Bank Dunia: 1/3 Rumah Tangga Indonesia Kurang Makan karena COVID-19
2020.09.29
Jakarta
Lebih dari sepertiga rumah tangga di Indonesia mengonsumsi makanan lebih sedikit dari biasanya karena kekurangan uang atau pendapatan lainnya, sementara satu dari empat keluarga kehabisan makanan karena pandemi COVID-19, sebut laporan terbaru Bank Dunia yang dirilis Selasa (29/9).
“Tapi jumlah ini lebih besar dialami pada rumah tangga yang kehilangan pendapatan,” tulis laporan Bank Dunia tentang ekonomi di Asia Timur dan Pasifik.
Proporsi rumah tangga yang menghadapi kekurangan pangan tersebut sempat turun pada Mei atau awal Juni dalam survey lanjutan, meski jumlahnya tetap mencakup lebih dari seperempat rumah tangga, kata Bank Dunia.
“Peningkatan kerawanan terhadap pangan dapat menyebabkan insiden malnutrisi dan stunting yang lebih tinggi,” sebut laporan yang juga menemukan bahwa sepertiga dari fasilitas kesehatan primer di Indonesia menghentikan sementara layanan imunisasinya.
“Guncangan ekonomi bagi rumah tangga membawa dampak yang lebih panjang bagi kualitas indeks modal manusia,” kata Bank Dunia.
Merujuk data Global Food Security Index (GFFSI) tahun 2019, Indonesia berada di posisi ke-62 dunia dalam hal ketahanan pangan dengan skor 62,2, atau naik tiga level dari tahun sebelumnya.
Penilaian GFSI merujuk sejumlah aspek seperti kemampuan konsumen membeli makanan (Indonesia mendapatkan skor 70,4); kecukupan pasokan pangan, risiko pasokan, dan kapasitas distribusi (61,3); serta kualitas nutrisi pangan (47,1).
Sementara itu Global Hunger Index 2019 memasukkan Indonesia dalam kategori tingkat kelaparan “serius”, dengan perkiraan 8,3 persen penduduk menderita kurang gizi dan 32,7 persen anak-anak usia di bawah lima tahun menderita stunting.
Pekan lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan pemerintah akan memulai penggarapan ladang pangan atau food estate yang akan dimulai pada Oktober untuk mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi COVID-19.
Proyek dengan total lahan mencapai 1,4 juta hektare tersebut akan dimulai di Kalimantan Tengah dan Sumatra Utara, untuk kemudian dikembangkan di Sumatra Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memproyeksi angka kemiskinan Indonesia akan mengalami peningkatan sebanyak 1,63 juta jiwa menjadi nyaris 29 juta jiwa pada periode September 2020.
Dengan kenaikan jumlah penduduk miskin tersebut, maka angka kemiskinan Indonesia diprediksi akan kembali ke dobel digit, yakni di kisaran 10,34 persen.
“Targetnya (pemerintah) 9,7 persen atau hampir sama dengan Maret 2020, tapi dengan asumsi penyebaran COVID-19 terkendali. COVID-19 ini menggerus kesejahteraan, meningkatkan angka kemiskinan,” kata peneliti INDEF, Rusli Abdullah, kepada BenarNews.
Kementerian Ketenagakerjaan mengumumkan jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan selama pandemi mencapai 3,06 juta orang per akhir Mei 2020.
Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia memperingatkan bahwa COVID-19 dapat meningkatkan angka kemiskinan di kawasan Asia Timur dan Pasifik bertambah menjadi 38 juta orang, dengan lima juta orang di antaranya adalah orang-orang yang sebelumnya tidak masuk dalam kategori miskin.
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan dengan mengukur pendapatan kurang dari 5,5 dolar AS atau sekitar 81.000 rupiah per hari.
“COVID-19 tidak hanya memberikan pukulan berat bagi masyarakat miskin, tapi juga memunculkan masyarakat miskin baru,” kata Bank Dunia.
Pengendalian pandemi yang lemah
Bank Dunia juga menyampaikan ekonomi Indonesia bisa lebih cepat pulih jika pemerintah mampu mengontrol penyebaran COVID-19 melalui kebijakan yang lebih tegas di tengah proyeksi pertumbuhan yang masih akan minus pada tahun ini.
Laporan ini menggarisbawahi ketidakmampuan Indonesia dalam mengkombinasikan kebijakan pembatasan mobilitas yang ketat, pengujian deteksi COVID-19 yang ekstensif dan program sosialisasi untuk mengontrol penyebaran pandemi.
Indonesia berada pada kondisi yang sama dengan Filipina, kata Bank Dunia. Sementara, negara-negara Asia Timur dan Pasifik lainnya, termasuk Cina--tempat virus bermula, dinilai berhasil mengimplementasikan kebijakan tersebut sehingga kasus penularan terkendali.
“Indonesia belum memberlakukan lockdown yang ketat dan tampaknya lebih mengandalkan kebijakan yang lunak. Sementara Filipina telah berulang kali melakukan pembatasan mobilitas dan pembukaan kembali aktivitas,” sebut laporan Bank Dunia.
“Kunci utama dalam kebijakan kesehatan masyarakat yang diadopsi sebagian besar negara di kawasan adalah memperkuat kemampuan dalam merespons wabah melalui intervensi yang tepat sasaran,” tambah Bank Dunia.
Bank Dunia mengatakan, Indonesia dan Filipina sama-sama memiliki prospek ekonomi dan sosial yang tidak pasti lantaran kedua negara ini masih belum sukses mengontrol wabah.
“Kedua negara memiliki keuntungan dari populasi muda tetapi menghadapi kesulitan dari besarnya sektor informal dan kondisi kehidupan buruk yang dialami sebagian besar penduduknya.”
Pada Selasa, Indonesia melaporkan 4.002 kasus baru terkonfirmasi COVID-19 sehingga totalnya menjadi 282,724. Sementara angka kematian bertambah 128 menjadi 10.601, sebut laporan harian Kementerian Kesehatan.
Jumlah kasus Indonesia berada di urutan tertinggi kedua setelah Filipina di kawasan yang mencatat 309.303 kasus pada Selasa. Namun, angka kematian Indonesia mengungguli Filipina yang dilaporkan sebanyak 5.448, tertinggi di Asia Tenggara, demikian data yang dikumpulkan oleh ahli di Universitas Johns Hopkins.
Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito mengatakan pemerintah terus berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas deteksi SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19 itu, dalam upaya efektivitas pelacakan demi menekan angka penularan.
“Walaupun saat ini testing masih belum mencapai target yang ditentukan oleh WHO secara nasional, tapi beberapa daerah sudah bisa mencapainya (target),” kata Wiku dalam jumpa pers harian, Selasa.
Bank Dunia mencatat Indonesia kapasitas deteksi COVID-19 Indonesia saat ini mencapai 30.000 tes per hari, atau sekitar 35 persen dari standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Dari keseluruhan tes harian di Indonesia, 40 persennya dilakukan di DKI Jakarta.
Pertumbuhan ekonomi tetap minus
Bank Dunia memproyeksi ekonomi Indonesia pada 2020 akan terkontraksi pada kisaran 1,6 persen, dengan skenario kontraksi terburuknya mencapai 2 persen. Proyeksi ini jauh lebih rendah ketimbang laporan Bank Dunia yang dirilis pada Juli, dengan estimasi ekonomi Indonesia bisa bertahan di nol persen.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus mengumumkan ekonomi sepanjang triwulan kedua terkontraksi hingga 5,32 persen akibat penurunan konsumsi rumah tangga hingga belanja pemerintah akibat pembatasan aktivitas selama wabah COVID-19. Pertumbuhan minus tersebut adalah yang pertama sejak tahun 1999.
Kendati demikian, Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia akan kembali tumbuh pada 2021 dengan kisaran 3 sampai 4,4 persen, namun tetap bergantung pada bagaimana pemerintah mengendalikan penyebaran COVID-19 dan percepatan ketersediaan vaksin corona.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan optimismenya terhadap pertumbuhan ekonomi pada 2021 yang bisa tumbuh di kisaran 5,0 persen dengan akselerasi yang dimulai pada kuartal pengunjung tahun 2020.
“Kita proyeksikan di kisaran 5,0 persen dan tentu ini suatu pemulihan yang harus diupayakan dan dijaga melalui berbagai kebijakan termasuk APBN,” kata Sri Mulyani dalam telekonferensi, Selasa sore.
Sri Mulyani mengatakan proyeksi turut ditopang dari penanganan pandemi saat ini hingga tahun mendatang serta optimisme atas penemuan vaksin yang dikembangkan Indonesia maupun kerja sama internasional.
“Kalau kita bisa dapatkan vaksin dengan tingkat vaksinasi cukup luas, kita mampu akselerasi pemulihan ekonomi juga,” kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia ini.
Bank Dunia memprediksi ekonomi Asia Timur dan Pasifik akan tumbuh positif pada kisaran 0,9 persen sepanjang 2020, ditopang Cina yang mampu tumbuh hingga 2 persen. Kendati positif, angka ini adalah yang terendah sejak 1967.