunya, Joko “Jokowi” Widodo, setelah dua kali kalah dalam kontestasi pemilihan presiden sebelumnya.
Dalam pidato pelantikannya, Prabowo menguraikan visi ambisius untuk kepemimpinannya, menggunakan retorika yang menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana oposisi akan diperlakukan.
“Kita punya kekuatan untuk memberantas kemiskinan, bahkan ketika banyak yang mengatakan ini adalah sesuatu yang tidak mungkin,” kata Prabowo.
“Untuk mewujudkan aspirasi besar ini, kita perlu semangat kebersamaan, kita perlu persatuan, kita perlu kolaborasi, bukan perselisihan yang berkepanjangan.”
Pada Agustus, Prabowo mengatakan bahwa budaya oposisi bukanlah bagian dari nilai-nilai Indonesia.
“Kultur Barat atau apa pun mungkin menerima oposisi dan konflik, tetapi itu bukan siapa kami. Kita perlu bekerja sama dan berkolaborasi,” katanya.
Bivitri Susanti, ahli hukum konstitusi di Sekolah Tinggi Hukum Jentera Indonesia, memperingatkan bahwa konsolidasi kekuasaan di tangan satu koalisi bisa membuka jalan bagi erosi norma-norma demokratis.
“Demokrasi itu kan sebenarnya tentang akuntabilitas dari pemerintah kepada warga. Tapi mekanisme maupun institusi untuk memastikan akuntabilitas itu dimatikan tapi secara legal. Contohnya adalah kita bisa lihat bagaimana DPR-nya oposisinya tidak ada,” kata Bivitri.
Indonesia telah mengalami kemunduran demokrasi dalam beberapa tahun terakhir, ujar Bivitri. Selama kepemimpinan Jokowi, para legislator mengesahkan undang-undang kontroversial yang membatasi kekuasaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kooptasi terhadap lembaga penegakan hukum tidak hanya hakim tapi juga KPK, kepolisian, kejaksaan itu juga berkelindan dengan kekuasaan terlalu kuat sehingga akhirnya mereka tidak bisa benar-benar memenuhi rasa keadilan di masyarakat secara umum,” kata Bivitri.
Bivitri menyoroti dampak negatif dari undang-undang yang membatasi kebebasan berpendapat, seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyebabkan masyarakat takut untuk bersuara.
Dia juga mengingatkan tentang pembatasan terhadap KPK, yang seharusnya berfungsi sebagai elemen penting dalam penegakan hukum dan anti-korupsi.
“Akhirnya apa saja (kebijakan) yang diinginkan oleh Jokowi...dengan dukungan koalisinya akan selalu lolos. Kemudian, suara civil society yang harusnya bisa jadi penyeimbang juga dimatikan,” kata dia.
Pada 2019, protes besar-besaran meletus sebagai tanggapan terhadap revisi KUHP, yang dikritik karena membatasi kebebasan berekspresi dan melanggar hak pribadi, menjadi gelombang protes publik atas tindakan pemerintah yang dianggap mengikis demokrasi.
Pengesahan undang-undang cipta kerja pada 2020, yang dianggap menguntungkan kepentingan bisnis dengan mengorbankan perlindungan pekerja, juga memicu demonstrasi di seluruh Indonesia.
Firman Noor, analis politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan bahwa DPR telah berkinerja buruk, mereka hanya mengesahkan sekitar 24 dari target 260 undang-undang selama masa jabatannya.
Dia mengatakan bahwa turunnya kinerja DPR tersebut dipicu kurangnya motivasi dan efektivitas dalam badan legislatif tersebut untuk terlibat secara aktif dalam pembuatan kebijakan.
“Banyak alokasi anggaran yang disetujui DPR tidak masuk akal, dan ini sebagian besar disebabkan oleh ketidakefektifan oposisi dalam legislatif.”