Indonesia Kembali Catat Rekor Kematian Harian, WHO Desak Perketat Pembatasan
2021.07.22
Jakarta
Angka kematian akibat infeksi COVID-19 kembali menembus rekor dengan jumlah 1.449 pada Kamis (22/7), sementara Badan Kesehatan Dunia (WHO) meminta Indonesia memberlakukan pembatasan kegiatan publik yang lebih ketat.
Angka terkonfirmasi positif Indonesia telah melebihi 3 juta dengan penambahan 49.509 kasus dalam 24 jam terakhir, sedangkan total keseluruhan korban meninggal dunia akibat COVID-19 mencapai 79.032, menurut data yang dikeluarkan oleh satuan tugas penanganan pandemi pemerintah, dan banyak di antara mereka yang meninggal saat isolasi mandiri di rumah.
“Ini tidak bisa ditoleransi lagi karena ini bukan sekadar angka. Di dalamnya ada keluarga, kerabat, kolega, dan orang tercinta yang pergi meninggalkan kita,” kata juru bicara satuan tugas Wiku Adisasmito, dalam konferensi pers harian.
“Kasus positif yang turun dan kesembuhan yang meningkat harus diikuti dengan kematian yang turun pula,” tambahnya.
Jumlah kematian akibat virus corona di Indonesia secara konsisten berada di atas angka 1.000 sejak 16 Juli, sementara warga yang tervaksinasi penuh masih sangat kecil, pada kisaran 6 persen dari keseluruhan 270 juta penduduk.
Angka terkonfirmasi positif COVID-19 tercatat turun dari rerata 40.000-50.000 kasus per hari pada tiga hari sebelumnya. Namun, penurunan kasus positif juga beriringan dengan berkurangnya jumlah tes harian dari rerata 200 ribu per hari menjadi di kisaran 100 ribu per hari.
Pada Kamis, jumlah tes kembali ditingkatkan sebanyak 229 ribu
Pada Selasa, pemerintah mengumumkan perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat hingga 25 Juli di Pulau Jawa dan Bali, juga 15 kabupaten dan kota di luarnya.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan Selasa malam bahwa pelonggaran dimungkinkan dilakukan mulai 26 Juli apabila data penularan dan juga kapasitas fasilitas kesehatan terpantau menurun secara stabil.
“Kita selalu memantau, memahami dinamika di lapangan,” kata Jokowi dalam keterangan pers.
Epidemiolog dari Griffith University di Australia, Dicky Budiman, menilai perpanjangan PPKM sepekan ke depan, masih belum akan efektif dalam menurunkan kasus.
“Harus ada peningkatan yang luar biasa dalam hal pelacakan, pengetesan dan perawatan. Ini konsekuensi logisnya, tanpa itu, tidak mungkin kasus turun dalam seminggu,” kata Dicky.
Peringatan WHO
Sementara itu, WHO meminta Indonesia memperketat pembatasan pergerakan guna menekan lonjakan infeksi COVID-19 yang saat ini terpantau ‘sangat tinggi’ merujuk pada tingkat positif harian yang berada pada rentang 30 persen dari jumlah tes.
“Ini menunjukkan betapa penting penerapan kesehatan masyarakat dan langkah-langkah pembatasan sosial yang ketat, terutama pembatasan pergerakan di seluruh penjuru negeri,” tulis laporan WHO, Kamis.
Data WHO menyebut 32 dari 34 provinsi di Indonesia mengalami lonjakan kasus dalam periode 12-18 Juli, dengan 21 provinsi di antaranya dilaporkan telah adanya jejak varian Delta yang lebih cepat menular dan mematikan.
Tidak hanya di Jawa dan Bali terjadi fungsi rumah sakit yang kolaps dengan keterisian di atas100 persen dan tidak cukupnya tenaga kesehatan di tengah pandemi, daerah lain seperti Papua juga mengalaminya.
“Kami mengalami problem yang sama seperti di Jawa. Ruang isolasi penuh dan kami kekurangn oksigen,“ demikian dr Aaron Rumainum, kepala pencegahan dan pengendalian penyakit menular untuk wilayah Papua, seperti dikutip di Reuters.
Varian Delta juga telah merambah hingga ke Papua, yang menyebabkan keterisian rumah sakit di Jayapura mencapai 96 persen, walaupun rerata di Papua, keterisian tempat tidur di RS adalah 57 persen, demikian kata Silwanus Sumule, juru bicara satuan tugas penanggulangan COVID-19 yang juga adalah wakil direktor Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura.
“Kami tidak pernah menalami seperti ini sebelumnya, menaruh pasien di koridor RS seperti ini,” ungkapnya seperti dikutip di Reuters.
Kasus isoman Jakarta
LaporCOVID-19, koalisi sipil yang menjadi wadah pelaporan warga, mencatat angka kematian orang yang menjalani isolasi mandiri mencapai 2.313 jiwa sepanjang periode 6 Juni hingga 21 Juli 2021. Dari jumlah itu, setengahnya terjadi di Jakarta.
Said Fariz Hibban, analis data untuk LaporCOVID-19, mengatakan jumlah itu terkumpul dari 78 kabupaten dan kota di 16 provinsi yang terlacak melalui pelaporan warga baik secara langsung maupun melalui media sosial hingga pemberitaan media massa.
“Jadi angka ini belum yang sebenarnya, tentu akan ada banyak lagi yang belum kami temukan di provinsi lain,” kata Hibban dalam konferensi pers virtual, Kamis.
Lies Dwi, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta, menyebut sistem pendataan orang yang terjangkit positif di DKI Jakarta sudah berjalan maksimal baik dari tingkat RT/RW maupun fasilitas kesehatan seperti Puskesmas.
“Di Jakarta sudah ada sistem pelaporan kematian yang bisa cukup diandalkan; mulai dari penyebabnya, sebaran distribusinya, dan seterusnya. Jadi apa yang terlampir itu sudah apa adanya,” kata Lies dalam kesempatan sama.
Sementara, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI Jakarta Slamet Budiarto menyebut tidak adanya dokter yang memantau kondisi pasien secara langsung adalah penyebab tingginya angka isolasi mandiri yang meninggal dunia di Jakarta.
“Masalahnya jumlah dokter kita terbatas. Untuk menangani pasien di rumah sakit saja kurang, apalagi untuk memantau yang isolasi mandiri,” kata Slamet.
Adapun faktor lainnya adalah kelangkaan obat-obatan dan sarana pendukung penyembuhan lain seperti oksigen.
“Sekarang pasien mau beli obat, obatnya enggak ada di apotek, oksigen apalagi. Ini jadi bencana kemanusiaan menurut saya,” katanya.
Selain kasus kematian saat isoman yang tinggi, sebaran mutasi varian Delta di DKI Jakarta juga tercatat tinggi.
Data Kementerian Kesehatan mencatat sebaran varian B1617.2 yang pertama kali terdeteksi di India itu, kini telah mencapai 288 kasus di ibu kota, disusul Jawa Barat dengan 228, dan Jawa Tengah dengan 132.
Koordinator PPKM Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mengatakan pemerintah melakukan yang terbaik untuk memutus sebaran varian Delta di Indonesia.
“Percayalah kami melakukan yang terbaik, tapi bahwa varian Delta ini hal yang sulit dihadapi, memang itu nyatanya,” kata Luhut, dalam keterangan pers pada Rabu.
Pihaknya turut mengakui bahwa pemerintah masih kesulitan untuk memenuhi pasokan obat COVID-19 lantaran terbatasnya kapasitas produksi oleh perusahaan farmasi pelat merah, PT Bio Farma (Persero).
Menurut Luhut, Bio Farma hanya mampu memproduksi 22 juta dosis per bulan, sementara kebutuhan saat ini mencapai 30-50 juta dosis per bulannya. “Mulai bulan depan akan kita kejar sampai 30-50 juta per bulan,” tukas Luhut.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi
Sementara itu, Bank Indonesia mengumumkan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di kisaran 3,5 persen-4,3 persen dari perkiraan sebelumnya di 4,1 persen-5,1 persen.
“Pertumbuhan ekonomi domestik diperkirakan lebih rendah dari sebelumnya pasca-penyebaran varian Delta,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis.
BI optimistis pertumbuhan ekonomi masih cukup baik pada kuartal II didorong kenaikan kinerja ekspor, belanja fiskal dan investasi non-bangunan. Namun kinerja bakal merosot pada kuartal III sebagai dampak dari pemberlakuan pembatasan mobilitas.
BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi bakal terdongkrak kembali pada kuartal IV tahun ini.