BNPT: Jemaah Islamiyah Berupaya Infiltrasi Ormas, Instansi Pemerintah
2021.11.17
Jakarta
Kelompok militan Jemaah Islamiyah (JI) berupaya menginfiltrasi organisasi masyarakat dan lembaga pemerintahan sejak lebih dari satu dekade lalu, kata pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Rabu (17/11).
Deputi Pencegahan BNPT Ahmad Nurwakhid menyampaikan pernyataan tersebut sehari setelah polisi menangkap tiga orang terduga anggota senior JI, di mana salah seorangnya adalah pejabat Majelis Ulama Indonesia (MUI)
MUI dalam pernyataan Rabu mengatakan bahwa Ahmad Zain An-Najah, anggota Komisi Fatwa majelis itu sudah dinonaktifkan sebagai pengurus, selama polisi menginvestigasi keterlibatannya dalam JI. Zain merupakan salah seorang dari tiga yang ditangkap pada hari Selasa itu di Bekasi, Jawa Barat.
Dua terduga lainnya yang ditangkap adalah Ahmad Farid Okbah, Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia dan Anung Al-Hamat, seorang dosen.
“JI sejak dipegang Para Wijayanto mengalami reformasi kegiatan organisasi menjadi lebih cerdik untuk bersiasat dengan menyebar ke seluruh institusi negara, organisasi masyarakat dan lembaga masyarakat,” kata Ahmad Nurwakhid kepada BenarNews.
Dia merujuk kepada amir atau pemimpin JI Para Wijayanto yang ditangkap polisi pada 2019 lalu dan kemudian divonis 7 tahun penjara oleh pengadilan.
“Ya bisa sangat mungkin ke ormas keagamaan lain seperti Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama), LSM, kelompok olahraga, kelompok motor. Buktinya saja sudah ada di MUI,” ujarnya, sambil menambahkan bahwa kemampuan kamuflase JI “luar biasa”
Nurwakhid mengatakan kelompok yang berada dibalik sejumlah aksi teror di Tanah Air pada kurun 2000-2009 itu, telah berusaha menginfiltrasi institusi pemerintah sejak tahun 2008.
Ia menyebut, berdasarkan data BNPT, sudah 31 orang pegawai negeri sipil yang ditetapkan sebagai tersangka terorisme, termasuk delapan personel kepolisian, lima prajurit TNI dan 18 pegawai kementerian.
Ia mengungkapkan, Farid diketahui pernah ke Afghanistan atas perintah Abu Bakar Ba’asyir. Ba’asyir dalah pimpinan spritual JI yang telah bebas pada awal tahun ini setelah menyelesaikan 15 tahun penjara atas keterlibatannya dalam aksi terorisme.
“Ia dikirim ke Afghanistan untuk melatih dan mendidik ustaz anggota JI termasuk ustaz kelompok kanan di Indonesia,” ujar Nurwakhid, merujuk pada ulama yang beraliran radikal.
Sementara Zain merupakan alumni pesantren Al-Mukmin di Ngruki yang didirikan oleh Ba’asyir dan menjabat ketua dewan syariah Baitul Mal Abdurahman Bin Auf (BM ABA) Jakarta, di mana Farid sebagai anggotanya.
BM ABA merupakan yayasan yang disebut terafiliasi JI dan menyebarkan puluhan ribu kotak amal di sejumlah wilayah di Indonesia untuk pendanaan operasional kelompok itu, menurut penyelidikan polisi.
“Kami akan terus melakukan tindakan strategi preventif, menindak dan mencegah sebelum terjadi teror,” tegas Nurwakhid, menambahkan bahwa ia belum mengetahui apakah ada rencana penyerangan dari JI.
Juru bicara Polri Rusdi Hartono mengatakan penangkapan ketiga tersangka itu dilakukan berdasarkan informasi dari anggota JI yang ditangkap sebelumnya.
“Sejak itu, dilakukan penegakan hukum terhadap pihak yang terlibat di dalam Baitul Mal Abdurrahman Bin Auf tersebut, baik yang ada di Jakarta, Sumut, Lampung dan Medan,” ujar Rusdi.
Kepala Bagian Bantuan Operasional Densus 88 Kombes Pol. Aswin Siregar menolak tuduhan polisi melakukan persekusi terhada ulama dan mengatakan penangkapan ini murni sebagai tindakan penegakan hukum.
“Siapapun yang punya afiliasi atau aktivitas dengan kelompok teroris, dengan proses pembuktian, akan ditangkap. Tidak ada kriminalisasi,” tegasnya.
Polisi, bulan lalu mengatakan telah menangkap 876 anggota JI sejak teror Bom Bali 1 tahun 2002. Namun demikian anggota dan simpatisan kelompak yang telah dimasukkan sebagai organisasi terlarang di Indonesia sejak 2009 ini mungkin jumlahnya sepuluh kali lipat dengan sekitar 67 sekolah agama termasuk pesantren dicurigai menjadi tempat untuk menciptakan militan.
Dicopot MUI
Ketua MUI Cholil Nafis mengatakan lembaganya telah menonaktifkan Zain dari Komisi Fatwa, majelis yang beranggotakan sekitar 75 orang itu.
“Dugaan keterlibatan yang bersangkutan dalam jaringan terorisme merupakan urusan pribadinya dan tidak ada sangkut pautnya dengan MUI. Kami sudah menonaktifkan yang bersangkutan sebagai pengurus MUI sampai ada kejelasan berupa keputusan hukum tetap,” ujarnya dalam konferensi pers.
Dia meminta Polri bekerja profesional dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah dan memenuhi hak Zain untuk mendapatkan perlakuan hukum yang baik dan adil.
“Kita menghormati proses hukum, kita harap ini jadi pelajaran bersama dan bisa mencegah terorisme di Indonesia,” kata Cholil.
Menyamarkan kegiatan
Pakar terorisme dari Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta, mengatakan JI memilih strategi meninggalkan kekerasan sejak kepemimpinan Para Wijayanto dan keputusan pengadilan yang menyatakan JI sebagai organisasi terlarang.
“Mereka sudah tidak lagi berorientasi kepada kekerasan karena mereka pikir dengan kekerasan mereka rugi, semua pemimpin mereka ditangkap. Jadi mereka merubah strategi mereka dengan berkamuflase, membaur dengan masyarakat,” paparnya.
Anggota JI lulusan dari Afghanistan, ujarnya, jumlahnya lebih dari 2000 orang dan menyebar di tengah masyarakat dengan bergabung di organisasi dan komunitas lingkungan.
“Tujuannya menyamarkan kegiatan dan tujuan mereka, yaitu untuk mencapai kekuasaan. Mungkin ancamannya tidak ada sekarang, tapi untuk jangka panjang sangat bahaya dalam mengancam pemerintahan,” ujarnya.
“Masyarakat dikuatkan ideologinya, seperti divaksin dulu biar kebal dengan pengaruh yang mereka bawa di tengah masyarakat. Harus dari sekarang, jika tidak sudah telat,” tambahnya.
Peneliti senior dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), Moh. Adhe Bakti mengatakan JI menjadi lebih “terbuka” dengan membuka jaringan usaha, lembaga amal, mengelola perkebunan kelapa sawit, dan masuk ke ormas dan lembaga pemerintahan.
“Contohnya mereka memang bantu Suriah, bantu Afghanistan, mereka kirim orang ke sana antarkan bantuan kemanusiaan, bangun sarana air, tapi juga bawa anggotanya untuk berlatih militer di sana. Dengan dalih amal tapi kirim orang juga ke Afghanistan” ujarnya.
Ia mengatakan, Farid termasuk orang yang dituakan di JI sehingga menjadi tokoh yang merestui kepemimpinan Para Wijayanto.
“Impian JI itu ingin membentuk negara Islam. Namun tidak bisa dipastikan apakah ideologinya masih sama ketika 2008 atau sudah berubah sekarang, harus diperiksa mendalam. Tapi ia (Farid) sudah masuk dalam struktur organisasi (JI),” ungkapnya.
“Perekrutan tidak dilakukan dengan terang-terangan, tapi rahasia. Mereka sebarkan ideologi melalui pondok pesantren dan keluarga, hubungan relasi suami, istri, ayah,” tambahnya.
Peneliti dari lembaga yang mengkaji terorisme dan kekerasan politik Galatea, Ulta Levenia Nababan mengatakan agenda JI masuk ke instansi pemerintah dan organisasi yang dekat dengan masyarakat sebenarnya sudah menjadi misi Para Wijayanto.
“FAO (Farid) dikenal sebagai penasehat Para Wijayanto. Dia selama ini tidak ketahuan karena diletakkan di luar struktur utama. Arahnya tidak hanya merangkul politik tapi juga ke BUMN untuk mendukung program mereka. Nanti dana CSO disalurkan ke pesantren yang terkait JI,” ujarnya.