133 Orang Meninggal Dunia Akibat DBD Dalam Sebulan
2019.01.31
Jakarta
Sedikitnya 133 orang meninggal dunia akibat diserang penyakit deman berdarah dengue (DBD) di Indonesia dalam sebulan terakhir.
Kepala Biro Humas Kementerian Kesehatan, Widyawati Rokom menyebutkan, Kamis, 31 Januari 2019, bahwa meningkatnya kasus DBD tak lepas dari curah hujan yang tinggi dan kondisi lingkungan.
“Kami terus sosialisasi supaya pasien DBD tak bertambah,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Kementerian Kesehatan mencatat orang yang terkena DBD di seluruh Indonesia pada Januari ini mencapai 13.683 kasus atau meningkat 100 persen dari periode yang sama tahun lalu yaitu 6.167 kasus.
Tingkat kematian akibat DBD juga melonjak drastic tahun ini yakni 133 orang, sedangkan pada 2018 lalu berjumlah 43 kasus untuk periode yang sama, kata Widyawati.
Angka kematian tertinggi terjadi di Jawa Timur yaitu 47 orang, disusul NTT 14 orang, Sulawesi Utara 13 orang, Jawa Barat 11 orang, lalu Jawa Tengah dan Kalimantan Tengah masing-masing 9 orang.
Jawa Timur berada peringkat tertinggi kasus DBD di Indonesia. Jumlahnya mencapai 2.657 kasus atau 20 persen dari total kasus nasional.
Jawa Barat berada di posisi kedua (2.008 kasus) dan disusul Nusa Tenggara Timur ketiga (1.169 kasus). DKI Jakarta sendiri berada di posisi ketujuh dengan 613 kasus.
Kementerian Kesehatan juga menerima laporan tentang adanya sejumlah daerah yang telah menyatakan DBD sebagai Kejadian Luar Biasa, antara lain Kota Kupang, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Ponorogo, dan Provinsi Sulawesi Utara.
Kemenkes, lanjut dia, sudah menyiapkan sejumlah antisipasi bahkan sebelum musim hujan dimulai.
Salah satunya dengan mengeluarkan surat edaran Menteri Kesehatan pada November 2018 yang ditindaklanjuti edaran Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit terkait kesiapsiagaan kasus DBD.
“Kami telah mempersiapkan rumah sakit-rumah sakit yang siap menerima pasien,” ujar Widyawati.
“Kita juga mengimbau adanya gerakan masyarakat melakukan pemberantasan sarang nyamuk, mengaktifkan kelompok kerja DBD di tiap kabupaten/kota, mengadakan penyelidikan epidemiologi untuk melihat tempat-tempat perindukan nyamuk, dan menyiapkan posko kewaspadaan juga.”
Kemenkes, kata Widyawati, juga kembali mengingatkan pentingnya gerakan satu rumah satu juru pemantau jentik (jumantik), yang bisa berasal dari anggota keluarga sendiri atau kelompok PKK.
“Tugasnya memantau tempat-tempat di rumah yang ada genangan air,” ujarnya.
“Koordinasi dengan dinas kesehatan kabupaten/kota juga terus berjalan. Kami sudah antisipasi dan berusaha yang terbaik.”
Kecolongan
Pengamat Kesehatan Masyarakat dari Universitas Airlangga, Djazuly Chalidyanto, mengatakan bahwa DBD adalah penyakit yang dapat dicegah, tapi upaya itu belum optimal dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
“Harus dikerjakan oleh kita semua. Saya tidak menyalahkan dinas kesehatan atau yang lainnya. Kita semua harus mengerjakan pencegahan dan surveilans,” katanya ketika dihubungi BeritaBenar.
“Sudah tahu bulan-bulan awal tahun selalu ada DBD. Tapi kenapa pada bulan Oktober, November, Desember, kita tidak melakukan upaya pencegahan? Saya bisa bilang (kali ini) kita kecolongan.”
Djazuly menambahkan pendekatan pemerintah dan masyarakat terhadap DBD masih bersifat reaktif, bukan proaktif atau preventif.
“Ini kelemahan kita. Luar biasa memang angka DBD begitu tinggi. Memang program surveilance ini harus rutin dilakukan. Sama seperti bencana alam yang sebenarnya bisa dipantau,” ujarnya.
Pencegahan DBD, lanjut dia, harus serentak dilakukan di semua daerah karena migrasi nyamuk sebagai vektor penyakit mematikan tersebut.
“Misalnya Surabaya bekerja keras melakukan pemberantasan sarang nyamuk lewat gerakan 3M, tapi Gresik dan Sidoarjo tidak optimal. Kan tidak mungkin melarang nyamuk Sidoarjo terbang ke Surabaya. Harus menjadi gerakan bersama,” tegasnya.
Untuk itu ke depan, tutur Djazuly, harus dilakukan upaya pencegahan dan promosi ke masyarakat dengan memberikan informasi.