Datang, Tonton, #KamiTidakTakut

Warga yang tidak takut mendekat ke lokasi kejadian dinilai sebagai bentuk sikap haus tontotan dan juga refleksi atas terbiasanya menyaksikan kekerasan.
Arie Firdaus
2017.05.25
Jakarta
170525_ID_KamiTdkTakut_1000.jpg Seorang perempuan mendatangi lokasi ledakan bom di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, 25 Mei 2017.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Zulfikar terheran-heran menyaksikan lokasi bekas ledakan bom di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Kamis sore, 25 Mei 2017.

“Sampai pecah begitu, ya?” gumamnya, ketika menemukan sebagian halte TransJakarta kini tak lagi memiliki kaca.

Dari tempatnya berdiri, matanya menyapu ke segala arah. Memperhatikan setiap sudut kawasan itu dari balik garis polisi yang dipasang di pintu masuk terminal.

Pengamatannya baru berhenti saat seorang perempuan tiba-tiba berbicara ke arahnya.

“Tadi malam, teman saya mengirim foto pelaku yang sudah meninggal,” ujar Ermawati, nama perempuan tersebut. Ia berbicara penuh antusiasme.

Seolah menjawah penasarannya, Zulfikar merespons dengan bertanya rupa pelaku yang dimaksud Ermawati.

“Agak gemuk begitu,” balas Ermawati tak kalah antusias.

Sejurus kemudian, perbincangan mereka tentang dua ledakan yang diyakini akibat aksi bom bunuh diri di Kampung Melayu pun berkembang. Bertukar informasi yang mereka punya soal aksi teror tersebut.

Hampir sehari berselang usai ledakan yang terjadi pada Rabu sekitar pukul 21:00 WIB, Terminal Kampung Melayu memang masih menjadi titik yang menarik perhatian warga Jakarta. Zulfikar dan Ermawati hanya dua dari mereka.

Di sekitar keduanya, beberapa orang berkumpul. Topik perbicangan mereka pun sama: soal ledakan bom yang menewaskan lima orang —dua di antaranya diduga pelaku— dan tiga anggota polisi. Sebagian lain mengacungkan gawai elektronik, memotret lokasi ledakan bom.

Sekumpulan polisi bersenjata lengkap yang duduk tak jauh hanya memperhatikan, tanpa berusaha mengusir warga yang menyemut di depan garis batas polisi.

Hingga Kamis malam, masih ada saja warga yang datang untuk melihat-lihat lokasi itu dan mengabadikan dengan kamera ponsel.

Kepada BeritaBenar, Zulfikar mengatakan, kehadirannya ke Terminal Kampung Melayu bertujuan menuntaskan rasa penasaran. Pasalnya, kata pegawai swasta itu, selama ini ia hanya memantau kondisi terminal melalui televisi.

“Ingin melihat langsung lokasi bom lah,” katanya.

Untuk tiba di lokasi, ia harus menempuh jarak cukup jauh dari rumahnya di kawasan Tanjung Duren di Jakarta Barat, yang berjarak sekitar 17 kilometer, dengan sepeda motor.

“Mumpung libur,” tambahnya, merujuk pada 25 Mei 2017 sebagai hari libur Kenaikan Isa Almasih.

Adapun Ermawati beralasan kedatangannya ke Kampung Melayu karena terminal itu memiliki arah sama dengan rumahnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Perempuan 34 tahun itu bekerja di daerah Jatiwaringin, Jakarta Timur.

“Tadi malam, enggak sempat melihat langsung,” katanya.

Sejatinya, angkutan kota yang membawa Ermawati akan berhenti di Kampung Melayu. Namun usai insiden, aparat kepolisian menutup keseluruhan akses terminal, termasuk halte TransJakarta.

Karakter lentur

Suasana Terminal Kampung Melayu serupa dengan lokasi serangan teror di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pada Januari 2016 – yang menewaskan delapan orang, termasuk empat pelaku.

Ketika itu, warga justru menghampiri lokasi kejadian, alih-alih pergi menjauh. Walhasil, kepanikan lebih besar terjadi saat aksi teror kedua terjadi kontak tembak antara polisi dan pelaku teror.

Soal kebiasaan ini, pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rachmawati menyebutnya sebagai pencerminan karakter masyarakat Indonesia yang lentur.

Karakter lentur tersebut akan membuat masyarakat Indonesia cenderung mendekati sesuatu yang tidak pasti dan tak diketahui, alih-alih menjauh.

“Ini karakter budaya Indonesia yang memang berbeda dengan Barat,” kata Devie kepada BeritaBenar.

“Kelenturan itu juga ditunjukkan bahwa dukacita tak selalu harus diperlihatkan dengan menangis.”

Perihal bagaimana munculnya kelenturan itu, Devie memandangnya sebagai wujud kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap ihwal invisible hand. Bahwa kematian berada di luar kontrol manusia dan telah diatur.

“Ini memang susah dipahami masyarakat Barat yang cenderung tidak percaya pada konsep invisible hand itu,” lanjut Devie.

Adapun sosiolog dari Universitas Gajah Mada, Najib Azka, menilai fenomena itu semata-mata bentuk sikap haus tontotan masyarakat Indonesia.

“Makanya jika terjadi sesuatu, akan dianggap sebagai hiburan, alih-alih menakutkan,” kata Najib saat dihubungi.

Selain itu, dia juga menilai fenomena ini sebagai refleksi terbiasanya masyarakat Indonesia yang menyaksikan kekerasan di jalanan. Walhasil, tindak kekerasan cenderung tak lagi dianggap sebagai ihwal yang meneror.

“Ada beberapa daerah yang hampir setiap hari muncul bentrokan antara dua kubu masyarakat,” lanjutnya. “Maka bisa jadi, kekerasan tak lagi dianggap meneror.”

#KamiTidakTakut

Perhatian masyarakat terhadap insiden bom Kampung Melayu tak hanya terjadi di lapangan. Di ranah internet, tanda pagar #KamiTidakTakut dan #PrayForJakarta menggema dan menjadi topik-topik tren dunia.

Hingga Kamis malam, #PrayForJakarta menduduki peringkat ketiga topik tren dunia Twitter. Sedangkan #KamiTidakTakut menduduki peringkat ke-11 dari sebelumnya ketika pagi hingga siang berada di peringkat pertama.

Fenomena dunia maya ini mirip saat aksi teror di kawasan Thamrin pada 2016. Tak lama usai insiden, tanda pagar #KamiTidakTakut langsung menduduki puncak topik tren dunia di media sosial twitter.

Sebelum meninggalkan lokasi ledakan, Zulfikar dan Ermawati tampak menyiratkan raut wajah puas karena rasa penasaran mereka sudah terpenuhi.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.