Satgas COVID-19: Kasus Aktif 0,35 Persen, Lebih Rendah dari Rata-rata Dunia
2021.10.26
Jakarta
Laju penambahan kasus COVID-19 selama dua pekan terakhir berhasil turun secara stabil di bawah angka rata-rata 1.000 per hari dengan persentase kasus aktif terhadap total orang terjangkit di 0.35 persen, demikian Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19.
Per Selasa (26/10), kasus positif harian bertambah 611 orang menjadi total 4,241,090, dengan penambahan 35 kematian dalam satu hari menjadi 143.270.
Jumlah kasus harian itu mengalami penurunan drastis setelah mengalami lonjakan gelombang kedua pandemi yang nyaris melumpuhkan sistem kesehatan di kota-kota besar pada Juni-Agustus lalu, dengan infeksi harian mencapai lebih dari 50.000, yang pada puncaknya mencapai
“Kita patut bersyukur berkat upaya konsisten dan kerja sama semua pihak, lonjakan COVID-19 bisa dikendalikan sejak 15 Oktober,” kata Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas Penanganan COVID-19, Sonny Harry Budiutomo Harmadi, dalam konferensi pers virtual, Selasa.
“Kasus aktif di Indonesia sudah mencapai 0,35 persen, dan itu lebih rendah dari persentase kasus aktif dunia,” katanya menambahkan.
Pemerintah sebelumnya mengatakan bahwa penurunan kasus disebabkan oleh karena vaksinasi dan pembatasan mobilitas masyarakat, dan kerjasama yang efektif antara pemerintah pusat dan daerah.
Sonny mengatakan, penurunan kasus juga diikuti dengan pelonggaran pembatasan mobilitas yang berlaku secara regional, berikut penyesuaian kebijakan pada sejumlah sektor seperti transportasi, pariwisata, sekolah, hingga pusat perbelanjaan.
“Namun harus disadari bersama bahwa pandemi COVID-19 belum berakhir, landainya kasus jangan sampai membuat kita lengah dan abai terhadap protokol 3M,” kata Sonny, merujuk 3M kepada kepatuhan protokol kesehatan memakai masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo juga mengingatkan untuk waspada terjadinya gelombang ketiga pada liburan akhir tahun nanti, di mana hasil survei menyebut ada 19,9 juta orang yang berniat mudik saat itu.
"Kita harapkan Natal dan Tahun Baru bisa kita kelola dengan baik, karena hampir semua epidemiolog takut bahwa yang memicu gelombang ketiga nanti ada di Natal dan Tahun Baru," ujar Jokowi saat memberikan pengarahan kepada para kepala daerah se-Indonesia secara virtual di Istana Merdeka, Jakarta, Senin.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Usman Kansong menambahkan, pemerintah tetap berkomitmen untuk menjamin ketersediaan vaksin bagi masyarakat agar kasus penularan bisa semakin ditekan.
Juga pada Selasa, Indonesia kembali menerima kedatangan 1 juta dosis vaksin Sinovac yang menjadi hibah dari Pemerintah China. Kedatangan tersebut menjadikan total vaksin Sinovac yang diterima Indonesia nyaris 220 juta baik dalam bentuk jadi atau bahan baku. Jumlah itu setara dengan 80 persen dari total 293 juta dosis vaksin yang telah diterima.
“Indonesia saat ini adalah salah satu negara dengan capaian vaksinasi tertinggi di dunia, berkat dukungan dengan banyak pihak, termasuk bantuan vaksin dari sejumlah negara,” kata Usman.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pemerintah akan mulai memberikan vaksinasi suntikan ketiga atau booster untuk kelompok masyarakat dengan kerentanan imunitas yang tinggi mulai tahun depan. Kelompok tersebut rencananya akan diberikan suntikan dengan vaksin Moderna.
Mereka adalah tenaga kesehatan, orang lanjut usia, penderita HIV/AIDS dan kanker, kata Budi.
Indonesia saat ini memiliki 8.000.160 dosis Moderna, kemudian 21.976.060 dosis Pfizer, dan 500.000 dosis Johnson and Johnson (Jansen). Indonesia juga memiliki 8.450.000 dosis Sinopharm, dan 33.456.030 dosis AstraZeneca, menurut Kementerian Kesehatan.
Sejauh ini, 114,3 juta orang sudah menerima vaksinasi di Indonesia, 69,1 juta di antara sudah mendapat dosis lengkap yang berarti sekitar 25% dari seluruh penduduk, sementara 1,1 juta sudah disuntik booster atau dosis ketiga.
Dicky Budiman, ahli epidemiologi dari Griffith University di Australia mengatakan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan menentukan keberlangsungan penurunan laju penularan kasus COVID-19.
“Dalam setiap pemodelan epidemiologi, pemodelan tren kasus kurva pandemi hanya dengan menempatkan asumsi bahwa katakanlah 95 persen dari masyarakatnya disiplin menggunakan masker akan sangat signifikan menurunkan kasus infeksi,” kata Dicky, melalui pesan suara.
Harga tes PCR turun
Sementara itu, Presiden Jokowi meminta agar harga tes deteksi COVID-19 dengan polymerase chain reaction (PCR) bisa turun menjadi Rp300 ribu menyusul kewajiban penggunaannya untuk syarat perjalanan pesawat yang mendapat banyak kritikan publik belakangan ini.
Aturan terbaru perjalanan jarak jauh dengan pesawat yang dirilis pemerintah pada pekan lalu, mengatur kewajiban tes PCR bagi calon penumpang, termasuk anak-anak, untuk perjalanan dari dan menuju Jawa-Bali. Aturan itu diikuti penghapusan tingkat keterisian maksimal pesawat yang sebelumnya hanya 70 persen.
Saat ini, harga tes PCR di Pulau Jawa-Bali mencapai sebesar Rp495 ribu, sementara di luarnya dipatok dengan harga minimal Rp525 ribu.
Menkes Budi mengatakan tarif baru sebesar Rp300 ribu seperti yang diminta Presiden adalah salah satu yang termurah di dunia, sehingga pemerintah tidak akan memberlakukan subsidi untuk menambah penurunan harga.
“Harga kita yang Rp900 ribu ini 25 persen kuartal paling murah dibandingkan harga PCR di bandara-bandara dunia, jadi kalau misalnya diturunkan ke Rp300 ribu, itu mungkin masuk ke 10 persen kuartal yang paling murah,” kata Budi.
Lebih dari 40 ribu orang menandatangani petisi daring Change.org, mendesak pemerintah menghapus syarat wajib tes PCR untuk moda transportasi udara.
Petisi yang dibuat oleh seorang teknisi pesawat Dewangga Pradityo Putra ini meminta pemerintah untuk mengembalikan opsi penggunaan tes cepat antigen dalam perjalanan udara.
Dewangga berargumen, penggunaan PCR meski calon penumpang sudah bisa membuktikan vaksinasi dosis kedua, akan mengurangi minat karena harga yang harus ditanggung untuk bisa melakukan perjalanan akan bertambah.
“Harga PCR di Indonesia mahal banget! Bisa jadi lebih mahal dari harga tiket,” kata Dewangga dalam petisi itu.