Kerja sama maritim dengan China: Menlu yakinkan DPR kedaulatan Indonesia tetap utuh

Analis menyangsikan, menyebut hal itu mungkin redakan konflik tapi memperkuat posisi Beijing dan memperlemah Jakarta.
Pizaro Gozali Idrus
2024.12.02
Jakarta
Kerja sama maritim dengan China: Menlu yakinkan DPR kedaulatan Indonesia tetap utuh Presiden Tiongkok Xi Jinping (kiri) dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto menghadiri upacara penyambutan di Balai Agung Rakyat di Beijing, 9 November 2024.
Florence Lo/Pool/AFP

Menteri Luar Negeri Sugiono pada Senin (2/12) menanggapi kekhawatiran anggota DPR dengan menegaskan bahwa kesepakatan maritim Indonesia - Tiongkok  baru-baru ini tersebut tidak mengakui klaim Beijing di Laut China Selatan, namun demikian analis berpendapat penjelasan itu hanya pembenaran yang lemah untuk kesalahan serius.

Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden China Xi Jinping di Beijing bulan lalu menyebutkan bahwa kedua negara telah mencapai “pemahaman bersama yang penting terkait pembangunan bersama di wilayah yang memiliki klaim tumpang tindih.”

Namun, Jakarta secara konsisten menolak klaim luas Tiongkok di Laut China Selatan yang disengketakan, yang melanggar zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di utara Kepulauan Natuna.

Anggota DPR Sukamta dalam sidang parlemen pada hari Senin mengatakan bahwa klaim negara Tirai Bambu di Laut China Selatan, yang digambarkan dalam peta mereka dengan garis sembilan garis putus-putus itu diubah oleh Beijing sesuai keinginannya dan tidak pernah didefinisikan secara jelas.

“China tidak pernah memberikan koordinat nine dash line. Jadi, koordinatnya di mana? Sebab, dalam paparan Menlu sebelumnya, China tidak pernah memberikan koordinat yang konkret,” ungkap Sukamta dalam rapat kerja Kementerian Luar Negeri dengan DPR pada Senin (2/12).

China terlibat dalam perselisihan batas teritorial laut dengan Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam, yang semuanya merupakan anggota ASEAN. Selain dengan negara-negara Asia Tenggara tersebut, China juga bersengketa dengan Taiwan terkait hal serupa.

Meskipun tidak mengklaim wilayah dalam sengketa Laut China Selatan, Indonesia secara konsisten menegaskan kedaulatan atas Kepulauan Natuna yang terletak di zona ekonomi eksklusif.

“Saya kira ini perlu diperjelas, jangan-jangan kita sedang dipermainkan oleh China, karena dari sembilan sekarang jadi sepuluh. Supaya kita dapat mengambil peran ini bisa lebih firm,” ujar Sukamta, anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Sukamta mendesak agar perjanjian tersebut dijelaskan secara lebih rinci perihal cakupan geografisnya.

Dan dalam apa yang oleh banyak analis saat itu dianggap sebagai pesan politik, Jakarta pada tahun 2017 mengganti nama wilayah selatan Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara untuk menekankan kedaulatannya atas perairan yang mencakup ladang-ladang gas alam tersebut.

Anggota DPR lainnya, Farah Puteri Nahlia, turut menyuarakan kekhawatiran yang sama terkait perjanjian maritim Indonesia dengan China.

“Kita semua paham bahwa China adalah mitra dagang utama Indonesia, namun kita tidak boleh terlalu bergantung pada mereka,” kata Farah, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional.

“Diharapkan kita bisa lebih tegas dalam menanggapi isu Natuna ini. Apa langkah-langkah Kementerian Luar Negeri agar kita tidak tergantung pada China? Posisi kita harus tetap bebas aktif,” kata Farah.  

“Kita menginginkan bukan hanya free trade, tetapi juga fair trade.”

Pada Oktober atau bertepatan dengan pekan pertama masa kepresidenan Prabowo, kapal-kapal angkatan laut dan penjaga pantai Indonesia tiga kali menghadapi dan mengusir kapal penjaga pantai China dari ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara.

Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir juga menentang kegiatan eksplorasi minyak dan gas Indonesia di ZEE-nya.

Perjanjian maritim antara Indonesia dan China muncul di tengah ketegangan yang meningkat di Laut China Selatan, yang merupakan jalur maritim penting untuk perdagangan global.

Kapal patroli Badan Keamanan Laut (Bakamla) KN Tanjung Datu-301 (kiri) dan korvet TNI AL KRI Sutedi Senoputra (kanan) membayangi kapal Penjaga Pantai China (CCG) 5402 untuk mengusirnya dari Laut Natuna Utara di zona ekonomi eksklusif Indonesia, 21 Oktober 2024. [Bakamla]
Kapal patroli Badan Keamanan Laut (Bakamla) KN Tanjung Datu-301 (kiri) dan korvet TNI AL KRI Sutedi Senoputra (kanan) membayangi kapal Penjaga Pantai China (CCG) 5402 untuk mengusirnya dari Laut Natuna Utara di zona ekonomi eksklusif Indonesia, 21 Oktober 2024. [Bakamla]

50% dari ketiadaan tetaplah ketiadaan’

Menanggapi hal tersebut, Menteri Luar Negeri Sugiono menyatakan bahwa pernyataan bersama itu tidak otomatis Indonesia mengakui klaim garis sembilan putus-putus China.

Selain itu, Sugiono menegaskan sejauh ini belum ada kesepakatan terkait titik koordinat atau bentuk kerja sama yang akan dilakukan kedua negara.

“Di situ (perjanjian tertulis) kita tidak menyebut kita mengakui apa pun, belum ada tulisan dan pernyataan yang menyatakan kita bekerja di titik A, koordinat B, itu belum ada,” ungkap Sugiono.

Dia menegaskan bahwa posisi Indonesia terkait kedaulatan tetap tidak berubah dan perjanjian pengembangan bersama ini akan didasarkan pada hukum internasional dan kepentingan Indonesia.

“Prinsip utamanya adalah Bapak Presiden (Prabowo) mengarahkan bahwa Indonesia akan meningkatkan kerja sama dan kolaborasi dengan negara-negara tetangga demi kepentingan nasional. Urusan kedaulatan kita tidak bergeser dari posisi kita.,” ujar Sugiono.

“Sikap Indonesia tetap tidak berubah, begitu pula posisi negara tetangganya. Namun, prinsipnya tetap: 50% dari ketiadaan tetap ketiadaan,” kata Sugiono lebih lanjut.

“Jika tidak ada cara untuk memperoleh manfaat dari sumber daya ini demi kepentingan bangsa kita, lebih baik bekerja sama dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar dan menjaga kedaulatan.”

“Tidak banyak ruang untuk multitafsir”

Bagi analis kebijakan luar negeri Mohamad Rosyidin, penjelasan Sugiono tersebut tidak menjelaskan inti permasalahan – mengapa pernyataan bersama memuat frasa “klaim tumpang tindih.”

“Pernyataan itu hanya dalih untuk kesalahan dalam pernyataan bersama. Kecil kemungkinan pemerintah akan mengakui kesalahan itu,” kata Rosyidin, dari Universitas Diponegoro, kepada BenarNews.

“Alih-alih menjelaskan alasan di balik frasa ‘klaim tumpang tindih,’ pemerintah justru bersembunyi di balik istilah ‘kepentingan nasional’…. daripada mencari-cari dalih, pemerintah seharusnya tetap konsisten dengan sikap Indonesia terhadap Laut China Selatan.”

Indonesia, katanya, bukanlah negara penggugat di Laut China Selatan, karena tidak ada klaim tumpang tindih dengan China.

“Masalah sebenarnya adalah kapal-kapal China sering memasuki perairan Natuna. Namun, ini bukan berarti ada klaim tumpang tindih; ini adalah pelanggaran kedaulatan oleh China.”

Pakar hubungan internasional lainnya, Muhammad Waffaa Kharisma, sependapat. “Saya termasuk yang berpendapat bahwa tidak banyak ruang untuk multitafsir atas pernyataan bersama antara Presiden Prabowo dan Presiden Xi Jinping mengenai klaim tumpang tindih,” katanya kepada BenarNews.

“Terlepas dari bagaimana hal itu ditanggapi atau dibenarkan, saya melihat frasa awal dalam perjanjian tersebut sebagai konsesi oleh Indonesia, mengalah atau berkompromi dengan China.” Dia mengatakan teks yang bermasalah itu dapat berdampak pada Indonesia, jika tidak segera dalam waktu dekat.

“Disengaja atau tidak adalah masalah sekunder. Disengaja atau tidak, akan ada dampak pada hak kedaulatan Indonesia. … terutama jika tidak ada upaya serius untuk pembalikan melalui langkah-langkah tindak lanjut atau pernyataan,” katanya.

Konsesi semacam itu mungkin meredakan ketegangan antara Indonesia dan China, tetapi hal itu memperkuat posisi Beijing dan memberi kesan Jakarta mengalah kepada negara adidaya itu.

"Saat ini, Menteri Luar Negeri dan Kementerian Luar Negeri sedang dalam mode pengendalian kerusakan. Potensi konflik dan klaim sepihak adalah dua sisi mata uang yang sama," katanya.

"Satu-satunya aspek positif adalah bahwa inisiatif itu belum terwujud, seperti yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri."

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.