Satgas Penanggulangan Terorisme Ditanggapi Beragam
2016.08.24
Jakarta
Keputusan pemerintah membentuk satuan tugas (Satgas) penanggulangan terorisme yang berisikan perwakilan lintas kementerian dan lembaga ditanggapi beragam.
Pakar terorisme Noor Huda Ismail mengatakan, dalam penanggulangan terorisme, yang penting bukan pada kelembagaan karena infrastruktur yang ada selama ini sudah lebih dari cukup.
“Masalah utama kita adalah implementasinya. Semangat persatuan antar lembaga yang belum ada,” ujar Huda, panggilan akrabnya, kepada BeritaBenar di Jakarta, Selasa 23 Agustus 2016.
“Yang disayangkan adalah mereka punya sumber daya, lembaga sudah ada semua seperti intel dan lain-lain, tapi mereka belum menggunakan imajinasi yang memadai,” tambahnya.
Pembentukan satgas penanggulangan terorisme disampaikan kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius kepada wartawan usai rapat di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Senin, 22 Agustus 2016.
Menurut dia, Satgas itu beranggotakan perwakilan tetap dari berbagai kementerian dan lembaga terkait dalam penanggulangan terorisme. Tujuannya, melaksanakan program deradikalisasi dan kontra radikalisme. BNPT bertanggung jawab memimpin Satgas itu.
Satgas ini diperlukan karena upaya penanggulangan terorisme memerlukan lebih dari upaya yang dilakukan BNPT dan sinergi yang lebih kuat antar lembaga pemerintahan yang terkait.
Menko Polhukam Wiranto menyebutkan, penanggulangan terorisme bukan hanya tugas BNPT. Penanganan yang komprehensif perlu dilakukan dengan menjalin kerjasama antar kementerian dan lembaga.
"Terorisme merugikan kepentingan nasional. Karena itu, penanganannya harus serius dan sungguh sungguh," katanya seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Huda, yang sedang menyelesaikan disertasi doktoral tentang jender dan maskulinitas terorisme di Indonesia pada Universitas Monash, Australia, mengatakan pembentukan lembaga baru tidak apa-apa. Tapi yang penting keberadaan satgas dapat memperkuat koordinasi antar lembaga.
“Program deradikalisasi yang ada juga sudah baik, tapi belum maksimal,” ujarnya.
Terobosan baru
Pengamat terorisme dari Indonesia Intelligence Institute, Ridlwan Habib punya pendapat berbeda meski mengakui koordinasi lembaga-lembaga terkait masih kurang baik.
Menurutnya, satgas itu merupakan terobosan baru dan hasil evaluasi kinerja BNPT. Rancangan membentuk Satgas muncul beberapa hari sejak Suhardi dilantik sebagai kepala BNPT pada 20 Juli lalu. Pembentukan Satgas itu juga sudah mendapat masukan dari komunitas antiterorisme.
Ridlwan mengatakan sudah jadi rahasia umum bahwa BNPT tidak dapat mengkoordinir lembaga-lembaga pemerintah yang menjadi mitranya dalam penanggulangan terorisme karena tidak ada aturan kalau BNPT bisa melakukan hal itu.
“BNPT tidak bisa memerintahkan instansi lain. Ini yang menjadi kendalanya selama ini,” ujar Ridlwan kepada BeritaBenar.
Ridlwan juga mengusulkan agar Lembaga Sandi Negara bisa lebih dimaksimalkan dalam penanggulangan terorisme untuk misalnya masuk ke dalam grup percakapan kelompok militan di internet atau aplikasi pesan teks seperti WhatsApp atau Telegram.
Telegram banyak disebut pakar terorisme sebagai aplikasi yang paling banyak digunakan oleh kelompok-kelompok militan, radikal Islam yang bersimpati pada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
“BNPT tidak bisa bekerja sendirian dalam menangani kompleksitas masalah penanganan terorisme,” ujarnya.
Ridlwan mengatakan bahwa selama ini permintaan dari BNPT ke instansi terkait upaya penanggulangan terorisme tidak berjalan optimal karena sifatnya himbauan, yang tak jelas akan dikerjakan atau tidak oleh lembaga yang dimintai bantuan.
“Misalnya, untuk memblokir situs yang dianggap radikal, Kepala Satgas dapat langsung memerintahkan perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika di Satgas untuk melakukannya. Jadi jelas siapa yang bisa ditagih. Atau permintaan terkait deradikalisasi, Kepala Satgas dapat memerintahkan perwakilan Kementerian Agama,” paparnya.
Hasil survei Wahid Foundation dan Lembaga Survey Indonesia mengenai potensi radikalisasi dan intoleransi, yang diumumkan awal bulan ini, menunjukkan bahwa 72% responden tidak bersedia jadi radikal, 11% bersedia jadi radikal dan 0,4% menyatakan diri mereka radikal.
Pengertian radikal dalam survei yang melibatkan 1.520 responden dari seluruh Indonesia adalah bersedia untuk partisipasi dalam peristiwa yang melibatkan kekerasan atas nama agama.