Indonesia Protes Keberadaan Kapal Patroli Cina di Laut Natuna Utara
2020.09.14
Jakarta & Washington
Pemerintah Indonesia, Senin (14/9) menyatakan protes terkait hadirnya kapal patroli laut Cina di wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara.
Bahkan ketika Jakarta mengajukan protesnya pada hari Minggu, data pelacakan kapal yang dilihat oleh Radio Free Asia (RFA), yang berafiliasi dengan BenarNews, menunjukkan sebuah armada kapal penangkap ikan Tiongkok juga memasuki perairan Indonesia di dekat kapal Cina Coast Guard (CCG) 5204, pada akhir pekan.
CCG 5204 meninggalkan ZEE Indonesia pada Senin tetapi lokasi terakhir kapal penangkap ikan itu tercatat kurang dari 130 mil laut dari Natuna Besar, dan kurang dari 90 mil laut dari Pulau Laut, di kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
Badan Keamanan Laut Indonesia (Bakamla) mengatakan sebuah kapal patroli Indonesia melihat CCG 5204 pada hari Sabtu dan memintanya untuk pergi, namun tidak menyebutkan adanya kapal penangkap ikan dari negara itu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Teuku Faizasyah mengatakan pemerintah telah melakukan komunikasi dengan perwakilan Beijing di Jakarta dan meminta klarifikasi maksud keberadaan CCG 5204 di wilayah perairan ZEE Indonesia (ZEEI).
“Kemlu menegaskan kembali kepada Wakil Dubes RRT bahwa ZEE Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih dengan perairan RRT (Cina) dan menolak klaim nine-dash line RRT karena bertentangan dengan UNCLOS 1982,” kata Faizasyah, Senin.
Faizasyah menyatakan pihak Cina menanggapi protes ini dengan serius dan positif.
Keberadaan kapal Cina pertama kali dideteksi oleh Kapal Negara Nipah 321 pada Sabtu sekitar pukul 10.00 waktu setempat.
Juru bicara Bakamla Kolonel Wisnu Pramandita mengatakan CCG 5204 menolak untuk meninggalkan wilayah Indonesia ketika Kapal Negara Nipah 321 mendeteksi keberadaannya Sabtu lalu.
“Mereka menjawab kalau mereka sedang berpatroli karena wilayah tersebut merupakan bagian yurisdiksi Cina,” ujar Wisnu.
“Melintasi boleh, tapi kalau berpatroli itu seolah itu sudah menjadi wilayah mereka, sudah ada upaya klaim jadi kami usir mereka,” ujar dia.
“Kami lakukan pendekatan komunikasi, soft diplomacy. Tadi sekitar pukul 11.28, CCG 5204 sudah tidak terdeteksi di ZEEI,” kata Wisnu.
Empat kapal Cina lainnya
Sementara itu, data pelacakan kapal yang dilihat oleh RFA menunjukkan bahwa CCG 5204 telah sejak bulan lalu berpatroli di Vanguard Bank, fitur terendam di lepas pantai paling selatan Vietnam yang menjadi sengketa antara Vietnam dan Cina.
Vanguard Bank terletak sedikit di luar 200 mil laut dari Natuna Besar. Ini telah menjadi tempat perselisihan sebelumnya antara kedua negara.
Namun, pada 11 September, CCG 5204 menyiarkan Sinyal Identifikasi Otomatis (AIS) kontradiktif, yang menunjukkannya keberadaannya di banyak tempat sekaligus. Ini biasanya merupakan tanda 'spoofing' untuk menipu, yang merupakan teknik yang sengaja digunakan kapal penjaga pantai Tiongkok di masa lalu untuk menyembunyikan aktivitas mereka.
Alat pelacak sebuah kapal komersial menunjukkan CCG 5204 masih di dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia pada hari Sabtu, sementara data pelacakan kapal yang dilihat oleh RFA menunjukkan bahwa kapal itu berpatroli di Vanguard Bank pada saat yang bersamaan.
Sementara itu data pelacakan kapal RFA juga mendapati armada kapal Cina dengan empat kapal penangkap ikan memasuki perairan Indonesia selama akhir pekan lalu.
Kapal-kapal ini pada hari Minggu berlayar melalui wilayah Laut Natuna Utara di mana Vietnam dan Indonesia sama-sama memiliki klaim ZEE yang tumpang tindih. Kapal-kapal Cina itu dibayangi oleh dua kapal dari Badan Pengawasan Sumber Daya Perikanan Vietnam hingga mereka menyeberang lebih jauh ke perairan Indonesia.
Tidak akan pernah selesai
Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan masalah ini akan terus terjadi dan tidak akan pernah selesai karena memiliki perbedaan definisi klaim.
“Cina mengklaim sembilan garis putus meskipun kita tak mengakui. Sebaliknya klaim ZEEI di Natuna Utara tidak diakui oleh Cina. Hal ini tidak akan pernah ketemu jawabannya dan tidak bisa juga dinegosiasikan,” katanya menegnai perairan di sekitar Laut Cina Selatan tersebut.
Hikmahanto menyarankan pemerintah untuk memperbanyak nelayan untuk mengeksploitasi perairan Natuna Utara agar lokasi tersebut tidak kosong. “Kasih subsidi para nelayan agar bisa menggunakan kapal dengan tonase besar. Lalu lakukan terus penangkapan nelayan Cina yang mencuri ikan di ZEEI,” ujar dia.
Ini adalah kali kedua Cina membiarkan kapal penjaga pantainya memasuki wilayah ZEE Indonesia. Awal tahun, pemerintah Indonesia mengajukan protes ke Beijing setelah mengonfirmasikan bahwa 63 kapal ikan Cina dan dua kapal penjaga pantai dari negara tersebut memasuki perairan teritorial di kepulauan Natuna sejak 19 Desember 2019.
Laut Cina Selatan di ARF
Masalah di Laut Cina Selatan menjadi salah satu isu utama dalam empat hari pertemuan virtual KTT Menteri Luar Negeri ASEAN yang diakhiri dengan ASEAN Regional Forum (ARF) pada Sabtu (12/9) disamping pandemi COVID-19 dan konflik di semenanjung Korea. ARF beranggotakan 27 negara yang meliputi 10 negara anggota ASEAN, Amerika Serikat, Uni Eropa, Cina dan lainnya.
"Para menteri menegaskan kembali perlunya untuk meningkatkan rasa saling percaya, menahan diri dalam melakukan kegiatan yang akan mempersulit atau meningkatkan perselisihan dan mempengaruhi perdamaian dan stabilitas dan menghindari tindakan yang dapat memperumit situasi," kata kata Menteri Luar Negeri Vietnam Pham Binh Minh yang juga menjadi tuan rumah pertemuan virtual tersebut.
Minh mencatat bahwa beberapa menteri menyatakan keprihatinan tentang reklamasi lahan, aktivitas, dan insiden serius di Laut Cina Selatan, "yang telah mengikis kepercayaan, meningkatkan ketegangan, dan dapat merusak perdamaian, keamanan, dan stabilitas di kawasan."
Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing telah melakukan reklamasi besar-besaran pada fitur-fitur lahan yang disengketakan di kepulauan Paracel dan Spratly.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, turut menyampaikan bahwa Indonesia tidak ingin ASEAN terjebak dalam persaingan antara Cina dan AS.
Ibrahim Almuttaqi, ketua Pusat Studi ASEAN di The Habibie Center, mengatakan Laut Cina Selatan merupakan isu sensitif bagi ASEAN.
“Amerika Serikat dan Cina memanfaatkan masalah Laut Cina Selatan sebagai cara untuk memainkan persaingan mereka, dan negara-negara ASEAN terjebak di tengah,” kata Ibrahim.
Ibrahim Almuttaqin mengatakan Beijing harus mempertimbangkan tindakannya di Laut Natuna Utara dan tidak menjadikan Indonesia sebagai musuh dalam pertikaiannya dengan Washington.
“Indonesia selalu berusaha menjadi broker yang jujur dalam pembicaraan COC (Code of Conduct). Saya yakin Indonesia tetap berkomitmen untuk menemukan penyelesaian damai atas sengketa Laut Cina Selatan yang dapat diterima semua pihak, termasuk Cina,” kata Ibrahim.
Penekanan atas posisi ASEAN yang netral muncul setelah aksi balas retorika terkait sengketa Laut Cina Selatan yang dilontarkan oleh diplomat AS dan Cina dalam sesi pertemuan yang terpisah.
Dalam pernyataannya pada pertemuan ASEAN pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menegaskan kembali komitmen AS di kawasan itu dan menuduh Cina melakukan agresi di Laut Cina Selatan.
Sebaliknya Cina menyebut AS sebagai "pendorong terbesar militerisasi di Laut Cina Selatan” dan bersikeras bahwa perdamaian dan stabilitas adalah "kepentingan strategis terbesar" Beijing, media Cina melaporkan.
“Fakta bahwa Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi merasa perlu untuk memperingatkan Washington dan Beijing agar tidak 'menjebak' negara-negara ASEAN menunjukkan seberapa besar tekanan keduanya. Kekuasaan ditempatkan di ASEAN,” kata Ibrahim.